Bab 20. Tidur Di pelukannya

1809 Kata
Happy Reading "Sonya....!" “Sudah cukup, Roni! Aku tidak mau mempermalukan diriku lebih jauh di depan orang-orang!” ujar Sonya berbisik tajam. Wajahnya memerah bukan hanya karena marah, tapi juga karena malu — kerumunan wajah di siang hari kini menoleh, pemandangan itu menambah pedih hatinya. “Sonya, tolong dengar aku dulu—” Roni meraih, suaranya tercekat. “Diam!” Sonya memotong, lalu mencengkeram lengan Roni. Ia menariknya keras hingga kursi bergeser. Langkahnya cepat, berisik di lantai keramik; beberapa pelayan yang hendak mendekat mundur karena takut turut terseret dalam konflik. Levina duduk tenang, menatap mereka pergi sambil menutup napas dengan senyum tipis — permainan sudah sesuai rencananya. Begitu keluar, udara siang menyambut mereka, panas yang bukan hanya soal suhu, tapi hati Sonya yang dilancarkan cemburu. Sonya menolak membiarkan keributan berlanjut di depan meja-meja, sehingga ia menyeret Roni ke trotoar. Di luar, kafe dan toko di sepanjang jalan masih ramai — motor melintas, ojek online berhenti, dan beberapa orang menoleh penasaran. Sonya membuka pintu mobil dengan kasar, mendorong Roni masuk tanpa banyak basa-basi. “Masuk, sekarang!” ujarnya dingin. Roni menurut, langkahnya kaku. Pintu tertutup, dan tiba-tiba ruang sempit mobil mewah itu terasa penuh ketegangan. Di dalam mobil, hening yang tegang meluas. Sonya mengunci pintu, kedua tangannya masih gemetar. “Jelaskan,” katanya pendek, menatap lurus ke depan seolah mencari petunjuk dari kendaraan yang lalu-lalang. Matahari menyorot sisi wajahnya, mempertegas garis-garis lelah yang baru saja muncul. Roni menarik napas panjang, mencoba merangkai kata. “Sonya, aku... aku terbawa rasa bersalah. Aku ingin menebus semua yang pernah terjadi dengan Levina, itu saja. Bukan... bukan berarti aku ingin kembali padanya.” Suaranya serak, namun ia berusaha terlihat tenang. “Terbawa rasa bersalah?” Sonya menoleh, nada suaranya berubah menjadi getir. “Mendengarmu mengaku di depan umum—mencium tangan dia—itu bukan ‘terbawa’ lagi, Roni. Itu penghinaan bagi aku. Kamu tahu bagaimana rasanya berdiri di sana, mendengar kata-kata itu? Di siang bolong, di depan orang banyak?” Matanya mengilap karena marah dan malu yang bercampur. Roni tak mampu membalas. Ia menunduk, bibirnya bergetar, tak sanggup menatap Sonya. Sementara itu Sonya menahan tangis yang ingin tumpah. “Keluar.” Suaranya padam namun tegas. Roni terkejut namun menurut. Ia membuka pintu dan berdiri di trotoar, diterpa terik matahari dan riuh kendaraan siang. Sonya menatapnya sejenak dari balik kaca, matanya menyimpan segala penolakan dan luka. “Kamu sudah membuat pilihanmu, Roni. Aku tak mau jadi bahan olok-olok atau pilihan kedua,” bisiknya sebelum pintu mobil ditutup keras. Mobil itu melaju, meninggalkan Roni sendirian di bawah cahaya siang, di antara orang-orang yang kembali menyesuaikan ritme mereka — beberapa berbisik, beberapa mengangkat ponsel untuk merekam potongan drama tadi. Roni hanya terpaku, melihat mobil itu mengecil di kejauhan, d**a sesak, kata-kata tercekat di tenggorokannya. *** Mobil melaju cepat di bawah terik matahari siang. Jalanan kota yang ramai seolah tak berarti apa-apa bagi Sonya. Matanya menatap kosong ke depan, tapi napasnya memburu, tersengal karena marah dan sakit hati yang bersatu di dadanya. Tangannya mencengkeram kemudi begitu kuat, buku jarinya memutih. “Dasar b******k…” desisnya di antara giginya yang terkatup rapat. Suara AC mobil berdengung lembut, tapi tak cukup menenangkan bara di dalam dirinya. Bayangan wajah Roni barusan terus berputar di kepalanya — wajah menyesal, suara lembut itu, genggaman tangan di tangan Levina. Dan ciuman itu… di depan orang banyak, di siang bolong, tanpa sedikit pun rasa bersalah. Hatiku remuk, pikir Sonya. Tapi dia tidak akan menangis. Tidak di tempat umum, tidak di hadapan siapa pun. Sonya menginjak pedal gas lebih dalam, melampiaskan amarahnya pada aspal yang membara di luar sana. Ia berhenti di pinggir jalan tak jauh dari taman kota. Suara burung dan anak-anak bermain terdengar samar dari balik kaca mobil, kontras dengan gejolak yang berputar di dadanya. “Bodoh, Sonya…” gumamnya, menunduk. “Kau yang memintanya meninggalkan Levina. Kau yang menjanjikan semuanya akan baik-baik saja setelah dia bersamamu. Dan sekarang—” Ia menahan napas yang hampir pecah. “Dia malah menatap Levina seolah... seolah masih mencintainya.” Air mata akhirnya jatuh juga, membasahi pipinya. Tapi hanya sebentar. Ia buru-buru menyekanya, menatap bayangan dirinya di kaca spion. Wajah itu tetap cantik — rambut cokelat tergerai rapi, bibir merah yang masih sempurna. Tidak boleh hancur, pikirnya. Tidak boleh terlihat lemah. Karena di balik semua ini, ada yang lebih besar dari sekadar cinta. Ethan. Tuan muda keluarga Savanier. Pewaris kekayaan yang bisa menjamin seluruh hidupnya. Sonya bersandar di kursi, memejamkan mata. Ia ingat hari pertama bertemu Ethan — pria dingin dengan sorot mata tajam, elegan dengan setelan abu-abu, dan tatapan yang mampu membuat siapa pun tunduk. Dia bukan cinta. Tapi dia kuasa. Dan bagi Sonya, kuasa sama pentingnya dengan cinta. “Aku tidak bisa kehilangan keduanya…” ucapnya lirih, suaranya bergetar. “Roni… dan Ethan. Aku hanya butuh sedikit waktu lagi agar semuanya berjalan sesuai keinginanku.” Ia mengambil ponsel dari tasnya, membuka pesan terakhir dari Roni. “Aku akan selalu memilih kamu, Sonya.” Pesan lama, tapi Sonya membacanya ulang seperti mantra. Tangannya bergetar saat mengetik balasan baru. “Kita perlu bicara. Malam ini. Di tempat biasa.” Ia tahu Roni akan datang. Pria itu terlalu mudah dibaca, terlalu lemah saat dihadapkan pada Sonya. Dan kali ini, ia akan memastikan Roni tidak akan berpaling lagi — tidak kepada Levina, tidak kepada siapa pun. Sambil menatap layar ponsel yang masih menyala, Sonya tersenyum tipis. Tapi di balik senyum itu, ada sesuatu yang lain — rasa takut yang ia sembunyikan rapat. Karena jika Ethan tahu tentang Roni... jika keluarga Savanier tahu bahwa tunangan mereka diam-diam masih berhubungan dengan pria biasa sepertinya, maka segalanya bisa berakhir. Dan Sonya tidak akan membiarkan itu terjadi. Tidak sekarang. Tidak ketika ia sudah hampir sampai di puncak. Ia menyalakan mobil lagi, menatap cermin sekali lagi — memastikan wajahnya sudah tak memperlihatkan sisa amarah atau air mata. “Tenang, Sonya. Kamu akan dapatkan semuanya,” bisiknya pada diri sendiri. “Cinta… dan kekuasaan.” Mobil itu kembali melaju di bawah sinar siang yang menyilaukan. Wajah cantik itu kini dingin, penuh perhitungan, seolah tak pernah ada air mata yang menodainya. Di sisi lain kota, Levina mungkin sedang tersenyum puas dengan rencananya. Tapi Sonya bukan perempuan yang mudah jatuh. Ia akan melawan. Dengan caranya sendiri. *** Levina pulang karena merasa tidak nyaman dengan situasi yang ada setelah dua orang pergi. Sementara itu, Sonya menarik Roni keluar dari restoran karena tidak ingin banyak orang menyaksikan keributan mereka. Wanita itu benar-benar tidak terima dengan apa yang baru saja ia dengar dari mulut Roni. Padahal selama ini Sonya menganggap hubungannya dengan Roni sangat serius. Namun ternyata, pria itu justru mempermainkannya seperti tidak berarti apa-apa. Levina memang menghubungi Sonya setelah semalam diam-diam mendapatkan nomor wanita itu dari Ethan. Semua pertemuan di restoran—baik dengan Roni maupun dengan kedatangan Sonya—adalah bagian dari siasat yang telah Levina susun dengan hati-hati. Ya, rencana itu menjadi langkah awal dari semua usahanya untuk mendapatkan kembali apa yang menjadi haknya. Sesampainya di kediaman keluarga Savanier, Levina segera membayar taksi dan turun dengan cepat. Ia berlari kecil menuju gerbang depan sambil menyapa dua penjaga yang bertugas di sana. Kedua penjaga itu sempat terkejut ketika melihat siapa yang datang. Penampilan Levina kini jauh berbeda—semakin cantik, semakin berkelas. Tak jarang, para pegawai pria di rumah itu hanya bisa memandangi tanpa berkedip setiap kali wanita itu