“Con” Panggil Macy begitu membuka pintu kamar Conradinez. “Con” Panggilnya lagi kemudian masuk dan menghampiri sang putra yang masih berada di atas tempat tidur dengan selimut yang menyelimuti seluruh tubuhnya.
Setelah sampai di samping tempat tidur Conradinez, Macy menatap bingung putranya itu yang baru kali ini belum bangun dan bersiap-siap ke kantor. Padahal ini sudah lewat jam delapan pagi.
“Con, kamu tidak pergi bekerja?” Tanya Macy. Namun tak mendapat respon apapun dari pria itu. Merasa ada yang aneh, ia pun menyingkap selimut Conradinez dan menemukan pria itu masih tertidur seraya meringkuk di tempatnya memunggungi Macy.
“Sayang” Panggil Macy seraya duduk di samping Conradinez dan memegang pundaknya. “Ada apa? Kamu ada masalah?” Tanyanya lembut.
“Kamu boleh cerita sama Mommy kalau memang ada masalah. Jangan diam seperti ini, hm?” Ucap Macy. “Con?” Panggilnya lagi saat Conradinez belum memberinya respon.
Namun tak lama kemudian, Conradinez berbalik dan langsung memeluk perut sang Ibu membuat wanita paruh baya itu bingung dengan tingkah putranya pagi ini. Meski begitu, ia tetap mengusap lembut rambut Conradinez, berusaha untuk tidak bertanya lagi dan menunggu pria itu untuk mengatakannya sendiri.
Akan tetapi, hingga sepuluh menit kemudian, Conradinez masih tak mengatakan apapun dan membuat Macy semakin bingung. Tak biasanya Conradinez menggunakan waktu selama ini untuk mengatakan sesuatu.
Ia lantas memundurkan punggungnya sedikit untuk bisa melihat wajah Conradinez. Dan yang ia dapatkan sungguh membuatnya ingin berkata kasar saat itu juga. Bagaimana tidak? Di saat Macy menunggu Conradinez untuk berbicara, putranya itu malah kembali tertidur. Layaknya orang yang memberikan harapan palsu. Ia benar-benar tak habis pikir dengan kelakuan Conradinez pagi ini.
Meski begitu, Macy tetap bersabar dan mencoba untuk memaklumi Conradinez. Mungkin saja pria itu sedang memiliki masalah lain atau kelelahan karena bekerja. Ia pun melepas pelukan Conradinez dari perutnya lalu memperbaiki posisi tidur pria itu dengan perlahan dan menyelimutinya.
Setelahnya, Macy berdiri dari duduknya. Ia menatap wajah Conradinez yang sepertinya semakin tirus dari sebelumnya. Wajahnya pun terlihat sangat kelelahan dan sedikit pucat, mata dan hidungnya juga agak kemerahan.
Apa saat ini pekerjaan Conradinez memang sangat banyak sampai pria itu masih tertidur di jam seperti ini? Atau ini tentang masalahnya dengan Mikaila? Entahlah.
Macy pun menghela nafas kemudian keluar dari kamar Conradinez. Ia memutuskan untuk berbicara dengan pria itu setelah sang putra terbangun dari tidur panjanganya.
-------
Pukul 7.20, Mikaila telah melangkahkan kakinya memasuki gedung setinggi dua puluh lima lantai tersebut dengan langkah pelan. Meski pagi ini ia tak perlu lagi datang cepat seperti yang ia lakukan selama beberapa hari belakangan, tapi khusus hari ini ia datang cepat karena agendanya bersama Alvis.
Mikaila menghela nafas begitu sampai di mejanya. Meletakkan tas di atas meja dan mulai mempersiapkan berkas-berkas yang harus ia bawa hari ini ke Bandung.
Walau ia sedang memiliki masalah pribadi dan kondisinya tidak memungkinkan untuk pergi ke Bandung nanti, tapi sebisa mungkin ia tetap harus bersikap profesional dan bersikap seperti biasa saat berada di kantor.
