Pintu lift terbuka di lantai dua belas. Biantara mengangkat pandangan ke arah depan, menatap sosok Kasih yang kebetulan tengah berdiri di depan lift. Meskipun saat ini lift sedang kosong, hanya ada sosok Biantara di dalam lift, Kasih masih bergeming di tempat. Seolah Kasih memang tidak berniat untuk masuk ke dalam lift.
“Nggak masuk?” tanya Biantara dengan sebelah alis terangkat.
Kasih tampak mengehela napas dalam dengan ekspresi malas lalu berjalan memasuki lift. Perempuan itu tidak repot-repot menyapa Biantara yang kebetulan adalah bosnya. Bahkan, Kasih langsung berbalik untuk menatap pintu lift di depannya. Dia pun mengambil jarak terjauh dari Biantara yang berada di pojokan seolah Biantara adalah hama yang perlu dijauhi. Dan Biantara tahu betul kenapa Kasih bersikap menyebalkan seperti itu.
Biantara mengamati Kasih yang berdiri memunggunginya. Penampilan gadis itu tampak biasa saja. Rambut hitam panjangnya hanya dicepol dengan beberapa anak rambut yang keluar dari cepolan. Pakaian serta dandanannya pun tidak berlebihan seperti beberapa pegawai perempuan yang lain. Namun, tidak bisa Biantara pungkiri jika Kasih memiliki sesuatu yang membuatnya tampak menonjol di antara perempuan lainnya. Dia terlihat cantik bahkan dari belakang seperti ini.
“Kinena,” panggil Biantara.
“Ya?” balas Kasih dengan malas tanpa menoleh ke belakang.
Biantara mencoba menahan kekesalannya karena sikap cuek dan kurang ajar yang Kasih tunjukkan kepadanya. Ia berusaha sekuat tenaga untuk tidak memarahi Kasih karena sikapnya itu. Sebab, Biantara cukup sadar diri jika sikap yang Kasih tunjukkan itu adalah bentuk protes perempuan itu karena tuduhan Biantara kepadanya.
“Saya sudah bicara dengan Davina,” kata Biantara.
“Dan?” Kasih bertanya masih dengan tubuh membelakangi Biantara.
“Dan dia menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi.”
“Lalu?”
“Lalu?” balas Biantara dengan bingung.
Kasih menoleh ke arah Biantara. Menatap Biantara dengan sorot mata dalam tanpa ekspresi. “Bukankah Anda berhutang maaf kepada saya?” tanyanya dengan tenang.
Untuk sesaat Biantara seperti terjebak dalam tatapan Kasih yang entah bagaimana seperti menghipnotisnya. Buru-buru Biantara mengalihkan pandangan dari mata Kasih menuju bibir penuh perempuan itu yang berwarna merah alami.
“Saya tidak tahu kalau kebenarannya seperti itu. Karena apa yang saya lihat semalam terlalu mengejutkan untuk saya. Dan saya rasa—"
Ucapan Biantara terpotong oleh suara denting pada lift yang menandakan pintu hendak terbuka. Tanpa menunggu Biantara menyelesaikan kalimatnya, Kasih sudah terlebih dulu berjalan meninggalkan lift di mana Biantara masih berada. Kasih tampak tidak tertarik mendengar apa yang akan diucapkan oleh Biantara.
Biantara menatap tak percaya punggung Kasih yang mulai menjauh. Buru-buru Biantara keluar dari lift, berjalan mengikuti Kasih.
“Kinena,” panggil Biantara.
Kasih mengabaikan panggilan dari Biantara. Perempuan itu tampak seperti sedang terburu-buru.
“Kinena,” panggil Biantara lagi mendadak merasa kesal karena diabaikan oleh Kasih yang notabennya adalah bawahannya. Bisa-bisanya Biantara dibuat kalang kabut oleh perempuan itu.
Kasih kembali mengabaikan Biantara seolah perempuan itu tidak mendengar Biantara memanggilnya.
“Kinena,” ucap Biantara berjalan cepat menyusul Kasih yang sudah berjalan menuju luar gedung. “Kinena berheti. Saya sedang memanggil kamu.”
“Saya sedang buru-buru,” kata Kasih enteng. “Kalau ada perlu dengan saya, bisa panggil saya lagi besok, Pak.”
Apa Biantara tidak salah mendengar? Kasih baru saja menyuruh Biantara untuk memanggilnya lagi besok karena dia sedang buru-buru? Ini yang bosnya siapa, sih? Kenapa seperti terbalik begini?
Karena saking kagetnya mendengar ucapan Kasih, Biantara sampai kehilangan kata-kata.
Biantara berhenti melangkah. Ia mengamati Kasih yang tengah berjalan menuju trotoar. Tiba-tiba saja Biantara melihat tiga orang pria berpakaian rapi tengah mendekat ke arah Kasih, mengajak Kasih berbicara. Dari gesture tubuhnya, Kasih tampak seperti menghindar seolah dia malas untuk menanggapi beberapa pria itu. Melihat kejadian tersebut, tanpa sadar Biantara mulai melangkah mendekat ke arah Kasih.
“Kinena,” panggil Biantara yang saat ini sudah berada di belakang Kasih.
Kasih dan tiga orang pria yang berada di dekatnya sontak menoleh ke arah Biantara berada. Ketiga orang itu sontak menundukkan kepala singkat sebagai sapaan hormat. Melihat hal itu Biantara bisa menyimpulkan jika pria-pria itu adalah karwayan di perusahaannya.
“Ikut saya,” kata Biantara memasang ekspresi serius.
Kasih menatap Biantara dengan tatapan malas. Namun, dia tidak membantah. Bahkan, Kasih kini mulai berjalan mendekat ke arah Biantara. Melihat hal itu sontak saja Biantara berbalik untuk berjalan agak menjauh dari pria-pria yang tadi bersama dengan Kasih.
“Ada apa lagi, sih, Pak?” tanya Kasih terdengar jengkel.
“Saya baru saja menyelamatkanmu, Kasih,” kata Biantara seraya berbalik untuk menatap Kasih yang berdiri di belakangnya.
“Menyelamatkan saya?” tanya Kasih terdengar geli.
“Dari pria-pria itu,” ucap Biantara mengedikkan dagu ke arah pria-pria yang tadi mengerubungi Kasih.
“Apa saya terlihat seperti orang yang perlu diselamatkan?” tanya Kasih dengan angkuh.
“Kamu terlihat tidak nyaman.”
“Bukan itu pertanyaan saya.”
Biantara menghela napas dalam. “Kamu terlihat tidak nyaman. Maka dari itu saya menyelamatkanmu dari situasi tersebut.”
“Anda benar-benar bos yang sangat perhatian, Pak,” kata Kasih dengan lembut. Meskipun begitu, Biantara dapat menangkap sindiran dari ucapan Kasih itu.
Biantara menghela napas dalam. Ia mencoba mengabaikan sindiran Kasih itu.
“I’m sorry. Okay,” kata Biantara menatap lurus ke manik mata Kasih yang tampak cemerlang dan indah.
“Anda meminta maaf untuk kesalahan yang mana?” tanya Kasih enteng dengan tatapan menantang ke arah Biantara.
Pertanyaan Kasih itu membuat Biantara mengernyitkan dahi bingung. “Memangnya sebanyak apa kesalahan saya ke kamu?”
“Anda menuduh saya seenaknya. Mengatai saya dengan kata-kata tidak pantas. Mencampuri urusan pribadi saya di luar jam kantor. Menghakimi kehidupan saya. Pak Bian juga meng—”
“Saya minta maaf untuk semua itu,” potong Biantara mendadak merasa begitu jahat sudah menuduh Kasih dengan tuduhan yang begitu rendah. “Saya salah, Kinena. Saya minta maaf.”
Ucapan Biantara itu membuat Kasih menelengkan kepalanya. Senyum kecil terukir di bibir Kasih yang tampak penuh dan entah mengapa menggoda. “See,” ucapnya dengan lembut. “Sangat mudah kan, meminta maaf. Tidak susah sama sekali,” tambahnya seolah menyindir gengsi Biantara yang setinggi langit.
Biantara menghela napas dalam. Ia hanya mengangguk singkat sebagai balasan. Biantara merasa tidak ada gunanya membantah Kasih. Karena mau bagaimanapun juga, Biantara memang salah.
Kasih melirik jam di pergelangan tangannya. “Saya benar-benar harus pergi sekarang,” katanya kepada Biantara.
“Kamu mau pulang?”
Kasih menggelengkan kepala singkat. “Saya ada janji bertemu dengan suami orang,” jawabnya pelan seolah sedang kembali menyindir Biantara.
“Kamu mau bertemu dengan suami Davina lagi?”
“Iya.”
“Ayo saya antar,” kata Biantara santai.
“Apa?” balas Kasih. Kali ini perempuan itu lah yang terkejut mendengar ucapan Biantara.
“Saya antar,” kata Biantara mengulangi ucapannya. “Kamu tunggu di sini sebentar. Saya mau ambil mobil dulu. Jangan ke mana-mana.”
Dengan begitu Biantara berjalan meninggalkan Kasih untuk mengambil mobilnya yang berada di parkiran kantor. Kasih hanya bisa menatap kepergian Biantara dengan tatapan heran.