Adrian duduk di kursinya, membuka kancing teratas kemejanya, lengannya bersandar di meja dengan ekspresi letih yang tak bisa disembunyikan. Ketukan pelan di pintu membuatnya mendongak. “Masuk,” ucapnya. Vanila muncul dengan langkah ragu. Jemarinya menggenggam erat tali tas di bahunya. Adrian mengangkat alis. “Kenapa kamu ke kantor?” suaranya tenang, tapi nadanya sedikit tajam, menyiratkan rasa heran bercampur waspada. Vanila menutup pintu perlahan, lalu berjalan mendekat. “Aku cuma… khawatir. Tadi pagi Mas kelihatan masih pusing. Aku kepikiran. Nggak bisa tenang kalau nggak lihat Mas baik-baik saja.” Adrian memutar kursinya sepenuhnya menghadap Vanila. “Itu alasan kamu datang? Hanya karena khawatir?” Vanila mengangguk, meski sorot matanya sempat goyah. “Iya. Aku cuma pengin lihat M