lewat. Namun, sesuai perintah Ethan, tak seorang pun dari mereka berani menanyai Levina tentang keperluannya. Mereka hanya diperbolehkan membuka dan menutup pintu, tanpa komentar, tanpa pertanyaan. Di sisi lain, Ethan sejak tadi tampak gusar. Ia mondar-mandir di halaman depan, memandangi ponselnya berulang kali karena pesan yang dikirimnya tak kunjung dibalas. Rasa khawatirnya makin menjadi, apalagi setelah tahu bahwa Levina menemui Roni hari ini. Begitu melihat dari kejauhan Levina berlari melalui pintu samping—jalur khusus untuk para pegawai—Ethan memicingkan mata. Ada rasa cemburu yang aneh menggelayuti dadanya. Tanpa pikir panjang, pria itu masuk ke dalam rumah dan langsung encari Levina di kamarnya. “Ada apa, Tuan? Kok tumben sudah di rumah jam segini?” tanya Levina polos, sambil menatap pria itu dengan mata jernih. Ia masih mengenakan dress tanpa lengan berwarna lembut, membuat Ethan semakin tak nyaman melihatnya. “Apa kamu keluar tadi memakai pakaian seperti itu?” tanyanya dengan nada dingin, matanya menelusuri penampilan Levina dengan tajam. “Iya, Tuan. Tapi tadi saya pakai cardigan, kok,” jawab Levina gugup, merasa ada sesuatu yang berbeda dari sorot mata tuan mudanya itu. “Lalu, kamu jadi bertemu dengan Roni?” Ethan menatapnya dalam. Levina mengangguk mantap. “Iya, Tuan. Kan saya sudah izin tadi malam. Saya mulai menjalankan rencana saya untuk balas dendam pada—ehmm!” Ucapan Levina terhenti karena Ethan tiba-tiba menariknya dan membungkam bibirnya dengan ciuman. Ada sesuatu yang meledak dalam diri Ethan—campuran antara cemburu, khawatir, dan keinginan untuk menegaskan bahwa wanita di depannya adalah miliknya. Ia menekan tengkuk Levina, memperdalam ciumannya, menyesapi bibir mungil kekasih gelapnya itu dengan emosi yang sulit dijelaskan. Beberapa detik kemudian, ia melepaskannya perlahan ketika Levina mulai kehabisan napas. Jemari Ethan mengusap pipi wanita itu, lembut tapi masih penuh tuntutan. “Kamu ketemu mantan suamimu dengan pakaian seperti ini?” tanyanya lirih namun masih terdengar tegas. “Iya, Tuan,” jawab Levina pelan. “Saya memang sengaja… menggoda dia, supaya dia tergila-gila lagi pada saya.” Jawaban itu terdengar ringan di telinga Levina, tapi menusuk di hati Ethan. Ia terdiam sejenak, menarik napas panjang sambil memijit pangkal hidungnya. “Hah… baiklah. Terserah kamu saja. Kamu juga tidak mau aku ikut campur masalahmu, padahal kalau cuma untuk menjatuhkan pria itu, aku bisa melakukannya sendiri,” ucap Ethan akhirnya. Levina tersenyum lembut. “Terima kasih, Tuan. Tapi Anda tidak perlu turun tangan. Saya bisa melakukannya sendiri.” Itu adalah jawaban yang sama setiap kali Ethan menawarkan bantuan. Ethan menatapnya sejenak, lalu mengulurkan tangan. “Temani aku sebentar,” katanya dengan suara yang lebih lembut. Ia menarik Levina duduk di sisi ranjang dan langsung memeluknya dari belakang. Pelukan itu bukan nafsu, melainkan kelelahan. Ada ketenangan yang Ethan dapatkan hanya dari aroma tubuh Levina dan kehangatan pelukannya. “Temani aku tidur siang ini,” ucapnya lirih. “Aku tidak akan melakukan apa-apa. Aku hanya ingin tidur dengan memelukmu.” Levina sempat kebingungan. “Tuan Ethan kenapa? Apa Tuan sakit?” tanyanya sambil menatap wajah sang tuan muda yang sudah tampak begitu letih. Ethan tidak menjawab. Ia hanya memeluk Levina lebih erat, meletakkan kepalanya di d**a wanita itu, mendesah pelan seperti bayi yang mencari rasa aman. Levina pun membalas pelukannya dengan lembut. Jemarinya menyusuri rambut pria itu perlahan, penuh kasih. Ia tidak memejamkan mata—hanya memandangi wajah tenang Ethan yang akhirnya tertidur di pelukannya. Dalam diam, Levina berpikir. “Apa aku tega mengatakan pada Tuan Ethan bahwa tunangannya sendiri telah mengkhianatinya? Atau… lebih baik aku bereskan Roni terlebih dahulu?” Wajahnya tampak datar, tapi matanya menyimpan seribu rencana. Sepertinya dia bisa mulai menyusun rencana untuk menghancurkan dua orang sekaligus. Bersambung
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN