Biantara memijit pelipisnya pelan. Pagi ini pria berusia tiga puluh dua tahun itu bangun dengan kepala berdenyut sakit. Ia ingat sekali jika semalam dirinya kembali bermimpi buruk. Hanya saja Biantara tidak ingat mimpi buruk apa yang menghinggapinya. Yang pasti, ketika terbangun, perasaan kosong dan frustrasi perlahan menelusup ke dalam hatinya.
Biantara duduk di kursi meja makan bersama dengan mamanya, kakak ipar serta adik bungsungnya yang masih duduk di bangku kuliah. Saat ini mereka bertiga tengah memfokuskan pandangan ke arah Biantara.
“Apa perlu Mama carikan pengganti Gissella?”
“Nggak perlu,” kata Biantara singkat.
Vivian, kakak ipar Biantara, menghela napas dalam. “Sayang sekali hubungan kalian harus kandas begitu saja. Padahal semuanya sudah dipersiapkan. Tapi, Gissella dengan seenaknya memutuskan pertunangan kalian begitu saja,” katanya menatap Biantara dengan sorot mata prihatin yang dibuat-buat. “Pasti berat banget buat kamu, Bian.”
“Apa dia selingkuh dari lo?” tanya Ian, adik Biantara. “Sebab, rasanya aneh saja kalau tiba-tiba hubungan kalian berakhir begitu saja. Padahal kan kalian sudah hampir menikah.”
“Atau malah kamu yang selingkuh, Bian?” Vivian menyipitkan mata ke arah Biantara.
Biantara mendengus kesal seraya meletakkan alat makannya dengan kasar. “Ma, Bian berangkat dulu,” katanya seraya bangkit dari duduk. “Dan nanti malam aku akan pindah ke rumahku sendiri. Jadi, ini kali terakhir aku ada di sini.”
“Apa?” tanya Mama Biantara dengan nada terkejut. “Nggak. Mama nggak ngasih izin kamu buat pindah, Bian. Mama nggak mau kamu tinggal sendirian.”
“Kalau aku boleh, Ma?” tanya Ian mengangkat tangannya. “Aku bisa tinggal di apartemen milik Papa.”
“Apa lagi kamu!” jawab Mamanya segera sambil memelototi Ian. Lalu, tatapannya kembali beralih ke arah Biantara. “Tinggal di sini saja, Bian. Nggak seharusnya kamu tinggal sendirian di saat kamu sedih kayak gitu.”
“Apa mama pikir aku nggak akan tambah sedih jika kalian terus-terusan menyingguh soal Gissella?” sahut Biantara dengan kesal. “Sejak pernikahanku dengan Gissella batal Mama terus-terusan ingin mengenalkanku dengan seseorang. Itu tidak akan berhasil, Ma.” Lalu, tatapan Biantara beralih ke arah kakak iparnya. “Dan kamu Kak Vivian, berhenti berlagak kamu peduli dengan hubunganku dan Gissella. Aku muak mendengar ocehanmu mengenai hubunganku yang sudah kandas. Jadi, stop.” Kali ini Biantara menoleh ke arah adiknya. “Lo masih bocah. Nggak usah ikut campur urusan gue,” tambahnya. “Bian pergi dulu,” lanjutnya menatap ke arah mamanya sekilas sebelum akhirnya berjalan meninggalkan ruang makan.
Mungkin memang sudah waktunya Biantara untuk menyendiri, menjauh dari keluarganya yang terlalu berisik.
***
Kaki Kasih berhenti melangkah ketika seorang pria mencegatnya di depan ruang kerjanya.
“Kasih,” sapa pria yang bernama Frans itu.
Kasih menatap atasannya itu dengan tatapan malas.
“Malam ini keluar, yuk? Saya mau ngajak kamu makan malam.”
Kasih tersenyum kecil ke arah Frans. “Sori, saya sibuk,” jawabnya singkat seraya kembali melangkah. Namun, tiba-tiba saja Frans mencekal lengan Kasih yang membuat tubuhnya tertarik ke belakang.
“Kenapa kamu selalu menolak ajakan saya?” tanya Frans merasa frustrasi.
Kasih menarik lengannya dari cengkraman Frans lalu menatap pria itu dengan sorot mata bosan. “Karena saya tidak tertarik dengan Anda,” jawabnya.
Frans mendengus kesal mendengar jawaban dari Kasih itu. “Kamu akan menyesal menolak saya seperti ini,” katanya dengan nada mengancam.
Senyum Kasih melebar. Bahkan, ia hampir tertawa mendengar ancaman dari Frans itu. “Anda yang akan menyesal jika bersikap kurang ajar seperti ini kepada saya, Pak,” balasnya dengan nada lembut tapi terdengar mematikan.
Tentu saja ucapan Kasih itu membuat Frans naik darah. Frans merasa marah karena dianggap sepele seperti itu oleh Kasih. Hanya saja Frans tidak bisa melakukan apa-apa terhadap Kasih.
Dengan kesal Frans menyerahkan sebuah dokumen kepada Kasih. “Berikan itu kepada Pak Bian sekarang,” katanya menatap Kasih dengan marah.
Kasih menerima dokumen tersebut dengan tenang.
“Pastikan Pak Bian menerima langsung dokumen itu lalu minta Pak Bian untuk meninjaunya langsung. Setelah itu kembalikan dokumen itu kepada saya,” lanjut Frans sebelum akhirnya berjalan meninggalkan Kasih.
Kasih menatap dokumen di tangannya. Biantara Gautama atau yang biasa dipanggil dengan Pak Bian adalah pemimpin perusahaan ini. Seumur-umur Kasih belum pernah berhadapan langsung dengan bosnya itu. Pernah bertemu pun hanya sekadar satu lift. Itu pun Kasih dalam keadaan menutup mata, tidak benar-benar melihat wajah bosnya tersebut. Jadi, sejujurnya, Kasih tidak tahu wajah bosnya seperti apa. Kasih pun tak peduli sebenarnya.
Kasih berbalik lalu berjalan menuju lift. Kasih harus pergi ke lantai lima belas di mana ruangan Bian berada.
Sesampainya di lantai lima belas, Kasih langsung berjalan menuju ke arah meja sekretaris Bian. Kasih ingat jika pernah beberapa kali berinteraksi dengan pria itu.
“Siang,” sapa Kasih kepada pria yang saat ini tengah sibuk dengan komputer di depannya.
Sapaan Kasih itu membuat Marcel mengangkat pandangan ke arah depannya. “Siang. Ada apa?” tanyanya.
“Apa Pak Bian di dalam?” tanya Kasih kepada Marcel seraya menoleh ke arah ruangan Bian yang tertutup.
“Iya, Pak Bian di dalam,” jawab Marcel. “Apa ada janji buat bertemu Pak Bian?”
“Kurang tahu,” kata Kasih. “Saya hanya disuruh untuk mengantarkan ini langsung ke Pak Bian,” lanjutnya menunjukkan dokumen yang dibawanya. “Pak Frans yang nyuruh.”
Marcel menganggukkan kepala mengerti. “Ya udah, taruh aja di sini. Nanti biar saya yang ngasih ke Pak Bian.”
“Pak Frans nyuruh saya buat mengantarkannya langsung ke Pak Bian.”
Marcel menoleh ke arah ruangan Bian. Wajahnya tampak agak cemas. “Kamu yakin mau ke dalam buat bertemu dengan Pak Bian?” tanyanya.
“Memangnya kenapa?”
“Pak Bian sedang dalam mode marah-marah,” kata Marcel. “Agak bahaya.”
Kasih diam sejenak. Jika Kasih kembali tanpa membawa dokumen yang sudah ditinjau oleh Biantara, bisa-bisa Frans mengambil kesempatan untuk memarahinya. Dan saat ini Kasih sedang tidak ingin memberikan Frans kekuasaan untuk mengomelinya. Terlebih setelah Kasih membuat Frans kesal.
Kasih menghela napas dalam. “Nggak apa-apa,” jawabnya santai. “Jadi, boleh saya bertemu dengan Pak Bian?”
“Oke,” kata Marcel seraya bangkit dari duduknya. “Ikut saya.”
Kasih mengekor di belakang Marcel yang saat ini sudah berjalan menuju ruangan Biantara. Sebelum Marcel mengetuk pintu ruangan itu, Marcel menoleh ke arah Kasih.
“Jika, hanya jika, Pak Bian memarahimu, dengarkan saja. Jangan diambil hati,” kata Marcel pelan, seolah sedang memperingatkan Kasih. “Kamu hanya perlu menunduk lalu menganggukkan kepala. Jangan membantah atau memberi alasan tidak masuk akal kepada Pak Bian. Kalau bisa, jangan berbicara apa-apa. Dengarkan apa pun yang Pak Bian katakan. Mengerti?”
Kasih menganggukkan kepala. “Iya,” jawabnya.
“Pokoknya jangan membantah. Kamu hanya perlu mendengarkan omelan Pak Bian saja.”
“Oke,” balas Kasih.
Apa Biantara memang segalak itu sampai Marcel harus memberi Kasih peringatan waspada? Bukannya takut, Kasih malah penasaran dengan sosok Biantara yang galak ini.