Biantara berjalan memasuki restoran yang cukup mewah. Seorang pelayan segera memandu Biantara menuju meja kosong yang berada di dalam restoran itu.
“Silakan,” kata pelayan seraya menyerahkan buku menu kepada Biantara.
Biantara menyebutkan pesanannya. Setelah mencatat pesanan Biantara, pelayan itu langsung pamit untuk pergi meninggalkan meja.
Biantara menghela napas dalam seraya menoleh ke arah kaca jendela di sampingnya. Tadi, sesampainya di rumah, Biantara merasa kelaparan. Namun, ia lupa jika saat ini dirinya tinggal di rumahnya sendiri. Sendirian. Tidak ada pembantu ataupun siapa pun yang bisa memasakkan sesuatu untuknya. Maka dari itu, Biantara langsung pergi keluar untuk makan malam di sini.
Tak lama kemudian pesanan Biantara datang. Segera ia melahap steak pesananya dengan lahap. Ketika Biantara tengah sibuk menikmati pesanannya, tiba-tiba saja pria itu mendengar tawa ringan yang begitu lembut dari arah belakangnya. Rasa penasaran membuat Biantara menoleh ke belakang.
“Aku nggak percaya kalau kamu single,” kata perempuan yang tengah duduk berhadapan dengan seorang pria.
“Beneran,” balas pria itu tersenyum kecil ke arah perempuan di depannya. “Aku malah yang nggak yakin kalau kamu masih sendiri. Masak cewek secantik kamu belum ada yang punya,” godanya.
Perempuan itu terkekeh pelan. “Nggak mudah buat memilikiku tahu,” ucapnya.
Biantara merasa tidak asing dengan wajah perempuan itu. Lalu, sebuah nama yang bagi Biantara terdengar aneh muncul di benaknya. Kasih. Benar. Perempuan cantik berambut panjang yang sedang duduk di meja belakang Biantara adalah Kasih. Biantara tidak mungkin salah mengenali orang.
“Memang sesusah apa, sih, buat memiliki kamu?”
“Ya…, minimal mobil lah,” jawab Kasih kembali terkekeh.
Biantara menghela napas sambil geleng-geleng kepala.
“Dasar matre,” gumam Biantara tak habis pikir.
Biantara tak lagi mempedulikan percakapan Kasih dengan pria yang tengah makan malam bersamanya. Pria itu kembali menyantap steak pesanannya. Ketika Biantara hendak memanggil pelayan guna memesan wine, tiba-tiba saja fokus Biantara teralihkan oleh obrolan Kasih dengan pria kencannya.
“Sepuluh juta,” kata pria itu kepada Kasih. “Temani aku malam ini.”
Kasih mendenguskan tawa mengejek. “Jadi, kamu menghargaiku hanya sepuluh juta?” tanyanya. “Gadis secantik diriku hanya seharga sepuluh juta?” ulangnya. “No thanks.”
“Sial,” balas pria itu terkekeh pelan. “Lalu kamu minta berapa?”
Biantara kembali menoleh ke belakangnya, menatap Kasih dengan sorot mata tidak suka. Bagaimana bisa ada perempuan serendah itu?
“Sepuluh juta hanya untuk menemanimu makan saja,” kata Kasih.
“Menemaniku makan pun harus membayar?”
Kasih menganggukkan kepala. “Benar,” jawabnya. “Lihat lah sekeliling,” lanjutnya. “Banyak mata menatapmu dengan iri karena makan malam dengan gadis secantik diriku. Bukankah itu sangat membanggakan?”
Pria tersebut tertawa. Seakan puas dengan apa yang dikatakan oleh kasih. “Benar,” katanya. “Aku merasa telah memperoleh trofi karena makan malam dengan perempuan secantik dirimu.”
“Jadi, apa kamu akan memberiku sepuluh juta?”
Pria itu tampak diam, seakan tengah berpikir. Lalu, pria itu menganggukkan kepala dengan yakin. “Tentu saja,” katanya merasa senang.
Kasih terkekeh pelan. “Aku menyukai makan malam denganmu,” ucapnya.
