Biantara kembali memijit pelipisnya. Kepalanya terasa nyeri. Sebaiknya setelah ini Biantara meminum obat pereda rasa nyeri untuk kepalanya.
Biantara menghela napas dalam seraya mengamati membuang pandangan pada jalanan yang ada di luar gedung. Saat ini Biantara tengah menunggu Marcel membawa mobilnya ke depan. Biantara berniat untuk meminta Marcel mengantarkannya pulang. Biantara merasa tidak sanggup untuk menyetir sendiri sampai rumah.
Tatapan Biantara beralih pada seorang perempuan yang tengah berjalan menuju pintu ganda kaca. Perlahan Biantara berjalan ke arah pintu yang sama. Dengan sigap Biantara membantu perempuan yang tengah hamil itu untuk membuka pintu ganda itu dan membiarkan perempuan tersebut untuk berjalan terlebih dahulu.
“Terima kasih, Pak,” kata perempuan itu dengan sopan seraya menganggukkan kepala kepada Biantara.
Biantara balas mengangguk seadanya lalu ikut berjalan melewati pintu. Biantara mengamati perempuan tadi yang saat ini tengah berjalan ke arah mobil hitam yang berhenti di pinggir jalan. Seorang pria muda bertubuh jangkung keluar dari mobil menyambut kehadiran perempuan tadi dengan senyum hangat. Keduanya saling berpelukan sebelum akhirnya pria itu membukakan pintu untuk sang perempuan lalu mempersilakan perempuan itu untuk masuk ke dalam mobil.
Biantara menghela napas dalam. Jika dulu semuanya berjalan lancar, kemungkinan dirinya dan Gissella akan memiliki kehidupan bahagia dan penuh cinta seperti pasangan suami istri itu. Namun, semuanya berjalan tidak sesuai dengan apa yang Biantara harapkan. Hubungannya dan Gissella kandas. Hidupnya berantakan.
Terdengar suara klakson yang membuyarkan lamunan Biantara. Sebuah mobil kini tengah berhenti di pinggir jalan depan gedung perusahaan milik Biantara. Di dalam mobil itu ada sosok Marcel yang tengah mengangguk singkat kepada Biantara.
Dengan helaan napas dalam Biantara berjalan ke arah mobil itu. Biantara ingin segera pulang. Meskipun ini baru jam lima sore lebih lima belas menit, tapi Biantara sudah merasakan kelelahan yang luar biasa.
***
Biantara terbangun dari tidurnya dengan napas memburu. Ia baru saja bermimpi buruk. Dalam mimpinya, Biantara merasa seperti terhisap ke dalam lumpur yang membuatnya tidak bisa bergerak ataupun bernapas.
Biantara mengedarkan pandangan ke sepenjuru ruangan. Kamar di rumah barunya terasa kosong. Hanya ada satu lemari dan juga tempat tidur di ruangan besar ini. Awalnya Biantara membangun rumah ini untuk ditempatinya ketika dirinya sudah menikah dengan Gissella. Namun, niatnya itu pupus karena pernikahan itu tidak pernah terjadi.
Mendadak saja Biantara teringat kepada perempuan yang ditemuinya di kelab malam beberapa hari yang lalu. Sosok perempuan cantik bertopeng itu membuat Biantara kembali mendampakan sentuhan tangannya di pipi Biantara. Sentuhan hangat itu membuat Biantara rileks dan membuatnya dapat tidur dengan nyenyak setelahnya.
“Aku harus bertemu dengannya lagi,” gumam Biantara seraya turun dari ranjang.
Lalu, setelahnya Biantara bergegas untuk pergi ke kelab malam yang waktu itu ia kunjungi, berharap dapat menemukan perempuan cantik itu lagi.
***
“Saya sudah memindah jadwal rapat tadi jam delapan ke jam dua siang. Lalu, untuk laporan yang harus Anda tandatangani segera sudah saya letakkan di meja Bapak. Anda hanya perlu menandatanganinya saja. Beberapa data yang Anda minta sudah saya kirim ke email,” kata Marcel seraya mengekor di belakang Biantara.
Biantara menganggukkan kepala mendengar penjelasan Marcel itu.
Hari ini Biantara berangkat ke kantor agak siang. Tentu saja hal ini disebabkan oleh rasa pengar yang disebabkan oleh minimal beralkohol yang Biantara tenggak semalam. Tadi malam Biantara memang pergi ke kelab malam bermaksud menemui perempuan yang ditemuinya waktu itu. Namun, setelah menunggu lama, Biantara tidak juga menjumpai perempuan itu. Bartender di sana berkata jika perempuan itu hanya datang ke kelab setiap Sabtu malam. Dan bartender itu pun berkata jika Biantara bukanlah satu-satunya pria yang mencarinya atas rasa penasaran.
Biantara tidak menyangka jika perempuan tersebut akan sepopuler itu hingga banyak orang yang mencarinya. Namun, ketika mengingat kecantikan yang dipancarkan oleh perempuan itu, Biantara dapat memahami kenapa dia sepopuler itu.
“Davina nggak berangkat?” tanya suara tak jauh di belakang Biantara.
“Iya, Mbak. Dia kirim pesan ke gue katanya sakit,” balas suara yang lain.
“Sakit apa?”
“Kurang tahu juga. Nggak bilang ke gue sakit apa.”
“Semoga nggak ada hubungannya dengan kandungannya.”
“Iya.”
“Kasih, lo nggak apa-apa?”
Biantara mengernyitkan dahi mendengar nama yang baginya tampak janggal itu. Biantara merasa pernah mendengar nama itu sebelumnya.
Biantara melirik ke belakangnya. Dilihatnya dua orang perempuan tengah berdiri tak jauh di belakangnya. Mereka tampaknya tengah menunggu lift seperti Biantara dan beberapa orang yang lain yang ada di sekitar Biantara.
“Nggak apa-apa. Kepala gue hanya agak pusing,” kata Kasih. “Duduk dulu, yuk. Kita naik lift selanjutnya aja.”
“Ya udah, ayo.”
“Silakan, Pak,” kata Marcel yang membuat Biantara menatap ke arah pintu lift yang saat ini sudah terbuka di depannya.
Biantara melangkahkan kaki memasuki lift. Marcel mengekor di belakangnya. Sebelum pintu lift tertutup, Biantara beradu pandang dengan seorang perempuan yang memiliki mata begitu indah. Untuk sesaat hati Biantara seakan merasa tenang dan damai. Namun, detik berikutnya, ketika pintu lift tertutup, hati Biantara kembali gusar dan terasa berat.
Biantara menghela napas dalam. Jika terus-terusan merasa seperti ini, bisa-bisa Biantara berakhir di dalam ruangan dokter kejiwaan.
“Oh ya, Marcel,” kata Biantara menoleh ke arah Marcel yang berada di sampingnya.
“Iya, Pak?”
“Kasih,” ucap Biantara tiba-tiba mengingat nama yang agak aneh itu. “Kamu kenal?”
“Kasih?”
Biantara menganggukkan kepala. “Saya merasa tidak begitu asing dengan nama itu. Kasih. Nama orang.”
“Ah, Kasih,” balas Marcel seakan mengerti siapa yang Biantara maksud. “Tadi dia juga sedang menunggu lift bersama kita, Pak. Tapi, nggak ikut naik.”
“Kamu mengenalnya?”
“Hanya tahu, Pak,” jawab Marcel. “Kasih itu yang saya maksud primadona lantai dua belas, Pak,” bisiknya kepada Biantara. “Juga, perempuan yang kemarin ke ruangan Pak Bian untuk mengantarkan dokumen.”
“Ah,” balas Biantara singkat.
Akhirnya Biantara ingat dengan nama itu. Benar. Kemarin ada perempuan yang mengenalkan diri dengan nama Kasih yang meminta Biantara untuk meninjau sebuah dokumen. Karena Biantara tidak nyaman memanggilnya dengan nama Kasih, Biantara ingat jika ia memanggilnya dengan nama depannya. Hanya saja, Biantara tidak ingat siapa nama depan perempuan itu.
“Kamu tahu nama lengkap perempuan tadi?” tanya Biantara.
“Maksud Pak Bian, Kasih?”
Biantara menganggukkan kepala.
“Kinena Kasih, Pak, kalau tidak salah.”
“Ah, benar,” gumam Biantara menganggukkan kepala mengingat nama perempuan itu. Biantara menoleh ke arah Marcel. “Nanti minta Kinena ke atas.”
“Kinena Kasih maksud Pak Bian?”
“Iya. Panggil dia ke atas untuk mengambil dokumen yang dia kasih kemarin. Habis ini biar saya tinjau.”
“Baik, Pak.”