Adrian sendiri berdiri kaku di ruang ganti eksekutif, satu lantai di atas ballroom utama. Ia belum mengenakan jas resminya, hanya kemeja putih yang masih setengah terbuka dan dasi yang tergeletak tak beraturan di sofa. Cermin besar di depannya menampilkan sosok pria sukses—tapi tatapan matanya kosong. Sorot matanya tampak lelah, bahkan sedikit kusam. Tangannya meremas dasi di genggamannya, lalu melemparkannya begitu saja ke meja. "Kenapa aku berharap dia akan muncul," gumamnya, nyaris seperti mengumpat pada dirinya sendiri. Setiap tahun, acara ini selalu berjalan megah. Tapi tahun ini berbeda. Ia tak bisa fokus. Tak bisa bernapas lega. Wanita yang selama ini selalu mendampinginya dalam setiap agenda penting. Wanita yang membuat semua mata iri saat ia menggandengnya masuk ke ruangan.