Bab 8. Penjelasan Davina

1310 Kata
Biantara memandang kesal arah pintu yang baru saja dilewati oleh Kasih. Bisa-bisanya Biantara memiliki karyawan tidak sopan seperti perempuan itu. Selain tidak sopan, Kasih pun tampaknya tidak tahu diri. Bulan lalu brand miliknya terancam diboikot, yang membuat penjualan menurun, karena kasus perselingkuhan salah satu karyawan yang cukup memiliki jabatan di perusahaan ini. Kasus itu sempat sangat viral dan berimbas pada perusahaan. Alhasil, Biantara harus memecat karyawan tersebut untuk meredakan amarah orang-orang di luar sana. Dan sekarang, gara-gara kelakuan Kasih, bisa-bisa kasus itu terulang lagi. Biantara benar-benar tidak ingin mengambil risiko. Terdengar ketukan dari arah pintu. “Masuk,” kata Biantara. Sosok Marcel berjalan memasuki ruangan seraya membawa beberapa stopmap di tangannya. “Permisi, Pak Bian,” ucap Marcel melangkah mendekat ke arah Biantara yang saat ini tengah duduk di sofa. “Saya ingin meminta—” “Marcel,” potong Biantara seraya menegakkan badannya dengan tatapan lurus ke arah sekretarisnya itu. “Tolong panggil Davina ke sini.” “Davina?” tanya Marcel tampak bingung. “Iya. Saya tidak tahu nama lengkapnya siapa. Pokoknya Davina, dia sedang hamil. Panggil dia ke sini. Sekarang.” “Kalau boleh tahu, Davina ini staff bagian apa, Pak?” “Mana saya tahu,” jawab Biantara sewot. “Tanyakan saja ke Kinena.” “Baik, Pak,” kata Marcel buru-buru sebelum kena sembur oleh Biantara. “Kalau begitu saya permisi dulu, Pak.” Setelah itu Marcel berbalik untuk pergi meninggalkan ruangan Biantara tanpa repot-repot melaksanakan tujuannya semula datang menemui Biantara. Sambil menunggu Davina datang, Biantara menyibukkan diri dengan membalas beberapa pesan dan email yang masuk ke dalam ponselnya. Ia sengaja mengabaikan pesan dari adiknya yang meminta uang untuk membeli entah apa. Ian, adik Biantara, terlalu boros untuk ukuran cowok. Sekitar lima belas menit kemudian, pintu ruangan Biantara diketuk. Segera Biantara mempersilakan siapa pun yang ada di depan pintu masuk. Seorang perempuan muda yang tampak tengah mengandung berjalan pelan memasuki ruangan Biantara. Dari gesture tubuhnya, tampak kecemasan yang bisa Biantara rasakan. “Permisi, Pak Bian mencari saya?” tanya perempuan itu. “Davina?” tanya Biantara. “Iya, Pak. Saya Davina.” “Silakan duduk,” kata Biantara mempersilakan Davina duduk di salah satu sofa di dekatnya. Davina menganggukkan kepala lalu mengambil duduk di sofa yang agak jauh dari Biantara. Sangat kentara jika Davina merasa takut berdekatan dengan Biantara. “Davina, kamu kerja di bagian apa?” tanya Biantara berbasa-basi. “Saya bekerja di bagian desain, Pak.” Biantara menganggukkan kepala. “Lalu, saat ini apa yang sedang kamu kerjakan?” “Saat ini saya sedang mengerjakan desain beberapa jaket jeans dan hoodie, Pak.” “Apa pekerjaanmu berat?” Davina tersenyum seraya menggelengkan kepala. “Tidak, Pak. Saya masih sanggup mengerjakan semuanya tepat waktu,” jawabnya. “Bagus kalau begitu,” balas Biantara. “Omong-omong, usia kandunganmu sudah berapa bulan?” “Sudah tujuh bulan, Pak,” kata Davina seraya mengusap perutnya tanpa sadar. “Kamu jangan terlalu capek. Jika ada pekerjaan yang sekiranya berat, bisa minta bantuan sama staff yang lain.” “Iya, Pak. Terima kasih.” “Oh ya, apa pria yang tempo hari itu, yang jemput kamu pulang, itu suami kamu?” Davina diam sejenak mendengar pertanyaan dari Biantara itu. Lalu, perlahan Davina menganggukkan kepala. “Iya, Pak. Benar. Dia suami saya.” Biantara menarik napas dalam sebelum akhirnya menatap Davina dengan ekspresi wajah serius. “Davina,” panggil Biantara memusatkan perhatian kepada Davina. “Sebelumnya saya ingin minta maaf jika saya terdengar seperti sedang ikut campur masalah pribadimu. Namun, saya merasa saya harus mengatakan hal ini ke kamu agar kamu tahu,” lanjutnya perlahan. Davina merasakan ketegangan karena ucapan Biantara yang terdengar serius itu. “Apa yang ingin Pak Bian katakan ke saya?” “Kemarin saya melihat suami kamu di salah satu restoran mewah bersama dengan salah satu karyawan perusahaan ini. Mereka tampak terlalu akrab untuk ukuran ‘teman’. Saya merasa mempunyai kewajiban untuk mengatakan hal ini ke kamu karena saya tidak ingin, entah bagaimana, nama perusahaan dikait-kaitkan dengan masalah ini.” “Pak Bian melihat suami saya bersama dengan siapa?” tanya Davina terdengar khawatir dan takut. “Kinena Kasih,” jawab Biantara. “Kasih?” Biantara menganggukkan kepala menjawab pertanyaan Davina itu. “Saya merasa, suami kamu sedang berselingkuh dengan Kinena Kasih.” “Tidak, Pak. Saya rasa Pak Bian salah paham. Kasih dan suami saya tidak sedang berselingkuh.” “Saya melihat dengan kedua mata kepala saya sendiri, Davina,” kata Biantara. “Semalam mereka berdua makan malam bersama. Kasih terlihat terlalu akrab dengan suami kamu. Saya sangat yakin jika mereka berdua sedang menjalin hubungan di belakang kamu.” Davina menggelengkan kepala. “Mereka tidak sedang berselingkuh, Pak,” ucapnya seraya mengelus perutnya yang tampak buncit. “Saya tahu, rasanya pasti sangat berat buat kamu percaya dengan ucapan saya. Tapi, saya bersumpah, saya tidak sedang membohongimu, Davina. Mereka memang sedang berselingkuh,” ucap Biantara. “Dan mengingat hubungan gelap mereka, saya bisa mempertimbangkan untuk memecat Kinena dari perusahaan ini. Saya tidak akan melindungi orang yang—" “Saya rasa Pak Bian sudah salah paham,” potong Davina cepat-cepat. Biantara menaikkan sebelah alisnya, menatap Davina dengan bingung. “Salah paham?” Davina menghela napas dalam. Ekspresi wajahnya terlihat seperti tengah berpikir keras. “Sebenarnya…,” kata Davina terdengar ragu-ragu. “Sebeneranya suami saya memang sedang berselingkuh di belakang saya, Pak,” lanjutnya dengan ekspresi terluka. Tangannya kembali mengelus perut buncit. “Dia selingkuh dengan Kinena?” Buru-buru Davina menggelengkan kepala. “Bukan, Pak. Kasih bukan selingkuhan suami saya,” jawabnya segera. “Justru Kasih sedang membantu saya.” “Membantu bagaimana?” tanya Biantara semakin bingung. “Dua hari lalu saya mendapati bahwa suami saya memiliki ponsel lain yang saya tidak ketahui sebelumnya. Lalu, tanpa sengaja saya melihat suami saya sering berkirim pesan dengan beberapa perempuan lain. Bahkan, suami saya pun sering main ke hotel dengan perempuan bayaran. Padahal saat ini saya sedang hamil anak dia,” jelas Davina tampak sedih dan terluka. “Awalnya saya hendak menceraikannya begitu saja. Namun, ketika saya cerita masalah ini kepada Kasih, dia bilang kalau menceraikannya saja tidak cukup untuk membalas perbuatan suami saya kepada saya. Jadi, Kasih memberi ide untuk memoroti uang suami saya terlebih dahulu. Membuatnya miskin. Bahkan mungkin mempermalukannya terlebih dahulu. Baru setelah dia hancur sehancur-hancurnya, saya tinggal memberi pukulan terakhir dengan meninggalkannya.” “Lalu, Kinena lah yang bertugas untuk memoroti uang suamimu?” tanya Biantara. “Iya, Pak. Kasih bersedia membantu saya untuk melakukan hal itu. Dia meminta saya untuk duduk manis tanpa perlu lagi membebani pikiran saya dengan kelakuan suami saya,” jawab Davina lirih. “Apa kamu yakin Kinena tidak akan memanfaatkan suamimu untuk dirinya sendiri?” tanya Biantara skeptis. Davina tersenyum tipis mendengar pertanyaan dari Biantara itu. “Kalau Kasih mau, dia bisa mendapatkan pria yang sangat jauh di atas suami saya untuk dia manfaatkan, Pak. Jadi, bagi Kasih, apa yang dia lakukan sekarang hanya sebatas untuk membantu saya. Saya yakin dia tidak punya niat lain. Lagian, Kasih bukan tipe orang yang akan menusuk temannya dari belakang. Itu terlalu rendah baginya,” katanya. Biantara menganggukkan kepala mengerti. “Berarti masalah Kasih dan suami kamu sudah tidak perlu dipermasalahkan lagi?” “Iya, Pak,” jawab Davina pelan. “Kamu bisa menjamin tidak akan terjadi apa-apa di antara kalian bertiga yang nantinya akan membuat citra perusahaan ternoda?” “Iya, Pak. Saya bisa menjaminnya.” “Oke, kalau kamu berkata seperti itu,” balas Biantara. “Saya mempercayainya. Baiklah kalau begitu kamu bisa kembali ke ruangan kamu.” “Terima kasih, Pak,” kata Davina seraya bangkit dari duduk. “Saya permisi.” Biantara menganggukkan kepala. Setelahnya Davina berjalan meninggalkan ruangan Biantara. Biantara menghela napas dalam seraya menyandarkan punggungnya ke sandaran sofa. Ia tidak menyangka jika Kasih sedermawan itu hingga rela membantu temannya dengan cara yang bagi Biantara sangat diluar logika. “Dasar perempuan yang sulit dimengerti,” gumam Biantara geleng-geleng kepala.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN