Chapter 14: Cemburu yang Terlalu Nyata
Rumah Nadine – Sabtu Malam
Nadine berdiri di depan cermin, memeriksa pantulan dirinya untuk terakhir kalinya.
Gaun satin merah tua dengan potongan pas badan, belahan di paha kiri yang cukup tinggi, dan punggung terbuka memberi kesan elegan sekaligus menggoda. Rambutnya digelung rendah dengan beberapa helai menjuntai lembut di sisi wajah. Riasannya pun lebih bold dari biasanya, membuat kecantikannya semakin menonjol.
Nadine tampak sempurna.
Jika Zayn bisa membuatnya cemburu menggunakan Ariana, maka dia juga bisa melakukan hal yang sama dengan Leonard.
Bel rumah berbunyi membuat Nadine menoleh ke arah jendela.
Nadine menarik napas panjang, lalu turun ke lantai bawah.
Di ruang tamu, Leonard Wijaya sudah menunggunya dengan setelan jas hitam yang terlihat sempurna di tubuhnya. Pria itu tersenyum saat melihatnya.
“Kamu cantik sekali malam ini,” puji Leonard dengan nada tulus.
Nadine tersenyum kecil. “Terima kasih. Kamu juga terlihat luar biasa.”
Ayah dan Bunda Nadine ikut menemui Leonard, membuat suasana terasa canggung.
“Yah… Bun, kenalkan ini Leonard.” Nadine mengenalkan Leonard kepada ayah dan bunda sementara Leonard langsung mengulurkan tangan balas menyapa ayah dan bunda sambil menjabat tangan mereka. “Selamat malam Pak … Bu.”
Leonard tersenyum sopan dengan sorot mata tegas penuh wibawa. “Senang bertemu dengan Anda berdua.”
Bunda tersenyum penuh arti. “Kalian akan ke pesta Mr. Liam, kan?”
Leonard mengangguk. “Ya, ini acara besar. Saya dan Nadine kebetulan sama-sama diundang.”
Bunda memandang Nadine dengan tatapan menyelidik. “Hati-hati di jalan. Dan jangan pulang terlalu malam.”
Nadine mendengus pelan. “Bun, aku sudah dewasa.”
“Makanya, cepat menikah,” canda Bunda, membuat Nadine mendelik.
Leonard hanya terkekeh kecil sebelum menuntun Nadine keluar dengan meraih tangannya.
“Baiklah, Pak, Bu, saya akan menjaga Nadine,” kata Leonard saat mereka hendak masuk ke dalam mobil.
“Ya, tolong bawa anak saya sampai di rumah kembali dalam keadaan ‘utuh’ ya, Pak Leon.” Ayah berpesan syarat makna.
“Baik Pak.” Leonhard membuka pintu lalu menyimpan tangan di atas kepala Nadine untuk melindungi kepalanya dari benturan.
Setelah itu dia memutar setengah bagian mobil untuk sampai di pintu lain lalu duduk di samping Nadine.
***
Begitu memasuki ruangan, Nadine langsung bisa merasakan atmosfer yang penuh kemewahan.
Lampu kristal besar tergantung di tengah ballroom, sementara para tamu berdandan dengan busana terbaik mereka. Musik jazz lembut mengalun, dan suara gelas beradu sesekali terdengar di antara obrolan para pebisnis dan eksekutif.
Nadine menggandeng tangan Leonard, membiarkan pria itu membimbingnya melewati kerumunan tamu.
Namun, matanya menangkap sosok yang langsung membuat tubuhnya menegang.
Zayn.
Pria itu berdiri di sudut ruangan dengan setelan hitam sempurna, gelas whiskey di tangan, dan ekspresi tenang yang sangat khas.
Di sisinya, Ariana tampak memesona dalam gaun silver berkilau. Wanita itu menggandeng lengan Zayn dengan erat, seolah ingin menunjukkan bahwa pria itu miliknya.
Nadine mendengkus, dia sungguh tidak percaya dengan kalau mereka memang bersama.
