5| Bencana di pagi hari

1703 Kata
Ponsel yang berada di sebelah Aruna berbunyi. Dengan mata masih terpejam Aruna meraba-raba kasur mencari benda itu. Setelah menemukan ponselnya, Aruna segera menempelkan ponsel itu ke telinga.  “Hmm?” gumam Aruna mengangkat panggilan entah dari siapa. “Run?” panggil suara feminim dari ujung telepon. Dengan susah payah Aruna membuka mata untuk melihat nama kontak yang berada di layar. “Shalina?” tanya Aruna memastikan dirinya tidak salah membaca nama kontak di ponselnya. “Iya, ini gue,” balas Shalina. “Lo udah bangun? Pasti belum kan? Ya Tuhan, Run, ini udah pagi. Buruan bangun! Kasih makan si Jeruk.” Aruna menghela napas dalam. “Lo telepon gue hanya buat nyuruh gue ngasih makan Jeruk?” tanya Aruna tidak percaya. “Iya lah. Buruan! Kasihan nanti dia kelaparan,” omel Shalina. Aruna menguap lalu menganggukkan kepala. “Iya,” balasnya. “Bye!” Tanpa menunggu balasan dari Shalina, Aruna langsung memutuskan sambungan telepon mereka.  “Ganggu orang tidur aja,” gerutu Aruna seraya melemparkan ponselnya ke kasur. Aruna masih sangat mengantuk dan ia ingin kembali tidur. Aruna yakin jika Jeruk tidak akan mati hanya karena tidak makan jam segini. Lagian, Aruna yang manusia saja masih belum sarapan. Jadi, seharusnya Jeruk pun ikut jam sarapan Aruna.  Suara benda jatuh dari arah lantai satu membuat mata Aruna terbuka sempurna. Buru-buru ia bangkit dari posisi tidurnya dan menatap pintu kamarnya.  “Suara apa sih, berisik banget!” omel Aruna kesal sendiri.  Tiba-tiba saja terdengar suara eongan kucing yang terus berulang.  “Kenapa harus ada Jeruk di rumah ini!?” gerutu Aruna seraya mengangkat bokongnya dari atas kasur lalu berderap pergi meninggalkan kamar.  Aruna menuruni tangga dengan tangan menggaruk kepalanya yang terasa agak gatal. Dalam hati Aruna terus-terusan mengomeli Jeruk karena keributan yang Jeruk sebabkan di pagi hari ini. Sepertinya pagi Aruna tidak akan damai lagi setelah ini. “Meong!” Suara Jeruk terdengar dari arah ruang makan yang membuat Aruna langsung menuju ruangan itu. Sontak saja Aruna berhenti di ambang pintu pemisah antara ruang makan dan ruang tengah ketika melihat sosok Hansel yang saat ini tengah memegang sapu dan mengarahkannya ke arah Jeruk. Aruna benar-benar lupa jika Hansel juga tinggal di kost ini.  “Lo ngapain, sih?” tanya Aruna menatap Hansel bingung. “Gue mau dicakar,” jawab Hansel menoleh ke arah Aruna. “Apa lo nggak bisa cuci wajah dulu sebelum turun ke lantai satu?” omelnya tiba-tiba dengan tatapan horor yang ditujukan kepada Aruna. Aruna menatap Hansel dengan tidak percaya. Dia benar-benar tidak sopan! “Jeruk, cakar dan gigit dia,” kata Aruna menunjuk ke arah Hansel. “Buat dia rabies!”  “Heh!” sahut Hansel kaget. Setelah mengucapkan itu Aruna langsung berderap kembali menaiki tangga untuk menuju kamarnya. Tangannya kini sibuk merapikan rambutnya yang ia yakin sudah mirip seperti singa.  “Malu-maluin,” gumam Aruna mengutuk dirinya sendiri. Bagaimana bisa Aruna berkeliaran di rumah ini dengan penampilan seperti gembel? Meskipun Aruna tidak suka terhadap Hansel dan berharap Hansel pun tidak menyukainya, tapi tetap saja rasanya memalukan berpenampilan seperti ini di hadapan cowok itu. Apalagi Hansel tadi terang-terangan mengatainya. Sungguh sangat memalukan! Dasar Hansel menyebalkan. Cowok paling tidak sopan sedunia! “Aaaaa! Sakit!” teriak Hansel dari lantai bawah. Tampaknya Hansel terkena cakaran Jeruk. Atau malah gigitannya. Aruna tersenyum lebar membayangkan hal tersebut terjadi kepada Hansel. “Rasain!” kata Aruna seraya memasuki kamarnya. ***  Sekitar satu jam setelah Aruna dibuat malu dengan komentar Hansel, akhirnya Aruna turun ke lantai satu dengan penampilan yang sangat rapi. Bahkan, dirinya memoleskan make up tipis ke wajahnya. Dan tentu saja hal itu bukan untuk membuat Hansel terpesona dengan kecantikan Aruna, tapi semata-mata untuk membuat Ethan klepek-klepek. Karena, pagi ini Aruna sudah ada janji akan berangkat ke kafe bareng dengan Ethan. Dan sebentar lagi Ethan akan datang untuk menjemputnya. Aruna merasa punya kewajiban untuk berpenampilan menarik di hadapan Ethan. Aruna mendapati Hansel sedang duduk manis di meja makan dengan secangkir kopi dan sebuah buku di atas meja. Pria itu menoleh ketika melihat Aruna memasuki ruang makan. Lalu, dengan ekspresi tanpa minat dia kembali fokus dengan buku bacaannya.  Aruna sendiri mengabaikan Hansel dan langsung berjalan ke arah kulkas untuk mengambil satu kaleng minuman soda.  “Meong….” Aruna menunduk dan mendapati Jeruk sudah bergelayut manja di kakinya. “Lo lapar?” tanya Aruna menunduk untuk mengusap kepala Jeruk. “Iya,” jawab Hansel yang membuat Aruna menatap punggung pria itu dengan tidak percaya.  “Mau makan?” tanya Aruna lagi masih mengelus kepala Jeruk. “Hmm,” jawab Hansel lagi hanya bergumam. Aruna geleng-geleng kepala menatap kepala Hansel yang masih menunduk membaca buku di hadapannya. Dasar tidak tahu malu! “Bentar ya, gue ambilin makanan lo,” kata Aruna kepada Jeruk. “Lo mau ngasih gue makan apa?” tanya Hansel kali ini menoleh ke arah Aruna yang berada di belakangnya.  Aruna mengambil makanan kucing berada di kabinet bawah. Lalu, menunjukkannya kepada Hansel. “Makanan kucing,” jawabnya. “Mau? Sana ambil piring,” tambahnya. Hansel menatap Aruna dengan tatapan datar. “Jadi, tadi lo ngomong sama kucing?” tanyanya.  “Menurut lo?” balas Aruna seraya bangkit dari posisi jongkoknya. “Ayo Jeruk, kita makan,” katanya kepada kucing oranye yang saat ini sudah mengeong dengan cukup keras. Lalu, Aruna berjalan meninggalkan ruang makan dengan Jeruk yang sudah mengikutinya. “Dasar aneh,” gerutu Hansel yang masih dapat didengar Aruna.  Aruna berdecak. Sepertinya Hansel adalah cowok yang tidak sadar diri. Karena menurut Aruna, Hansel pun aneh. Sangat aneh! Bisa-bisanya mengatai Aruna begitu.     Sesampainya di teras, Aruna langsung menuangkan makanan kucing ke piring kecil yang ada di sana. Dengan lahap Jeruk memakan makanan itu yang membuat Aruna tersenyum. “Lo pasti lapar banget, ya?” kata Aruna mengelus punggung Jeruk. “Gue juga lho. Laper.” Aruna menghela napas dalam seraya mengamati jalanan yang berada di depan kost. Aruna berharap ada tukang nasi uduk atau bubur ayam lewat. Belakangan karena banyaknya anak kost di sekitar sini yang pulang kampung, tukang jualan makanan keliling jadi jarang lewat sini. Aruna sungguh berharap mereka menyadari bahwa masih ada satu mahasiswi mengenaskan yang berada di kost ini. Karena dengan begitu, siapa tahu mereka kembali lewat di jalanan depan kost.  “Jeruk,” panggil Aruna yang tentu saja diabaikan pemilik nama itu. Kucing tersebut kini masih sibuk dengan makanan di hadapannya. “Lo nanti jaga rumah ya. Kalau cowok maniak itu macam-macam, gigit aja. Atau sekalian cakar mukanya nggak apa-apa. Biar dia kapok.” Aruna kembali mengelus lembut punggung Jeruk.  “Apa lo juga bisa ngomong sama pohon?” tanya suara di belakang Aruna yang membuat Aruna terlonjak kaget.  Aruna menoleh ke belakang, kini di pintu ruang tamu sudah ada Hansel yang tengah menatapnya dengan sebelah alis terangkat, seolah sedang menegaskan betapa anehnya Aruna di matanya. “Bisa,” kata Aruna menatap Hansel dengan kesal. “Lo mau tanya apa? Gue tanyain sama pohon mangga itu.” Aruna menunjuk pohon mangga di pekarangan dengan dagunya. “Apa lo penasaran malam-malam adakah yang nangkring di sana? Atau lo mau minta izin ikut nangkring di sana?” sindir Aruna menatap sengit ke arah Hansel. Hansel menatap Aruna dengan tatapan malas. Seolah dia malas meladeni ocehan Aruna yang tidak masuk akal. “Kalau ada ojol yang nganter makanan, tolong ambilin,” kata Hansel dengan nada datar. “Lo beli apa?” tanya Aruna. “Bubur ayam,” jawabnya tak acuh. “Kalau gue juga dibeliin ya gue ambilin. Kalau enggak ya ambil sendiri,” balas Aruna cuek. “Hanya sekadar informasi, denger-denger sih, sekarang ada ojol yang merangkap jadi wartawan.” Aruna tersenyum lebar, seolah sedang mengejek Hansel. Hansel mengembuskan napas kasar. Lalu tangannya merogoh ponsel yang berada di saku celananya dan mengetikkan sesuatu di sana.  “Ambilin,” kata Hansel datar seraya berbalik untuk kembali masuk ke dalam kost. “Udah gue bayar.” Aruna tersenyum lebar. “Siap!” balasnya dengan semangat.  Terkadang tidak ada salahnya menurunkan gengsi demi satu mangkuk bubur ayam. Iya tidak?  Astaga, Aruna memang tidak punya malu!  Sekitar dua puluh menit kemudian, bubur ayam pesanan Hansel datang. Aruna langsung mengambil pesanan itu dari tangan ojol yang mengantarkannya.  “Bubur ayam… bubur ayam…,” gumam Aruna senang seraya berjalan menuju teras. Namun, tiba-tiba saja Aruna mendengar klakson motor di dari arah luar pagar. Aruna menoleh dan mendapati seorang cowok tengah bertengger di atas motor. “Ethan,” kata Aruna tersenyum lebar.  “Hai,” sapa Ethan menaikkan kaca helmnya. “Berangkat sekarang?” Aruna menganggukkan kepala. Lalu, matanya menangkap kresek hitam yang dipegangnya. Oh tidak! Aruna belum menyantap bubur ayam yang dibelikan oleh Hansel.  “Buruan ambil tas, gue tunggu di sini, ya,” kata Ethan lagi. Aruna kembali menganggukkan kepala dengan perasaan berat. “Oke.” Aruna memasuki kost dengan berlari kecil. Dilihatnya Hansel sedang berada di meja makan dengan buku yang sama yang dibacanya tadi. “Nih,” kata Aruna meletakkan kresek berisi bubur ayam ke meja.                “Punya lo ambil,” ucap Hansel. “Makan lo semua,” kata Aruna. “Gue buru-buru.” “Mau ke mana?” tanya Hansel kepadanya. “Kerja,” ucap Aruna seraya pergi meninggalkan ruang makan untuk naik ke lantai dua. Namun, sebelum Aruna menaiki tangga, ia buru-buru kembali ke ruang makan.  “Apa?” tanya Hansel menatap Aruna dengan bingung. “Kalau lo pergi jangan lupa kunci pintu dan gerbang. Terus, nanti kalau gue belum pulang, si Jeruk jangan lupa dikasih makan. Makanannya ada di sana.” Aruna menunjuk kabinet bagian bawah yang ada di dapur, di mana makanan Jeruk berada. “Kalau gue nggak mau ngasih makan Jeruk?” tanya Hansel terdengar tak peduli. “Siap-siap aja lo yang bakal dimakan sama dia,” jawab Aruna dengan nada mengancam.  Hansel mendengus dan menatap Aruna kesal. “Terus, jangan berantakin isi rumah atau melakukan hal yang aneh-aneh di sini. Ingat gue bisa karate,” ucap Aruna lagi menunjukkan tinjunya ke arah Hansel. “Berisik,” balas Hansel cuek seraya kembali menatap buku yang sedang dibacanya. “Sana buruan pergi.” “Dasar nyebelin,” gerutu Aruna berbalik pergi meninggalkan ruang makan untuk pergi ke kamarnya.  Kalau tidak ingat dengan uang dua puluh juta di rekeningnya yang dikirimkan oleh Abas semalam, mungkin Aruna benar-benar sudah memukul Hansel dengan sapu. Cowok itu begitu menyebalkan hingga membuat Aruna naik darah terus.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN