Adrian menahan napas saat tubuh Vanila gemetar dalam pelukannya. Isakan istrinya terdengar makin kencang. Bukan sekadar tangis pelan, tapi seperti ledakan dari rasa sakit yang selama ini ditahan rapat-rapat. “Vanila…” bisik Adrian, panik. Ia menyeka pipi Vanila dengan kedua tangannya. “Sayang, kenapa kamu nangis kayak gini? Kamu bikin aku takut.” Vanila tidak menjawab. Tubuhnya masih berguncang. Tangannya mencengkeram lengan kemeja Adrian seolah itulah satu-satunya tempat ia bisa berpaut. Adrian berdiri cepat. “Tunggu ya. Aku ambilin air.” Ia bergegas ke sudut ruangan, menuangkan air dari dispenser ke dalam gelas kaca. Tangannya sedikit gemetar. Ini bukan rapat genting. Bukan dokumen merger bernilai jutaan dolar. Tapi sesuatu yang jauh lebih penting. Istrinya menangis, dan ia tak tahu