“Masuk aja,” kata Marcel mempersilakan Kasih untuk masuk ke dalam ruangan Biantara setelah sebelumnya pria itu meminta izin kepada Biantara.
Kasih menganggukkan kepala lalu mendorong pintu di depannya. Kasih berjalan memasuki ruangan milik Biantara dengan langkah pasti. Meskipun kata Marcel saat ini Biantara dalam mode marah-marah, tapi Kasih tidak boleh gentar.
Ketika memasuki ruangan Biantara. Seketika itu juga Kasih merasa seperti tercekik. Aura di ruangan bosnya itu agak tidak mengenakkan. Tatapan Kasih kini terfokus pada sosok pria yang tengah duduk di kursi kebesarannya. Pria itu tampak fokus dengan laptop di depannya. Ekspresi wajahnya tampak tidak enak dilihat.
“Permisi, Pak,” kata Kasih berjalan mendekat ke arah Biantara.
Biantara masih fokus dengan laptop di depannya tanpa memedulikan kehadiran Kasih di ruangan itu.
“Pak Bian,” panggil Kasih mencoba menarik perhatian Biantara.
Biantara mendengus lalu mengangkat kepala. Pria itu menatap ke arah Kasih dengan ekspresi dingin.
“Ada perlu apa?” tanya Biantara dengan nada jengkel.
“Saya Kasih, Pak. Saya—”
“Kamu mau kasih saya apa?”
“Bukan,” ucap Kasih cepat-cepat. “Maksud saya, nama saya Kasih, Pak.”
Biantara mengernyitkan dahi sambil memasang ekspresi tidak yakin ketika mendengar nama Kasih itu.
“Siapa yang menamai anaknya dengan nama Kasih,” gumamnya geleng-geleng kepala sambil kembali menatap arah laptop di depannya. “Nama lengkap?”
“Kinena Kasih, Pak.”
“Kinena,” kata Biantara menolak memanggil nama belakang Kasih. “Ada perlu apa?” tanyanya lagi tanpa menatap ke arah Kasih.
Kasih menahan diri untuk tidak mendengus kesal karena perlakuan bosnya yang agak tidak sopan ini.
“Pak Frans menyuruh saya untuk memberikan ini kepada Pak Bian,” jawab Kasih memperlihatkan dokumen yang ada di tangannya.
“Taruh aja di meja,” balas Biantara tak acuh tanpa memedulikan Kasih yang berdiri di depan mejanya.
“Pak Frans juga berpesan agar Pak Bian bisa segera langsung meninjau dokumen ini,” kata Kasih seraya meletakkan dokumen yang dibawanya ke atas meja kerja Biantara.
Ucapan Kasih itu membuat Biantara mengangkat kepala untuk menatap ke arah Kasih. Tatapan dingin serta ekspresi tak acuh diberikan Biantara kepada Kasih.
“Bosnya siapa?” tanya Biantara tampak tersinggung dengan ucapan Kasih tadi. “Kenapa kamu berani menyuruh-nyuruh saya untuk segera meninjau dokumen ini?”
“Bukan begitu, Pak. Maksud saya—”
“Keluar,” potong Biantara terdengar jengkel sambil berdecak sebal. Tatapannya kembali beralih ke arah laptop di hadapannya.
Kasih mengamati Biantara sama kesalnya dengan pria itu. Sekarang Kasih paham apa maksud ucapan Marcel mengenai bosnya sedang dalam mode marah-marah. Dan berhadapan dengan Biantara dalam mode seperti ini memang terasa tidak nyaman serta menyebalkan. Namun, bukan Kasih namanya jika ia menyerah dengan bosnya ini. Kasih pasti akan kembali ke ruangan Frans membawa dokumen yang sudah ditinjau oleh Biantara. Sebab, Kasih tidak ingin kena omel oleh Frans. Suara Frans terlalu mengganggu telinganya.
Kasih menarik napas dalam seraya tersenyum kecil ke arah Biantara. “Pak Bian,” panggilnya dengan nada lembut yang biasanya mampu meluluhkan siapa saja yang mendengarnya. “Apa Pak Bian benar-benar—”
Biantara mengangkat kepala untuk menatap ke arah Kasih. “Ngapain masih di sini?” potongnya terdengar lebih jengkel dari sebelumnya. “Keluar. Saya sibuk,” tambahnya memberi tatapan mengusir kepada Kasih.
Kasih menatap ke arah Biantara dengan tatapan tak percaya. Apa bosnya ini benar-benar mengabaikan pesona Kasih yang biasanya mampu membuat siapa saja bertekuk lutut? Kasih benar-benar tidak mempercayai ini.
Kasih mendenguskan napas kasar lalu berbalik untuk berjalan meninggalkan ruangan Biantara. Dalam hati Kasih terus saja mengomel karena diperlakuan seenaknya oleh Biantara.
“Sudah?” tanya Marcel kepada Kasih ketika Kasih melewati mejanya.
Kasih berhenti melangkah lalu menoleh ke arah Marcel. “Apa hari ini saya terlihat berantakan? Apa saya terlihat jelek? Atau ada sesuatu di wajah saya?”
Marcel yang kebingungan dengan pertanyaan Kasih itu hanya menggelengkan kepala. Di mata Marcel, siang ini Kasih terlihat sangat cantik. Ada sesuatu pada diri Kasih yang membuat Marcel sangat betah untuk memandanginya.
“Kamu cantik,” kata Marcel dengan gugup.
“Iya kan?”
Marcel menganggukkan kepala.
Kasih mendengus kesal seraya kembali berjalan meninggalkan meja Marcel. “Bisa-bisanya pesona gue nggak mempan di depan Pak Bian,” gerutunya pelan.
Kasih berdiri di depan lift, menunggu lift datang untuk membawanya turun ke lantai di mana ruangannya berada. Kasih kembali mengingat sosok Biantara yang menurutnya tampak begitu suram. Meskipun bosnya itu terlihat cukup oke dalam segi wajah dan penampilan, tapi, aura yang dipancarkan oleh Biantara begitu dingin dan gelap. Seolah Biantara tengah memiliki begitu banyak tekanan dalam hidupnya. Selain itu, samar-samar Kasih dapat melihat sosok hitam yang bergentayangan di sekitar Biantara. Selain cantik, Kasih pun memiliki kemampuan untuk melihat makhluk tak kasat mata. Kasih memiliki kemampuan itu sejak kecil. Jadi, bagi Kasih, melihat makhluk halus bukanlah hal yang terlalu mengejutkan baginya.
Kasih memasuki lift yang terbuka di hadapannya lalu menekan tombol dua belas. Dengan begitu, lift membawanya turun ke lantai di mana ruangannya berada.
Sesampainya di lantai dua belas, Kasih langsung berjalan menuju ruangannya. Namun, belum sempat memasuki ruangannya itu, Maulia memanggilnya dari arah belakang.
“Ada apa, Mbak?” tanya Kasih kepada rekan kerjanya itu.
“Lo dicariin sama Pak Frans,” jawab Maulia.
Kasih menghela napas dalam mendengar ucapan Maulia itu.
“Pak Frans tadi bilang kalau lihat lo, dia nyuruh lo ke ruangannya,” kata Maulia menambahkan. “Dia ngapain nyariin lo terus, sih?”
“Entah lah,” balas Kasih dengan malas.
“Mau gue temenin?”
Kasih menggelengkan kepala. “Nggak perlu,” ucapnya. “Gue ke sana sekarang, deh.”
Maulia menganggukkan kepala. “Kalau ada apa-apa, teriak aja. Oke?”
Kasih terkekeh pelan mendengar pesan dari Maulia itu. “Oke,” balasnya santai.
Setelah itu Kasih mulai melangkah menuju ruang kerja Frans yang berada tak begitu jauh dari ruangan Kasih.
Kasih mengetuk pintu ruangan Frans sebelum akhirnya ia mendengar suara Frans mempersilakannya masuk. Dengan helaan napas dalam Kasih membuka pintu di depannya lalu masuk ke dalam ruangan atasannya itu. Demi keamanannya, Kasih sengaja membiarkan pintu ruangan itu terbuka.
“Kasih,” ucap Frans menatap Kasih yang saat ini sudah berdiri di depan mejanya. “Mana dokumennya?”
“Saya tinggal di meja Pak Bian.”
“Bukankah saya bilang untuk membawa dokumen yang sudah ditinjau oleh Pak Bian?” tanya Frans tampak menikmati kegagalan misi yang diberikannya kepada Kasih. “Kenapa malah kamu tinggal dokumen itu? Kamu bisa kerja nggak, sih?”
Tampaknya Frans sudah mengira bahwa Kasih tidak akan berhasil menyelesaikan tugas yang diberikannya itu. Hal ini tentu saja membuat Kasih kesal. Bisa-bisanya Frans melakukan hal kekanakan seperti ini.
Kasih menggebrak meja sambil menatap Frans dengan ekspresi dingin. “Bosnya siapa?” bentak Kasih. “Kenapa kamu berani menyuruh-nyuruh saya untuk segera meninjau dokumen ini?” tambahnya menirukan ucapan Biantara tadi.
Frans terlonjak kaget karena perbuatan Kasih itu. Bahkan, Frans tampak mematung beberapa detik.
“Begitu kira-kira ucapan Pak Bian,” tambah Kasih tersenyum menyebalkan ke arah Frans.
Frans berdeham guna melepaskan diri dari kekagetannya. “Saya kan—”
“Mungkin Pak Frans bisa langsung menemui Pak Bian jika ingin dokumen itu segera ditinjau,” potong Kasih segera. “Kalau tidak ada hal lain lagi, saya permisi.”
Setelah mengucapkan itu Kasih segera berjalan meninggalkan ruangan Frans.
Apa Frans pikir Kasih akan diam saja setelah dikirim ke kandang singa seperti tadi? Kasih tidak akan tinggal diam jika diperlakukan seenaknya seperti itu. Terlebih, perlakuan Frans ini disebabkan oleh dendam pribadi.
Dasar ego pria.