Hari-hari berlalu cepat sejak Nadine kembali bekerja. Waktu seperti berlari, tapi hatinya seperti tertinggal jauh di belakang, tepat di sebelah ranjang kecil tempat Nayla tidur siang. Pagi itu, suara alarm tidak sempat membangunkannya. Justru suara Nayla yang merengek pelan dari box bayi di sisi tempat tidur membuat Nadine terjaga, dengan mata berat dan kepala yang seperti baru saja dilepas dari mimpi. Zayn sudah menggendong Nayla lebih dulu, mengayunkannya pelan sambil bersenandung kecil di dekat jendela. “Sayang, aku bisa…,” kata Nadine sambil bangkit, tapi Zayn menggeleng pelan. “Kamu tidur lagi aja, Sayang. Tadi malam kamu yang bangun dua kali.” Nadine mengangguk, tapi tak benar-benar kembali tidur. Matanya mengikuti gerak Zayn dan Nayla—dan di sanalah rasa itu datang. Lagi. Seper