Bab 7. Tuduhan dari Biantara

1570 Kata
Kasih mengempaskan pantatnya ke sofa depan televisi. Rasa kesal masih menggelayuti hatinya karena ucapan Biantara tadi. Kasih benar-benar tidak terima dikatai oleh Biantara sebagai wanita bayaran. Kasih kan tidak serendah itu! “Bos nyebelin,” gerutu Kasih. “Pantes saja auranya gelap, suram dan mencekam,” tambahnya semakin kesal. “Lihat aja, bentar lagi juga banyak makhluk halus yang ngikutin orang kayak gitu. Kesurupan baru tahu rasa lo! Ngeselin banget!” “Kasih,” panggil suara dari arah ruang makan. Ketika menoleh, Kasih melihat ibunya tengah berjalan mendekat ke arahnya. “Kamu baru pulang?” Kasih tersenyum lalu menganggukkan kepala. “Iya, Bu.” “Kenapa pulangnya agak malam?” “Tadi, sempat jalan dulu, Bu. Keluar makan sama temen.” “Begitu, ya. Jadi kamu udah makan malam di luar?” tanya ibunya lagi yang saat ini sudah duduk di samping Kasih. “Iya, Bu. Ibu sendiri udah makan?” “Udah. Tadi ibu udah makan kok,” jawab Ibunya seraya mengelus sisi kepala Kasih sambil menatap Kasih penuh sayang. “Kamu baik-baik saja kan, Kasih?” “Iya, Bu. Kasih baik-baik saja kok. Memangnya Kasih bisa kenapa, sih?” balasnya enteng. “Baguslah kalau begitu,” ucap Ibunya tersenyum kecil ke arah Kasih. Ibu Kasih ini memang tipe ibu yang selalu mengkhawatirkan anaknya. Setiap hari ibu Kasih akan menanyakan keadaan Kasih seolah Kasih bisa terluka kapan saja. “Ya udah kalau gitu mandi sana,” kata Ibunya. “Terus istirahat. Besok kamu harus berangkat kerja pagi kan?” Kasih menghela napas dalam seraya menganggukkan kepala. “Iya, Ibu,” jawabnya. Setelah itu Kasih bergegas pergi ke kamarnya, meninggalkan Ibunya yang masih berada di ruang TV. Sudah lama Kasih tinggal berdua dengan Ibunya. Dulu Kasih memiliki ayah sambung waktu dia berusia sekitar sepuluh tahun, tapi ayah sambungnya itu meninggal karena kecelakaan ketika Kasih berusia sekitar tujuh belas tahun. Sedangkan mengenai ayah kandungnya, Kasih tidak pernah tahu. Ibunya juga enggan menceritakan mengenai ayah kandungnya. Ibunya hanya bilang kalau ayah kandung Kasih sudah meninggal karena kecelakaan ketika Kasih masih dalam kandungan. Hanya itu yang Kasih tahu. Dulu sih, Kasih amat sangat penasaran dengan ayah kandungnya seperti apa. Namun, setiap kali membahas ayah kandungnya, wajah ibunya sontak berubah menjadi tidak nyaman. Seolah ayah kandung Kasih meninggalkan trauma yang mendalam pada diri ibunya. Hal ini membuat Kasih berhenti menanyakan mengenai ayah kandungnya. Toh tanpa mengetahui siapa ayah kandungnya pun Kasih tetap hidup dengan baik seperti sekarang. Jadi, tidak ada masalah. Ponsel Kasih yang berada di dalam tas bergetar. Segera ia merogoh benda itu lalu membuka pesan yang baru saja masuk ke dalam ponselnya. Gimana tadi? -Maulia- Kasih tersenyum bangga seraya mengetikkan balasan untuk teman kantornya itu. Gue dapat lima belas juta. Kirim. *** Kasih berjalan santai ke arah mejanya berada. Sebelum pantatnya mendarat di kursinya, tiba-tiba saja Maulia memanggilnya dengan panik. “Kasih,” panggil Maulia yang muncul dari pintu ruangan kerja mereka. “Ada apa, Mbak?” tanya Kasih dengan bingung melihat ekspresi cemas di wajah wanita itu. “Lo dicariin sama Pak Bian,” kata Maulia. “Gue dicariin Pak Bian?” Maulia menganggukkan kepala dengan panik. “Iya. Dia