Bab 2. Primadona lantai dua belas

1519 Kata
Kinena Kasih, atau yang biasa dipanggil Kasih, berjalan memasuki lift yang saat ini sudah ada dua orang di dalamnya. Sambil memeluk laptop di dadanya serta tas slempang di bahunya, perempuan berusia 26 tahun itu mengambil posisi di pojok lift. Sambil menunggu lift membawanya menuju lantai dua belas, di mana ruang kerjanya berada, Kasih memilih untuk memejamkan mata sambil menyenderkan kepalanya ke dinding lift di sampingnya. Kasih masih mengantuk karena semalaman dirinya berkutit dengan laptop, membuat beberapa desain kaos yang diminta oleh kepala timnya. “Kamu tahu?” tanya seseorang kepada entah siapa. “Akhirnya beberapa hari ini saya bisa tidur nyenyak tanpa bermimpi buruk. Rasanya sudah sangat lama saya nggak ngerasain tidur senyenyak beberapa hari ini.” “Pantas saja hari ini Bapak kelihatan segar. Tidak seperti biasanya.” “Memang biasanya saya seperti apa?” tanya suara dalam dan berat itu. “Kalau boleh jujur sih, Pak, biasanya Bapak muncul di kantor dengan ekspresi wajah menyeramkan. Kayak yang rasanya siap menerkam siapa saja gitu, Pak.” “Kamu pikir saya hewan buas apa? Pakai segala macam menerkam segala.” “Maaf, Pak. Bukan maksud saya ngatain, Bapak. Saya hanya—” “Nggak masalah,” sahut pria yang Kasih rasa memiliki kedudukan cukup tinggi di perusahaan ini mengingat betapa percaya dirinya pria itu. “Hari ini saya sedang dalam mood yang bagus,” lanjutnya dengan ringan. “Kita turun di lantai berapa?” “Lantai sembilan, Pak,” jawab pria yang sepertinya bawahan pria yang satunya. Ada jeda sesaat sebelum Kasih kembali mendengar obrolan dari pria yang sama. “Itu yang tidur di pojokan, tolong bangunin,” kata pria yang memiliki suara berat dan dalam itu. “Baik, Pak,” balas pria yang satunya. Sontak saja Kasih membuka matanya ketika mendengar teguran dari siapa pun itu. Di saat bersamaan, pintu lift kini terbuka. Pria yang tampak gagah dalam balutan jas melangkah meninggalkan lift. “Jangan tidur,” ucap seorang pria berkemeja biru seraya menatap ke arah Kasih. Kasih membuat kontak mata dengan pria itu seraya menganggukkan kepala singkat. Butuh beberapa detik bagi pria itu sampai akhirnya dia memalingkan wajah lalu berjalan meninggalkan lift, mengikuti pria pertama yang sudah pergi berjalan menjauh. Pria itu sempat terpesona oleh sorot mata indah milik Kasih. Bagi Kasih, itu adalah hal biasa. Sebab, Kasih memang terkenal memiliki mata indah yang dapat menghipnotis orang. Selain itu, wajah Kasih yang begitu cantik serta manis membuat Kasih tampak begitu spesial dibanding dengan perempuan lain. Kasih sangat sadar diri dengan kecantikan alaminya tersebut. Hal ini membuat Kasih tak perlu repot-repot berdandan berlebihan untuk pergi ke kantor. Tak jarang ia hanya mencepol rambutnya asal-asalan, berharap hal ini dapat mengurangi pesonanya. Sebab, terkadang Kasih merasa risih karena ditatap oleh orang-orang dengan sorot mata memuja. “Kamu beruntung,” kata seorang perempuan yang berada di samping Kasih. “Beruntung?” tanya Kasih bingung. “Sepertinya Pak Bos sedang dalam mood yang bagus. Kalau tidak kayaknya kamu bakal dimarahi habis-habisan karena tidur di lift seperti tadi.” “Oh,” balas Kasih enteng seraya mengangguk mengerti. Ternyata pria tadi adalah bos perusahaan ini. Meskipun sudah hampir satu tahun Kasih bekerja di perusahaan ini, tapi ia sepertinya belum pernah bertemu dengan pemimpin perusahaan ini. Jabatan Kasih tidak setinggi itu hingga bisa dengan bebas bertemu dengan pemimpin perusahaannya ini. Lift berhenti di lantai dua belas. Segera Kasih berjalan keluar dari lift menuju ruangannya berada. Ketika pantatnya baru saja mendarat di kursinya, seorang pria meletakkan satu cup coffee latte hangat di mejanya. Kasih mengangkat kepala untuk melihat pria yang memberinya kopi itu. Dia adalah Adiguna, salah satu pegawai di kantor ini yang bekerja sebagai staff marketing. “Buat Kasih,” kata Adiguna dengan manis. Kasih memaksakan senyum kecil. “Thank you,” balasnya. Adiguna mengedipkan mata ke arah Kasih sebelum pria itu berjalan pergi meninggalkan ruangan. Kasih mengambil minuman pemberian Adiguna itu lalu menyerahkannya kepada Maulia yang duduk di meja di sampingnya. “Buat gue lagi, nih?” tanya Maulia. Kasih menganggukkan kepala. “Iya, Mbak.” “Makasih, Kasih,” kata Maulia senang. “Sama-sama,” balas Kasih enteng. Kasih memang punya kebiasaan untuk tidak memakan atau minum makanan dan minuman pemberian orang lain. Terlebih, pemberian orang yang menyukainya secara terang-terangan. Kasih takut kena pelet. Kasih memang terkadang bisa separno itu. “Gue nggak dapat, nih?” sahut Davina, salah satu teman Kasih yang baru saja duduk di mejanya yang berada di deretan meja Kasih. Kasih tersenyum. “Ibu hamil nanti gue beliin jus. Oke?” katanya kepada Davina yang saat ini tengah mengandung bayi pertamanya. Davina balas tersenyum. “Oke,” balasnya seraya mengelus perutnya yang sudah tampak buncit. “Ke ruang meeting sekarang,” kata pria yang baru saja masuk ke dalam ruangan. “Masih pagi udah meeting aja,” ucap Maulia seraya menyambar laptop, buku dan membawa serta kopi pemberian Kasih tadi. “Yuk?” Maulia menoleh ke arah Kasih dan Davina. Kasih menganggukkan kepala lalu mengikuti Maulia yang sudah berjalan lebih dahulu menuju ruang meeting yang berada di depan ruangan kerja mereka. Sebelum Kasih masuk ke dalam ruang meeting itu, seorang pria yang adalah kepala desain mereka, mencekal lengan Kasih yang membuat Kasih berhenti di tempat. “Kasih,” sapa pria itu menatap Kasih dengan sorot mata memuja. “Iya, Pak?” balas Kasih seraya menarik lengannya dari cengkaraman pria tersebut. “Kenapa pesan dan panggilan telepon saya nggak kamu jawab semalam?” tanya pria itu lagi. “Saya nggak terima pesan atau panggilan di luar jam kerja.” Kasih menatap pria itu dengan berani. Pria bernama Frans itu tersenyum ke arah Kasih. “Kamu nggak perlu jual mahal sama saya, Kasih.” Kasih balas tersenyum ke arah Frans. “Maaf, Pak. Saya tidak menjual apa-apa di sini. Terlebih kepada Anda,” katanya mencoba sesopan mungkin. “Saya duluan, Pak.” Setelah itu Kasih berjalan melewati Frans untuk masuk ke dalam ruang meeting. Penolakan dari Kasih itu sukses membuat Frans mendengus kesal. Sudah lama Frans mencoba mendekati perempuan itu. Namun, sampai detik ini Kasih masih sangat jauh dari jangkauannya. Dan tentu saja hal ini membuat Frans merasa sangat frustrasi. *** Biantara merasa senang. Beberapa hari ini tidurnya sangat nyenyak. Ia tidak lagi bermimpi buruk. Biantara curiga jika ini ada hubungannya dengan perempuan yang ditemuinya di kelab malam beberapa hari yang lalu. Sebab, sejak perempuan itu menyentuh pipinya, mendadak saja ia merasakan sesuatu berubah pada dirinya. Yang paling terlihat adalah rasa gusar dan gundah yang selama ini menyelimutinya seakan tidak lagi membebaninya. Kini Biantara jadi bertanya-tanya jika ucapan perempuan itu benar. Mungkin saja memang ada hantu yang mengikuti Biantara. Namun, jika dipikirkan lebih dalam lagi, rasanya agak konyol jika mempercayai ucapan perempuan itu mengenai hantu. Bagaimanapun juga kan, Biantara tidak percaya dengan hal mistis semacam itu. “Kita ke lantai berapa?” tanya Biantara kepada Marcel, sekretarisnya. “Dua belas, Pak,” jawab Marcel. “Kita ada rapat dengan bagian desain.” Biantara menganggukkan kepala seraya berjalan memasuki lift yang saat ini terbuka di depannya. Marcel mengikuti di belakang. “Setelah ini tolong minta data penjualan bulan lalu,” kata Biantara kepada Marcel. “Baik, Pak.” Marcel mengangguk mengerti seraya menuliskan sesuatu di tab yang ada di tangannya. Lift terbuka di lantai dua belas. Segera Biantara berjalan keluar dari lift. Marcel setia mengekor di belakang. Ketika Biantara tengah memberikan beberapa instruksi kepada Marcel mengenai pekerjaan, tiba-tiba saja perhatiannya tertuju pada ruangan yang berada di sebelah kirinya. Biantara berhenti seraya mengamati ruangan karyawan itu yang tampak ramai. “Kenapa kayaknya ramai sekali?” tanya Biantara tampak bingung seraya menatap beberapa orang yang tengah mengerubungi sebuah meja di dalam ruangan itu. “Ada apa di dalam?” Biantara menoleh ke arah Marcel. Marcel pun ikut menatap ke arah yang dituju Biantara. Pria berusia dua puluh tujuh tahun itu memanjangkan leher, mencoba mencari tahu. “Saya pun kurang tahu, Pak,” kata Marcel. “Mungkin pada lagi gosip kali, Pak,” lanjutnya. Biantara menunduk, menatap jam di pergelangan tangannya yang saat ini tengah menunjukkan pukul sepuluh lebih lima menit. “Masih jam kerja,” ucapnya. “Suruh bubar dan balik kerja lagi.” Marcel menganggukkan kepala seraya memasuki ruangan karyawan itu. Biantara sendiri langsung bergegas menuju ruang rapat di depan ruang karyawan itu tanpa menunggu Marcel. “Selamat pagi, Pak Bian,” sapa beberapa orang yang berada di ruangan itu. “Pagi,” balas Biantara seraya mengambil duduk di salah satu kursi yang berada di sana. “Langsung mulai aja.” Seorang pria bernama Frans mulai memberikan presentasi dengan menunjukkan beberapa mock up kaos yang tengah dikerjakan oleh timnya. Biantara mendengarkan penjelasan dari Frans itu hingga tiba-tiba perhatiannya teralih pada sosok Marcel yang baru saja memasuki ruangan. Sekretaris Biantara itu langsung mengambil duduk di kursi kosong di samping Biantara. “Jadi, tadi ada apa di sana?” tanya Biantara kepada Marcel dengan nada pelan. “Ada beberapa pria sedang mencari perhatian dan merayu seorang perempuan, Pak,” jawab Marcel berbisik. Biantara mengernyit bingung mendengar jawaban dari Marcel itu. “Apa?” “Para pria itu sedang mencoba mendekati primadona lantai dua belas, Pak,” kata Marcel. “Persaingannya cukup ketat.” Biantara menghela napas dalam seraya geleng-geleng kepala. “Kekanakan,” gumamnya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN