Di lantai tertinggi kantor Bima Cakra Group, ruang kerja Zayn terasa lebih hening dari biasanya. Rina berdiri di depan meja kerja Zayn, kedua tangannya terlipat di depan perut. Di wajahnya, ada senyum—tapi senyum itu lebih mirip perpisahan yang ditahan. “Jadi… ini hari terakhir kamu?” tanya Zayn pelan, suaranya nyaris tenggelam oleh dengungan AC. Rina mengangguk. “Iya, Pak. Saya akan ikut suami pindah ke luar negeri. Kami mau mulai hidup baru. Tenang. Damai.” Ia tertawa kecil, lalu menyeka sudut matanya. “Dan jauh dari deadline.” Zayn tersenyum. “Kamu akan dirindukan. Kamu tahu itu, kan?” “Begitu juga Bapak. Tapi saya sudah siapkan pengganti yang saya percaya. Namanya Anggit—dia sudah saya latih satu bulan terakhir. Cerdas, disiplin, dan… sedikit terlalu perhatian, mungkin.” Zayn men