Bab 19. Permainan Baru Dimulai

1234 Kata
Happy Reading. Levina memoleskan lip cream matte warna peach di bibir mungilnya yang sedikit berisi. Bibir kecil itu terlihat penuh dan manis. Dia tahu, jika memakai lip cream merah, bibirnya pasti akan tampak seperti buah ceri yang ranum, membuat siapa pun yang menatap pasti ingin segera menciumnya. Setelah selesai berdandan, Levina memastikan penampilannya tidak berlebihan. Tidak norak, tetapi tetap mempesona. Dress putih gading sepanjang lutut yang dipakainya terlihat sederhana, namun pita kecil yang melingkar di pinggang memberikan kesan manis dan elegan. Rambut sebahunya yang tergerai menambah kesan segar di wajahnya. Meskipun usianya sudah 26 tahun, gaya berpakaian itu membuatnya tampak lebih muda dan girly. Belum sempat ia beranjak, ponselnya berbunyi. Sebuah pesan masuk. Levina segera melirik layar, dan tersenyum miring saat membaca siapa pengirimnya. ‘Aku sudah dalam perjalanan ke restoran favorit kita dulu, apa benar kamu tidak perlu dijemput?’ Levina terkekeh kecil, lalu menghela napas panjang. Senyum sinis terulas di wajahnya. “Apa kamu sudah tidak sabar bertemu denganku, Roni? Cih! Dasar pria munafik,” gumamnya lirih. Ia mengetik balasan dengan cepat. ‘Tidak perlu jemput, aku sudah dalam perjalanan.’ Pesan terkirim. Levina menatap layar ponselnya sambil tersenyum penuh arti. Biarkan saja Roni menunggu lebih lama di sana. Dia tidak akan buru-buru sampai. Toh, siang ini Nyonya Bela sudah memberinya izin untuk keluar. Setelah merapikan tas branded yang tergeletak di kasur, Levina memesan taksi online. Perjalanan menuju restoran itu memakan waktu hampir 25 menit, karena memang jaraknya cukup jauh dari kediaman keluarga Savanier. Begitu tiba, Levina melangkah masuk ke restoran dengan anggun. Pandangannya segera mencari seseorang. Tidak butuh waktu lama hingga ia menemukan Roni yang duduk di sisi kanan, tampak gelisah sambil memainkan ponselnya. Levina tersenyum samar lalu berjalan mendekat. “Apa kamu sudah lama menunggu? Maaf, restoran ini lumayan jauh dari tempatku bekerja,” ucap Levina, lalu duduk di hadapannya. Roni mendongak, matanya membulat. Untuk sesaat pria itu tertegun. Ia benar-benar terpaku melihat Levina yang kini jauh berbeda dari dulu. Senyum lebar Levina menyingkap lesung pipinya, menambah kesan manis pada wajahnya. Dress putih gading yang membalut tubuhnya tampak mahal dan begitu pas di tubuh mungilnya. Roni menelan ludah susah payah. Dia tak bisa menyangkal—perubahan Levina benar-benar mempesona. “Roni? Ada apa?” tanya Levina santai, meletakkan tas branded-nya di atas meja dengan gerakan anggun. Dalam hati, Levina tersenyum puas. Semua ini berkat Ethan. Hidup nyaman, berpenampilan cantik, dan percaya diri. Ya, meskipun setiap malam ia harus melayani Ethan, tapi… itu bukan paksaan. Justru ada rasa nyaman yang perlahan tumbuh. “Tidak apa-apa,” jawab Roni, cepat-cepat menutup rasa canggungnya. “Aku sudah memesankan makanan favoritmu, steak benar kan?” Levina menatapnya sebentar, lalu tersenyum manja. “Aku merasa terharu, ternyata kamu masih ingat makanan favoritku. Terima kasih.” Senyum itu bukan senyum sembarangan. Levina sudah belajar banyak—dari media sosial, dari tutorial, dari berbagai sumber—tentang bagaimana merayu, menggoda, dan menjerat pria. Tak lama, pesanan mereka datang. Levina tampak antusias melihat steak kesukaannya. Sementara itu, jantung Roni berdetak semakin kencang menyaksikan tingkah mantan istrinya yang tampak menggemaskan. Saat Levina memotong steak dengan garpu dan pisau, Roni tiba-tiba berucap, “Kamu sangat cantik, Levina.” Levina melirik sekilas sambil tersenyum. “Terima kasih. Kamu juga terlihat semakin tampan.” Ia menambahkan kedipan mata genit. Itu jurus andalan yang bisa membuat pria manapun meleleh. Dan benar saja—wajah Roni semakin memerah, dadanya berdebar kacau. Benih-benih cinta yang dulu pernah ia pendam, kini bermunculan kembali. Dulu, sebelum Sonya datang mengacau, Roni memang sempat benar-benar mencintai Levina. Pandangan Roni pun tak bisa menahan diri. Matanya menyapu setiap inci penampilan Levina—dari bahu jenjang, leher putih mulus, hingga belahan d**a yang samar terlihat. Dress tanpa lengan itu benar-benar membuatnya tergoda. Sementara itu, Levina tetap tenang, menyuapkan sepotong daging panggang ke dalam mulutnya. Aroma bumbu yang meresap membuatnya seolah tak peduli pada tatapan Roni yang sejak tadi tidak berkedip dari seberang meja. Padahal, jantungnya berdegup kencang, menahan rasa muak yang semakin menggelayuti. Roni tidak berhenti menatapnya. Matanya memindai wajah Levina dari ujung rambut hingga bibir mungil yang kini sedang sibuk mengunyah. Tatapan itu membuat Levina risih, seperti seekor serigala lapar yang hendak menerkam. “Kenapa tidak dimakan?” tanya Levina akhirnya, suaranya datar, dingin, namun cukup untuk memecah keheningan yang menyesakkan. Roni menghela napas panjang. Lalu dengan gerakan yang mendadak, ia meraih jemari Levina. Jari-jari pria itu hangat, namun genggamannya terasa penuh keterpaksaan. “Levina…” bisiknya parau. “Maafkan aku. Maafkan semua kesalahan yang sudah aku perbuat.” Suara Roni bergetar, penuh penyesalan. Matanya yang biasanya dingin kini berubah sendu. “Sebenarnya… aku masih mencintaimu. Waktu itu aku khilaf. Aku bodoh menceraikanmu, lebih bodoh lagi mengusirmu dari rumah. Aku menyesal. Sangat menyesal.” Tanpa memberi kesempatan Levina menarik tangannya, Roni menunduk dan mencium punggung tangan wanita itu. Ciuman lembut yang dulu mungkin bisa membuat Levina luluh, tapi sekarang hanya membuatnya ingin muntah. Levina menahan dirinya. Ia tidak boleh menyingkir, tidak boleh menunjukkan jijiknya. Biarkan Roni larut dalam permainan ini. Biarkan ia percaya bahwa cintanya masih berarti. “Levina, aku masih sangat mencintaimu,” lanjut Roni, kali ini dengan suara yang lebih keras, nyaris putus asa. “Aku ingin kita kembali seperti dulu. Aku ingin kita kembali bersama.” Belum sempat Levina merespons, tiba-tiba— “APA YANG KAMU KATAKAN?!!” Suara lantang seorang wanita mendesing, menusuk gendang telinga seluruh pengunjung restoran. Roni tersentak, tubuhnya menegang. Perlahan ia menoleh ke belakang. Seketika wajahnya memucat, bibirnya bergetar, dan napasnya tercekat. “Sonya…” suaranya lirih, hampir tak terdengar. Di sana, hanya beberapa langkah darinya, berdirilah Sonya. Mata wanita itu menyala-nyala penuh kemarahan, rahangnya mengeras, dan kedua tangannya terkepal di sisi tubuh. Gaun merah yang dikenakannya berkibar tipis karena langkah cepatnya tadi. “b******k kamu, Roni!!” pekik Sonya, suaranya tajam hingga membuat beberapa pengunjung menoleh penasaran. Roni buru-buru berdiri, tubuhnya limbung. “Sonya, tunggu dulu, aku bisa menjelaskan—” “Menjelaskan apa?!” potong Sonya dengan teriakan histeris. “Aku mendengar jelas dengan telingaku sendiri! Kamu bilang ingin kembali padanya? Kamu bilang masih mencintainya?” “Sonya, dengarkan aku dulu!” Roni semakin panik. Keringat dingin mulai membasahi pelipisnya. Ia melangkah mendekati Sonya, tapi justru— PLAK! Sebuah tamparan keras mendarat di pipinya. Suara tamparan itu menggema di seluruh ruangan, membuat restoran yang tadinya ramai mendadak hening. Semua mata kini tertuju pada mereka. Roni terhuyung, pipinya memerah. Sonya menatapnya penuh amarah dan pengkhianatan. Air matanya berkilat, siap jatuh. “Dasar pria tak tahu malu! Kamu bilang dulu kalau kamu jijik sama dia! Kamu bilang kamu tidak pernah mencintai wanita itu! Kamu bilang aku satu-satunya wanita yang kamu inginkan! Dan sekarang??!!” suaranya pecah, bergetar oleh tangis yang tertahan. Levina hanya duduk manis, menyaksikan drama itu dengan senyum tipis di bibir. Oh, betapa indahnya melihat dua orang yang pernah menghancurkan hidupnya kini saling melukai. Tangannya diam-diam meraba tas branded di kursinya, memastikan kamera kecil yang ia sembunyikan di dalamnya menyala sempurna. Semua percakapan, semua tamparan, semua teriakan itu terekam jelas. Roni tak pernah tahu, Sonya datang ke tempat ini bukanlah kebetulan. Semua sudah diatur. Nomor telepon Sonya ia dapatkan dari Ethan, dan dengan sedikit trik, ia berhasil memancing wanita itu datang tepat waktu. Levina meneguk minumannya perlahan, menatap Sonya dan Roni bergantian. Dalam hati, ia tertawa puas. Kini bukti itu ada di tangannya. Bukti untuk Ethan. Bukti untuk keluarga Savanier. Bukti bahwa Sonya selama ini hanyalah pembohong licik yang pandai memutarbalikkan kenyataan. Dan permainan baru saja dimulai. Bersambung. Masih ada yang mau lanjut?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN