Keadaan kantor hari ini kacau balau, deadline dipajukan seenak jidat oleh si bos besar. Alhasil semua karyawan kalang kabut, sudah dua hari tidur Tif tidak teratur. Jangankan teratur, bisa tidur dari lebih 4 jam saja sudah untung.
Ia bahkan sudah tidak peduli pada penampilan wajahnya saat akan berangkat ke kantor. Hanya sunblock yang ia pakai saking terburu-burunya karena selalu bangun pada detik-detik terakhir. Hari ini batas terakhir semua anggota divisinya mengumpulkan tugas yang harus dibuat dalam waktu singkat. Entah apa jadinya isi dari kerjaan yang ia buat itu, yang penting ia kumpulkan dulu. Masalah revisi belakangan.
Setelah semua kerjaannya ia kirim melalui email pada Regan, mereka semua pun dapat menghela napas lega. Beberapa dari bawahannya bahkan ada yang langsung menelungkupkan kepalanya diatas meja saking lelahnya. Ia memaklumi itu karena ia sendiripun kewalahan dan ingin memejamkan matanya walaupun untuk sekejap. Ia melipat tangannya diatas meja untuk alas ia menyandarkan kepala. Baru beberapa detik ia memejamkan mata, seseorang menaruh secangkir kopi di atas mejanya.
Refleks, ia menegakkan badannya kembali. Gilang tersenyum padanya sambil mendorong kopi itu ke hadapan Tif.
“Biar mengurangi stress.” Katanya.
Dasar buaya. Ada saja momen yang bisa ia gunakan untuk merayu wanita, batin Tif.
Tif tersenyum dan mengambil kopi itu. “Wah, thank you, pak.” Ia menghidu wangi kopi itu sebelum meminumnya.
“Aku ga tahu kesukaan kamu apa, jadi aku beli yang sekiranya kamu akan suka.” Ucapnya sambil menarik kursi ke depan meja Tif. Ia lalu duduk dengan menyilangkan kakinya dengan santai.
Tif menyadari, tatapan semua karyawan di sekelilingnya memandang tepat pada mereka berdua.
“latte’s not bad.” Jawab tif.
“Not your favourite, then?”
Tif menggeleng sebelum menjawab. “I prefer dolce untuk ngurangin stress.”
“Well, noted. Kapan-kapan kalo gitu?” Tanyanya.
Alis Tif mengangkat tanpa sadar. Pria ini baru saja mengajaknya minum kopi, ya? “Hm, oke.”
Gilang mulai beranjak dari kursi itu setelah mengangguk padanya. “I’ll call you, later.” Katanya sambil berbalik menuju ruangannya bahkan sebelum Tif memberikan respon.
“Hebat ya iyey. Belum sebulan udah main genit-genitan sama vice GM kita.” Celetuk Anton di belakang Tif. Ia menatap penuh selidik. “Atau kalian udah main jauh tanpa sepengetahuan gue?”
“Gila kali lo!” Kilahnya pada Anton.
“Tapi gak apa sih sis, pacarin aja. Lumayan.”
“Berisik ah, jangan ganggu gue. Gue butuh istirahat sedetik.” Kata Tif sambil mengibasakan tangan mengusri Anton agar menjauh dari mejanya.
=
Hujan deras mengguyur ibukota malam ini, Tif menyesal tidak membawa kendaraannya tadi pagi. Karena ia kelelahan dan kurang tidur sudah beberapa hari belakangan ini ia selalu naik taksi agar bisa memejamkan mata barang sebentar di dalam perjalanan menuju atau dari kantor. Namun hari ini sepertinya dewi fortuna sedang tidak berbaik hati padanya. Tidak ada taksi kosong yang lewat di depan kantornya. Begitu pula taksi online, tidak ada yang mau menjemputnya karena kondisi hujan deras dan macet di sekitaran kantornya.
Ia sudah nekad menerobos hujan hingga ke halte busway pinggir jalan, nebeng payung Jihan, teman sekantornya.
Tif menghela napas kesal karena menunda pulang untuk menyelesaikan pekerjaanya sehingga tidak ada anak buahnya yang bisa ia tumpangi. Terpaksa, ia harus minta Em untuk menjemputnya. Walaupun ia tahu, Em pasti akan bertanya-tanya apa yang ia lakukan di gedung kantor itu. Tapi, biarlah itu jadi urusan belakangan. Yang penting ia sampai rumah lebih dulu.
Ia baru akan mengeluarkan ponselnya untuk menghubungi Em bertepatan dengan suara klakson yang berbunyi nyaring. Sebuah mobil menepi di depan halte. Jendelanya di turunkan, dengan sedikit menajamkan penglihatan karena hujan deras membuat ia sulit melihat dengan jelas, akhirnya ia tahu siapa yang ada di balik kemudi.
Regan memberinya kode untuk segera masuk ke dalam mobilnya.
Tif sempat ragu, namun ia juga membutuhkan tumpangan itu. Badannya sudah mulai kedinginan karena bajunya sudah agak basah. Ia langsung berlari menuju mobil Regan.
Fiuh, Tif menghela napas lega. Bajunya bertambah basah dan AC di dalam mobil membuat badannya semakin kedinginan. Disampingnya, Regan menyodorkan bungkusan tisu untuk mengelap bajunya. Walaupun itu tidak dapat diselamatkan, setidaknya Tif berusaha.
Regan mengambil sesuatu dari jok belakang dan melemparkannya pada Tif. Ternyata jas milik Regan yang tadi pagi ia kenakan.
“Makasih, pak.” Ucapnya dengan tulus.
Regan hanya menggumam, ia lalu mematikan AC karena sadar itu akan membuat Tif semakin kedinginan.
“Ga bawa mobil?” akhirnya Regan bersuara.
Tif menggeleng. “Sengaja, niatnya biar bisa tidur di perjalanan.”
Hening lagi.
Tif kira Regan tidak akan meresponnya, “Sorry, the deadline ruined your sleep, ya?”
Dibalas dengan sedikit anggukan oleh Tif dengan wajah yang langsung berubah masam.
Tarikan bibir Regan saat melihat respon Tif terlewatkan olehnya.
“Kamu boleh istirahat kalo gitu, perjalanan akan butuh waktu lama.” Ucapnya sambil menunjuk pada kemacetan yang mengular di depannya.
Tif ragu karena ia takut pria itu tidak tahu arah menuju apartemennya. “Ga apa-apa, pak.”
“Ga usah khawatir, Emerald Residence, kan?”
Tif menoleh pada Regan keheranan, mengapa pria ini bisa tahu alamat apartemennya?
Namun ia memutuskan untuk tidak bertanya, toh pria itu pasti memiliki salinan data pribadinya kan di kantor.
Kemacetan Jakarta lebih panjang dari yang Tif duga hingga akhirnya ia menyerah. Rasa kantuknya menang dan membuat Tif tertidur.