Perasaan pribadi hanya boleh dirasakan saat ia berada di luar area kantor. Sementara di kantor, ia hanya harus memikirkan pekerjaan, pekerjaan, dan pekerjaan. Itulah yang dinamakan dengan profesional.
Mampu memisahkan urusan pribadi dan urusan pekerjaan. Dan karena itulah, Mikaila mampu bertahan bekerja di sana selama lima tahun sejak ia magang di satu tahun pertama ketika ia masih kuliah dulu.
Buk!
Suara tersebut mengalihkan perhatian Mikaila dari layar komputer di hadapannya. Ia lantas berdiri dan berjalan ke depan mejanya untuk melihat apa yang terjadi di sana. Dan apa yang ia lihat saat ini langsung membuatnya berkacak pinggang seraya menatap garang pada pria yang sedang tengkurap di lantai tersebut dengan sebuah map di tangannya.
“Berdiri” Pintah Mikaila. Namun hingga beberapa saat kemudian, Pria itu tak kunjung bangun dari posisinya. “Kubilang berdiri” Pintahnya lagi, kali ini sedikit lebih dingin dari yang tadi hingga membuat pria itu segera berdiri tegap di hadapan Mikaila dengan pandangan menghadap ke lantai.
“Sudah yang ke berapa kali ini?” Tanya Mikaila yang kini tengah bersedekap.
“Lapor, saya kurang tahu, Bu” Jawab pria tersebut dengan nada tegasnya.
“Tentu saja tidak tahu. Aku sendiri bahkan tidak bisa menghitung berapa kali kau menyerahkan laporan diam-diam begini, s**u Dancow” Ucap Mikaila. Dan ya, pria itu adalah Dani.
Satu lagi, jika selama ini Mikaila selalu bersikap sopan pada semua karyawan yang ia temui, maka pengecualian untuk Dani. Karena sampai kapan pun, pria itu tidak akan mampu membuatnya bersikap sopan layaknya ia pada karyawan lain. Sebab pria itu yang selalu membuatnya kesabarannya habis.
Dan bukan hanya sekali atau dua kali Doni selalu terlambat memasukkan laporan. Tapi pria itu telah melakukannya selama tiga tahun terakhir. Maka dari itu, ia memberikan pengecualian pada Doni.
“Maafkan saya, Bu” Ujar Dani.
“Kalau kau terus seperti ini, kenapa tidak kau saja jadi sekretaris menggantikanku?” Kesal Mikaila.
“Justru karena aku terus seperti ini, makanya kau yang harus jadi sekretaris” Ucap Dani kemudian terkekeh.
“Kau masih berani tertawa?” Tanya Mikaila.
“Jangan terlalu serius, tekananmu bisa naik. Nanti kau terkena stroke” Ucap Dani.
“Memangnya kau pikir gara-gara siapa kalau aku terkena stroke?” Tanya Mikaila.
“Salahku” Jawab Dani dengan suara pelan. “Tapi ini juga gara-gara kau yang terus datang pagi belakangan ini. Coba kau datang tepat pukul delapan, kau tidak akan marah-marah seperti ini” Lanjutnya.
“Jadi ini salahku?” Tanya Mikaila seraya menatap tajam pada Dani.
“Bukan, Bu” Jawab Dani yang kini kembali bersikap tegas.
Tanpa mengatakan apapun lagi, Mikaila segera menyodorkan tangan kanannya pada Doni. Melihat itu, Doni pun segera tersenyum lebar dan langsung menyerahkan laporan yang sejak tadi ia pegang pada Mikaila.
“Kau tahu bukan itu yang aku maksud” Ucap Mikaila membuat Doni memaki wanita itu dengan hanya menggerakkan bibirnya.
“Kali ini warna apa?” Tanya Doni.
“Kau tahu jawabannya” Ucap Mikaila. “Cepat, tanganku mulai pegal” Pintahnya karena Doni yang bergerak terlalu lama.
“Iya-iya” Ujar Doni kemudian meletakkan selembar uang seratus ribu di tangan Mikaila dengan sangat tidak ikhlas. Berbeda dengan Mikaila yang menerimanya dengan senyuman yang sangat lebar.
“Tapi bukankah ini tidak adil?” Tanyanya.
“Kesepakatan tetaplah kesepakatan. Lagi pula ini salah satu cara yang bisa kugunakan agar kau lebih disiplin lagi. Dan sampai hari ini, kau masih tidak memiliki perubahan apapun” Ucap Mikaila. “Memangnya apa yang kau lakukan seharian di meja kerjamu sampai selalu menyusahkanku dengan menyerahkan laporan setiap pagi seperti ini?” Tanyanya.
“Rahasia, kau tidak perlu tahu. Yang pasti, semua yang kulakukan seharian adalah sesuatu yang sangat penting” Jawab Doni.
“Baiklah kalau tidak mau beritahu” Ucap Mikaila. “Dan untuk selanjutnya, aku naikkan dua kali lipat” Lanjutnya seraya kembali ke tempat duduknya.
“Apa?” Tanya Doni yang sangat terkejut dengan keputusan Mikaila. “Tidak. Aku tidak mau” Ucapnya.
“Kalau begitu jangan menyerahkan laporan terlambat seperti ini lagi. Mengerti?” Ujar Mikaila membuat Doni menatap kesal padanya. “Sekarang kembalilah ke tempat Anda, Pak Dancow” Pintahnya.
“Dasar tidak adil” Kesal Doni kemudian pergi dari sana dengan menghentak-hentakkan kakinya membuat Mikaila terkekeh pelan. Setidaknya pria itu telah menghiburnya di saat perasaannya sedang sedih seperti ini.
-------
“Mommy bilang kamu tidak pergi kerja hari ini?” Tanya Will yang baru saja masuk ke dapur untuk mengambil camilan atas perintah sang istri dan dengan kebetulan mendapati putranya itu juga tengah minum di depan kulkas.
“Iya, Dad” Jawab Conradinez setelah selesai meminum minumnya dan meletakkan kembali gelas yang gunakan ke tempat cuci piring.
“Kenapa? Apa kamu sakit?” Tanya Will seraya membuka lemari khusus camilan dan mengambil beberapa camilan dari sana.
“Tidak, Dad” Jawab Conradinez.
“Lalu?” Tanya Will yang sedang memilih beberapa camilan.
“Tidak ada apa-apa” Jawab Conradinez.
“Sampai kapan pun, kamu tidak akan pernah bisa berbohong pada orang tua, Boy. Naluri kami terlalu kuat untuk itu” Ucap Will seraya menatap Conradinez setelah mengambil camilan di lemari.
“Itu untuk Mommy?” Tanya Conradinez seraya menunjuk beberapa camilan yang dipegang oleh snag Ayah.
“Jangan mengalihkan pembicaraan” Ucap Will. “Dengar, tidak semua masalah harus kamu pendam sendiri untuk terlihat lebih dewasa di depan orang lain. Karena sampai kapan pun, bagi Daddy dan Mommy, kamu tetaplah bayi kecil yang kami besarkan dengan sepenuh hati” Lanjutnya membuat Conradinez menghela nafas.
“Aku bukan Malika, Dad’ Ujar Conradinez membuat Will terkekeh.
“Baiklah. Jika kamu tidak mau jujur pada Daddy. Kalau begitu silakan temui Mommy dan katakan semua padanya. Mommy sudah menunggumu di ruang santai sejak tadi” Ucap Will kemudian bersiap-siap pergi dari sana.
“Dad” Panggil Conradinez saat Will benar-benar hendak meninggalkan dapur membuat pria paruh baya itu berhenti seraya tersenyum sesaat kemudian berbalik pada sang putra.
-------
Love you guys~