baru aja dari sini. Pak Bian nyuruh lo ke ruangannya kalau lo udah datang,” jawabnya. “Lo bikin salah apa, sih? Kenapa Pak Bian cariin lo? Mana tadi cari lo dengan memasang wajah jengkel gitu. Serem tahu.” Kasih menghela napas kasar. Jangan-jangan Biantara mencari Kasih buntut dari kejadian semalam? Kalau iya, kenapa Biantara ikut campur banget sih, urusan pribadi karyawannya? Di luar jam kantor kan, itu bukan urusan Biantara! Menyebalkan sekali bosnya itu. “Davina mana? Dia berangkat nggak?” “Berangkat. Dia lagi di toilet tadi.” “Dia baik-baik saja?” Maulia mengangkat kedua bahunya dengan ekspresi nelangsa. “Ya gitu deh,” balasnya. Kasih mengangguk-anggukkan kepala. “Kasih,” panggil suara dari pintu ruangan. Kasih dan Maulia menoleh ke sumber suara. Di sana kini sudah ada sosok Frans yang tengah menatap Kasih dengan tatapan meremehkan. “Kamu disuruh ke ruangan Pak Bian sekarang,” kata Frans memberi informasi yang sama seperti Maulia. “Iya, Pak,” balas Kasih. “Pak Bian lagi galak-galaknya,” ucap Frans seolah tahu jika Kasih akan kena marah oleh Biantara. “Kamu bikin masalahkah? Apa perlu saya yang maju buat menenangkan Pak Bian?” Kasih tersenyum kecil ke arah Frans. “Saya rasa Bapak pun tidak akan bisa meredakan amarah Pak Bian. Jadi, Pak Frans tidak perlu repot-repot,” jawabnya. “Kalau begitu saya mau permisi dulu.” Setelah mengucapkan itu Kasih langsung pergi dari ruangannya menuju lift untuk naik ke lantai lima belas. Kasih rasa, ia perlu menyiapkan diri berhadapan dengan Biantara yang sepertinya masih dalam mode marah-marah. Sesampainya di lantai lima belas, Kasih langsung berjalan menuju di mana ruangan Biantara berada. Di depan ruangan bosnya itu, Kasih melihat Marcel yang tampak agak gusar. “Pak Bian di dalam?” tanya Kasih yang saat ini sudah berada di depan Marcel. “Katanya saya disuruh ke ruangan Pak Bian.” “Iya, Pak Bian ada di dalam,” jawab Marcel. “Apa…, apa kamu akan baik-baik saja?” “Maksudnya?” “Pak Bian masih dalam mode marah-marah. Kalau boleh jujur sih, kali ini lebih menakutkan dari waktu kamu ke sini beberapa hari yang lalu. Kamu nggak takut?” “Well, saya sudah pernah melihat sesuatu yang lebih menakutkan daripada Pak Bian. Jadi saya akan baik-baik saja,” jawab Kasih santai. “Memangnya apa yang lebih menakutkan daripada Pak Bian dalam mode marah-marah begini?” Kasih mengangkat kedua bahunya tak acuh. “Hantu tanpa kepala misalnya,” katanya enteng. Jawaban Kasih itu membuat Marcel menatap Kasih dengan kaget. Pria itu tidak mengira akan mendapatkan jawaban seperti itu. “Jadi, apa saya boleh masuk ke dalam?” Marcel menganggukkan kepala. “Iya, silakan,” jawabnya. “Saran saya masih seperti kemarin. Dengerin saja kalau Pak Bian mengomel. Jangan membantah. Oke?” Kasih hanya menganggukkan kepala seadanya. Setelah itu, Kasih berjalan memasuki ruangan Biantara setelah mengetuk pintu ruangan itu tiga kali. Di ruangan itu, Kasih melihat sosok Biantara tengah duduk di sofa yang ada di ruangan dengan pandangan lurus menatap ke arah Kasih. Sorot mata tajam yang Biantara berikan membuat Kasih semakin sebal. Aura gelap yang pria itu pancarkan sontak membuat kepala Kasih berdenyut hebat. Memang, terkadang Kasih merasakan pusing ketika berhadapan dengan orang dengan aura tidak mengenakkan seperti Biantara