Biantara melirik ke arah pria yang tengah duduk berhadapan dengan Kasih. Wajah pria itu tampak tak asing di mata Biantara. Seolah ia pernah melihat pria itu sebelumnya. Namun, Biantara tidak bisa mengingat dengan jelas di mana ia melihat pria itu. Apa mungkin pria itu adalah salah satu karyawannya di kantor? Bukan. Biantara rasa ia tidak melihat pria itu di dalam gedung kantornya. Lalu, ingatan tentang pria jangkung yang tengah menjemput seorang wanita hamil di depan gedung perusahaannya mendadak muncul di kepalanya. Benar. Pria ini adalah pria yang sama yang dilihatnya kemarin di depan kantor. Biantara tidak mungkin salah mengenali orang.
Biantara menatap Kasih dengan tatapan tidak percaya. Bagaimana mungkin perempuan itu tega berkencan dengan suami orang? Terlebih, pria itu adalah suami salah satu karyawan di tempat kerjanya. Dan bisa jadi, pria itu adalah suami dari teman Kasih sendiri.
Keterlaluan.
Biantara segera memanggil pelayan untuk untuk meminta bill. Setelah membayarnya, ia segera bangkit dari duduk lalu berjalan menghampiri meja di mana Kasih berada. Pria itu menatap Kasih dengan tatapan galak. Kasih yang melihat kemunculan Biantara di sana sontak mengerjapkan mata dengan ekspresi terkejut.
“Kinena,” panggil Biantara memasang ekspresi dingin. “Ikut saya,” tambahnya berjalan meninggalkan meja di mana Kasih dan pria tadi berada.
Kasih yang masih dalam keadaan terkejut hanya bergeming di tempatnya.
“Itu siapa?” tanya pria yang ada di hadapan Kasih.
“Bosku,” jawab Kasih. Tatapannya mengarah pada sosok Biantara yang saat ini tengah berhenti seraya menoleh ke arah Kasih, menatap Kasih dengan sorot mata tajam. “Sebaiknya aku ke sana dulu,” ucapnya seraya bangkit dari duduk lalu berjalan mengikuti Biantara yang saat ini sudah berjalan keluar dari restoran.
Kasih mendekat ke arah Biantara yang tengah memunggunginya dengan tatapan ke arah jalan raya di hadapannya.
“Pak Bian,” panggil Kasih.
Biantara menoleh, menatap ke arah Kasih. Sorot mata Bian tampak penuh amarah. Hal ini membuat bulu kudu Kasih berdiri. Sosok Biantara mendadak saja menjadi agak menyeramkan. Pria itu seperti diselimuti aura yang gelap.
“Apa kamu tahu siapa pria itu?” tanya Biantara dengan galak.
Kasih mengernyitkan dahi bingung. “Tahu,” jawabnya.
“Apa kamu juga tahu kalau dia sudah memiliki istri?”
Kasih membelalakkan mata kaget mendengar ucapan Biantara itu. Bagaimana Biantara bisa tahu jika pria tadi sudah memiliki istri?
“Dan istrinya sedang hamil, Kinena,” kata Biantara lagi dengan nada dingin. “Bagaimana bisa kamu tega berselingkuh dengan suami orang? Kamu juga perempuan kan? Bisa-bisanya kamu tega menyakiti perempuan lain.”
“Pak, saya—”
“Bahkan kamu meminta uang kepada pria itu? Apa kamu memang serendah ini, Kinena? Kamu wanita bayaran kah?” potong Biantara tidak memberikan Kasih kesempatan untuk menjelaskan.
“Pak Bian! Anda kelewatan,” bentak Kasih marah. Ia merasa ucapan Biantara sangat keterlaluan.
“Saya kelewatan? Lalu bagaimana dengan perempuan perebut suami orang seperti kamu?” tanya Biantara terdengar begitu tajam dan menusuk.
“Kehidupan pribadi saya di luar kantor bukan urusan Bapak,” balas Kasih menatap Biantara dengan berani. Seolah tidak ada yang salah dengan apa pun yang ia lakukan. “Saya permisi,” tambahnya dengan nada dingin.
Setelah itu, Kasih berbalik untuk kembali berjalan memasuki restoran.
“Dasar murahan,” gumam Biantara menatap punggung Kasih dengan penuh kebencian.