Dia tahu watak Zayn, pria itu hanya menjadikan Ariana mainannya.
Mata Zayn langsung bertemu dengan Nadine.
Tatapan pria itu turun ke arah lengannya yang masih digandeng oleh Leonard, lalu kembali menatapnya dengan ekspresi yang sulit diartikan.
Dan saat itu juga, Nadine memutuskan sesuatu.
Jika dia ingin bermain, maka dia akan mendapatkan lawan yang seimbang.
Nadine menoleh ke Leonard, lalu tersenyum manis.
“Leonard,” katanya dengan nada menggoda. “Boleh ambilkan aku minuman?”
Leonard tersenyum. “Tentu. Tunggu di sini.”
Begitu pria itu beranjak, Nadine berbalik dan melangkah menuju Zayn.
Ariana melihatnya lebih dulu dan tersenyum sopan. “Kamu Nadine, kan? Senang bertemu denganmu di pesta ini.”
Nadine membalas dengan senyum yang tidak kalah ramah. “Betul, aku Nadine. Kamu tampak luar biasa malam ini.” Sengaja Nadine memberikan pujian agar terlihat kalau dia tidak terpengaruh dengan hubungan mereka.
Ariana tersenyum lebih lebar, lalu menoleh ke Zayn seolah ingin pamer.
“Zayn yang memilihkan gaunku,” katanya dengan nada manis.
Zayn tetap diam, hanya menatap Nadine tanpa berkedip.
“Ah, begitu,” Nadine berkata ringan, lalu menyandarkan satu tangan di pinggulnya, membiarkan belahan gaunnya terlihat lebih jelas. “Kamu memang selalu murah hati dalam memberikan hadiah, Zayn. Begitu juga kepada wanita lainnya.” Nadine bersarkasme membuat Ariana yang terpekur mencerna ucapannya.
Sedangkan Zayn sendiri tidak bereaksi.
Tapi Nadine melihat rahangnya mengeras sedikit.
Bagus.
Leonard kembali dengan segelas sampanye. “Ini minumanmu, Nadine.”
Nadine tersenyum dan mengambilnya, lalu—dengan sangat sengaja—mengalungkan tangannya di lengan Leonard dan menyandarkan tubuhnya sedikit lebih dekat ke pria itu.
“Kamu sangat perhatian, Leo,” katanya dengan nada lembut.
Dan itu adalah pukulan terakhir bagi Zayn.
“Selamat malam Pak Zayn.” Leonard menyapa tapi belum sempat mengulurkan tangan untuk bersalaman, Zayn tiba-tiba menghabiskan whiskey-nya dengan sekali tegukan, lalu meletakkan gelasnya di meja terdekat dengan sedikit kasar hingga terdengar nyaring suara benturannya.
“Tunggu di sini,” katanya singkat pada Ariana sebelum berbalik dan pergi begitu saja.
Ariana tampak terkejut. “Zayn?”
Tapi pria itu sudah menghilang di antara kerumunan.
Nadine menyembunyikan senyum kemenangannya saat menyesap sampanye.
Ya, kamu bukan satu-satunya yang bisa bermain, Zayn.
“Ariana … kenalkan ini Leonard Wijaya.” Nadine mengalihkan suasana tidak menyenangkan itu dengan mengenalkan Leonard kepada Ariana.
“Ha … Hallo.” Ariana terbata masih bingung dengan sikap Zayn yang tiba-tiba pergi meninggalkannya.
Zayn hanya tersenyum sebagai respon.
“Ariana … aku dan Leon akan menyapa Mr. Liam dulu … kami permisi.” Nadine membawa Leonard meninggalkan Ariana yang melongo bingung.
“Apa Pak Zayn selalu enggak jelas seperti itu?” Leonard yang masih belum terima dengan sikap tidak sopan Zayn yang tidak membalas tegurannya lantas bertanya.
“Aku atas nama pak Zayn meminta maaf, sedang ada kendala dengan perjanjian bisnis dengan salah satu klien dan itu mungkin mempengaruhi mood pak Zayn.” Sebagai CMO, tentu Nadine harus menjaga citra dan nama baik Zayn.
“Oh ….” Leonard berusaha maklum, dengan cepat bisa melupakan kekesalannya kepada Leonard karena malam ini Nadine menempel terus seolah mereka adalah sepasang kekasih.
***
Nadine baru saja turun dari mobil Leonard ketika ponselnya bergetar.
Nama Zayn Rayden Natamanggala tertera di layar ponselnya.
Mata Nadine menyipit curiga, pria itu pasti akan cari masalah dengannya,
“Ada apa?” tanya Nadine saat menjawab panggilan itu.
“Dengar baik-baik,” suara Zayn terdengar rendah dan dalam. “Aku ada di depan rumahmu.”
Nadine membeku di teras rumah.
“Apa?”
“Temui aku sekarang.” Suara berat Zayn memerintah.
Sebelum Nadine sempat membalas, panggilan terputus.
Hatinya berdebar kencang.
“Kenapa?” tanya Leonard, melihat ekspresi Nadine yang tiba-tiba berubah.
Nadine tersenyum kecil, mencoba mengabaikan kegugupannya. “Enggak apa-apa. Aku masuk dulu, ya. Terima kasih untuk malam ini.”
Leonard mengangguk. “Selamat malam Nadine, selamat istirahat.” Lalu Leonard masuk ke dalam mobil.
Begitu mobil Leonard menghilang di tikungan, Nadine berjalan ke pagar dan menemukan Zayn berdiri di sana.
Pria itu masih mengenakan setelan dari pesta, tetapi dasinya sudah dilepas, dan ekspresinya….
Gelap.
Bersandar setengah bagian tubuhnya pada pintu mobil. Nadine melirikan mata ke kursi kemudian namun kosong. Sepertinya Zayn mengemudikan mobilnya sendiri.
Sebelum Nadine sempat berkata apa-apa, Zayn menarik tangannya dengan cepat melingkari pinggang Nadine membawa d**a mereka. Merapat.
Dan detik berikutnya, bibir Zayn sudah menempel di bibir Nadine.
Nadine membulatkan mata, terkejut dengan serangan tiba-tiba itu.
Ciuman Zayn begitu dalam, menyecap begitu keras, panas, dan penuh kuasa.
Perlahan tangan Zayn pindah ke belakang kepala Nadine, menggenggam tengkuknya, menariknya lebih dekat, seolah ingin memastikan bahwa Nadine tidak bisa pergi ke mana pun.
Nadine seharusnya mendorong d**a Zayn bahkan semestinya menampar pria itu.
Tapi tubuhnya tidak bekerja sama malam menikmati ciuman Zayn dan seperti tempo hari, membalas pagutan Zayn dengan mengulum bibir bawahnya saat pria itu mengulum bibir atasnya.
Hingga akhirnya, Zayn mengendurkan ciumannya, menatapnya dengan mata membara.
“Apa yang kamu lakukan?” desis Nadine, napasnya masih tersengal.
Zayn menatapnya dalam-dalam. “Kamu pikir kamu bisa membuatku cemburu, Nadine?”
Nadine menelan ludah.
“Aku bisa memainkan permainan ini lebih baik darimu,” lanjutnya dengan nada rendah yang berbahaya sembari menangkup sisi wajah Nadine.
“Jangan membuatku murka, Nadine!” Ibu jari Zayn mengusap bibir Nadine yang bengkak karena ulahnya.
“ Nanti kamu akan menyesal,” sambungnya lagi dengan nada dan tatapan mengancam.
Lalu, tanpa mengatakan apa-apa lagi, Zayn berbalik dan berjalan pergi, meninggalkan Nadine yang masih terjebak dalam kebingungan dan emosi yang berantakan.
Astaga.
Dia benar-benar dalam masalah sekarang.