Kedua tangan wanita itu saling mengepal di atas pangkuan, beberapa kali dia menarik napasnya panjang untuk meredam tangis yang sebentar lagi keluar namun tetap berusaha dia tahan. Ini bukan waktunya untuk menangis, namun Rayya harus menghadapinya dan mencoba sekali lagi sampai batas terakhir. Rayya mengembuskan napasnya panjang sebelum akhirnya beranjak untuk kembali menghampiri Rayyan yang kini sudah masuk ke kamarnya. “Abang …” Rayya mencoba mengetuk pintu itu dengan nada yang nanar. Ketukkannya juga terdengar pelan dan hati-hati. “Abang, Rayya ngga usah ambil libur Rayya seminggu itu, ya? Rayya selesein kerjaan Rayya seminggu lagi, Rayya temenin Abang sampe selese di Surabaya? Boleh, ya, Abang?” Rayya menggigit bibirnya setelah mengatakan itu, tangannya terangkat dan menggeng