Vanila masih bersandar di d**a Adrian. Dengusan napasnya pelan, seperti sedang menenangkan badai yang baru saja reda. Ia tidak bicara, hanya menikmati sentuhan lembut jari Adrian yang menyisir rambutnya perlahan. “Mas,” gumam Vanila lirih, nyaris tenggelam di antara keheningan kamar. “Hm?” sahut Adrian dengan nada pelan, seolah enggan mengganggu ketenangan Vanila. “Aku nggak mau ada yang nyakitin kamu lagi. Aku tahu aku yang selama ini sering ragu, tapi sekarang aku mau jadi perempuan yang bisa berdiri di samping kamu.” Adrian menunduk, matanya menatap wajah Vanila yang serius. “Kamu nggak perlu buktiin apa-apa. Kamu udah cukup. Cukup buat bikin aku gila.” Vanila mengulas senyum kecil. “Kalau aku cukup, kenapa Mas masih keliatan kayak nyimpen banyak hal?” Adrian terdiam sejenak. Soro