ini. “Pak Bian mencari saya?” tanya Kasih berjalan mendekat ke arah Biantara. “Duduk,” kata Biantara menunjuk sofa yang berada di dekatnya dengan dagunya. Kasih mengambil duduk di sofa yang tadi ditunjuk oleh Biantara. Meskipun enggan, tapi Kasih mencoba memfokuskan tatapan ke arah bosnya itu. “Kalau boleh tahu, ada apa Pak Bian mencari saya?” Biantara menatap Kasih dengan sorot mata dingin. Ada rasa tidak suka yang pria itu pancarkan ketika menatap ke arah Kasih. Sungguh, baru kali ini Kasih mendapat penolakan secara terang-terangan seperti ini. “Saya tahu, saya tidak punya hak untuk menghakimi kehidupanmu di luar jam kantor. Seharusnya saya pun tidak peduli jika kamu mau kencan atau jalan dengan pria manapun, bahkan jika itu suami orang, saya benar-benar tidak peduli,” ucap Biantara dengan nada jijik. Tentu saja ucapan Biantara itu membuat Kasih terkejut bukan main. Bagaimana bisa bosnya mengatakan hal yang sangat merendahkan seperti itu kepada Kasih? “Hanya saja, reputasimu di luar sana bisa sangat berpengaruh dengan perusahaan ini. Jadi, sebelum apa pun yang kamu lakukan itu viral dan membuat citra perusahaan buruk, saya harap kamu bisa berhenti melakukan apa pun yang kamu lakukan itu,” lanjut Biantara ekspresi dingin. “Ini peringatan pertama dari saya. Saya—” “Sebentar,” potong Kasih menatap Biantara dengan ekspresi tersinggung. “Memangnya Pak Bian menganggap saya itu wanita seperti apa? Kenapa Pak Bian tiba-tiba menghakimi saya seperti ini?” Biantara mendenguskan tawa mengejek. “Kamu ingin saya memperjelas ucapan saya?” Kasih menatap Biantara dengan marah. “Saya tidak seperti yang Bapak tuduhkan,” katanya menekankan setiap kata dalam kalimat itu. “Saya melihat dengan mata kepala saya sendiri, Kinena,” balas Biantara. Kali ini Kasih lah yang mendenguskan tawa mengejak. “Sangat konyol,” ucapnya geleng-geleng kepala. Perkataan Kasih itu membuat Biantara meradang. Biantara merasa tidak terima dengan ucapan Kasih yang seperti tengah mengatainya. “Pria yang bersama kamu semalam adalah suami salah satu karyawan di sini,” kata Biantara dengan tajam. “Dan istri pria itu saat ini tengah hamil, Kinena. Apa yang akan terjadi jika wanita itu tahu bahwa suaminya berselingkuh dengan kamu, yang kebetulan adalah karyawan di perusahaan ini? Bukankah hal itu bisa membuat—” “Davina,” sahut Kasih dengan kesal memotong ucapan Kasih. “Istri pria yang semalam dengan saya adalah Davina. Kalau Pak Bian ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi, tanyakan saja kepada Davina,” lanjut Kasih seraya bangkit dari duduk. “Setelah Pak Bian tahu kebenarannya, silakan panggil saya kembali. Saya permisi.” Kasih berjalan meninggalkan Biantara. “Kinena!” seru Biantara dengan berang. “Jangan seenaknya pergi begitu saja! Kamu mau saya pecat?” Kasih berhenti lalu berbalik untuk menatap ke arah Biantara. “Silakan kalau Bapak ingin memecat saya,” katanya balik menantang. “Saya rasa lebih baik saya kerja di tempat lain daripada harus dihakimi oleh Anda yang tidak tahu apa-apa.” Setelah mengucapkan itu, Kasih langsung keluar dari ruangan Biantara. Kasih tidak akan sudi bekerja di bawah bos sok tahu beraura gelap seperti Biantara. Memangnya dia siapa berani merendahkan Kasih seperti itu?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN