Suara lonceng kecil di atas pintu kafe berdenting pelan saat Tiara masuk. Udara pagi belum terlalu ramai, aroma kopi baru diseduh menyambutnya bersama suara musik akustik yang lembut. Tapi Tiara merasa gelisah. Bukan karena suasana, bukan karena pekerjaan, tapi karena Ciara. "Selamat pagi," sapa seorang rekan kerjanya. Tiara membalas dengan senyum kaku, buru-buru masuk ke area dapur, memakai apron, dan menatap bayangannya di kaca pendingin. "Aku harus kerja," gumamnya pelan, seolah menyemangati diri sendiri. Tapi bahkan langkah-langkah Ciara yang mendekat pun bisa dikenali Tiara sekarang. Pelan, pasti, dan lembut, tapi membuat bulu kuduknya meremang. "Tiara, pagi. Kamu datang lebih awal ya," suara Ciara terdengar akrab, seperti biasanya—tapi kali ini terdengar lebih lembut dari yang