Langkah Vanila terhenti di depan pagar besi tua. Warnanya sudah mengelupas, berkarat, nyaris tak berbentuk. Tangan kanannya gemetar saat menyentuh gagang gerbang itu. Ia menarik nafas perlahan, bukan untuk menenangkan diri, tapi mencoba tetap berdiri. Rumah itu berdiri seperti hantu masa lalu. Dindingnya retak, jendela kusam, genteng sebagian ambruk. Tapi yang membuatnya nyaris tumbang bukan kerusakan itu, melainkan kenangan yang masih tergantung di setiap sisi temboknya. Ia mendorong pintu pagar. Suara gesekannya mencakar udara, seakan menjerit menyambut kepulangan seseorang yang tak pernah dianggap bagian dari tempat itu. Langkahnya pelan menyusuri jalan setapak yang tertutup lumut dan dedaunan mati. Tangannya membuka pintu rumah yang sudah berdebu. Saat daun pintu terbuka, bau pengap