Bab 17. Selalu Lemah di Hadapan Ethan

1158 Kata
Happy Reading Setelah selesai dari pertemuan bisnisnya bersama Aries, Ethan akhirnya pulang ke rumah. Begitu masuk ke dalam, matanya langsung menangkap sosok sang Mama, Bela, yang sedang duduk di ruang tamu. Wajah wanita paruh baya itu tampak begitu cerah, bibirnya tersungging senyum seakan ada sesuatu yang membuatnya begitu bahagia. Ethan menghentikan langkahnya, menatap heran. “Ma, apakah Mama habis memenangkan tender besar atau semacamnya? Dari tadi Mama senyum-senyum terus. Sepertinya Mama sedang bahagia sekali,” tanyanya penasaran. Bela menoleh ke arah putranya, tersenyum lebih lebar. Ethan mendekat lalu menunduk untuk mengecup pipi kiri sang Mama. Itu sudah menjadi kebiasaan anak-anak dalam keluarga mereka—selalu memberi pelukan hangat serta kecupan sayang setiap kali bertemu dengan sang ibu. Bela terkekeh kecil sambil menggeleng. “Ah, bukan begitu, Nak. Memangnya Mama bisa bisnis sampai sebesar itu? Mama hanya... ya, merasa senang saja hari ini.” Ethan berkerut kening. “Senang? Ada apa memangnya, Ma?” Bela menatap putranya dengan sorot mata penuh antusias, lalu ia bersandar santai ke sofa. “Tadi Mama pergi ke butik, kan. Nah, kebetulan Mama bawa Levina juga. Kamu tahu, Ethan? Saat di sana, Levina bertemu dengan mantan suaminya. Dan Mama bisa lihat jelas sekali, mantan suaminya itu... sepertinya masih punya perasaan sama Levina.” “Uhuuk! Uhuuk!” Ethan langsung tersedak, padahal dia sama sekali tidak sedang makan atau minum. Bela buru-buru panik. “Astaga, Ethan! Kamu kenapa? Tersedak apa?” tanyanya khawatir sambil hendak meraih gelas air di meja. Dengan cepat Ethan mengibaskan tangan, mencoba menenangkan Mamanya. “Tidak apa-apa, Ma. Ehm... mungkin cuma salah napas.” Bela menatapnya curiga, tapi tidak terlalu memaksa. “Kamu ini, bikin Mama kaget saja. Kalau memang tidak apa-apa, ya sudah. Tapi jangan bikin Mama panik lagi begitu.” Ethan tersenyum tipis, meski hatinya sedang kacau. “Iya, Ma. Ethan naik dulu ya ke atas, mau istirahat sebentar,” katanya buru-buru sebelum Bela sempat menambahkan cerita lebih banyak. Bela mengangguk sambil melambaikan tangan. “Iya, Nak. Jangan lupa makan dulu nanti.” Ethan langsung melangkah cepat menuju kamarnya di lantai atas. Pikirannya berputar tak karuan. Kenapa hatinya tiba-tiba terasa sesak mendengar Levina bertemu dengan mantan suaminya? Apalagi mendengar ucapan Mama, kalau mantan suaminya masih mencintai Levina. Ada rasa tidak nyaman, seperti cemburu yang diam-diam menyusup tanpa ia sadari. Setelah masuk ke kamar, Ethan menghempaskan tubuhnya ke ranjang. Tangannya refleks meraih ponsel di saku celana. Ia menatap layar sesaat, lalu menekan nomor Levina. Namun alisnya langsung berkerut ketika layar ponsel menampilkan notifikasi bahwa Levina sedang menerima panggilan lain. Ethan mendengus pelan, wajahnya muram. “Siapa yang dia telepon? Apa jangan-jangan... Roni?” gumamnya lirih, d**a terasa semakin tidak tenang. *** Levina tersentak kaget ketika tiba-tiba ada sepasang tangan kokoh melingkari pinggangnya dari belakang. Degup jantungnya langsung meningkat, tapi rasa paniknya segera mereda begitu ia mengenali siapa pemilik pelukan itu. Tak lain dan tak bukan, sang tuan muda yang selama ini begitu lihai membuatnya kehilangan kendali. “Ehm, Roni… aku sudah mengantuk. Sampai jumpa besok lagi, ya,” ucap Levina cepat-cepat, suaranya bergetar meski berusaha terdengar tenang. Ia langsung memutuskan panggilannya, tak ingin sang tuan muda salah paham. Namun, Ethan yang berdiri tepat di belakangnya malah menghela napas berat. “Jadi kamu sejak tadi sibuk teleponan sama pria itu, hah? Bernostalgia ceritanya?” ucapnya dengan nada yang menyiratkan cemburu, lalu tanpa ampun ia menundukkan wajahnya dan mencium tengkuk Levina. Hisapan bibirnya agak kuat, membuat wanita itu menegang. Levina terperanjat, tangannya langsung menyingkirkan genggaman Ethan yang memeluk erat pinggangnya. “Tuan muda, apa yang Anda lakukan di sini? Nanti kalau ada yang masuk bagaimana?” suaranya terdengar panik, tubuhnya bergerak resah. Ia benar-benar khawatir. Bagaimana jika ada salah satu sahabatnya sesama pelayan masuk begitu saja ke kamarnya? Cukup sekali saja mereka melihatnya berdua dengan Ethan dalam posisi seperti ini, bisa-bisa ia menjadi bahan gunjingan seisi rumah besar itu. Ethan justru terkekeh pelan, seolah menikmati kegugupan Levina. “Tenang saja. Sudah aku kunci pintunya. Jadi gak ada yang bisa masuk,” bisiknya di telinga Levina, membuat bulu kuduk wanita itu meremang. “Lagipula, kamu tadi susah sekali ditelepon karena masih asik ngobrol sama mantan suamimu.” Nada suaranya merendah, ada nada kesal yang jelas terbaca. Dengan sedikit kasar, Ethan membalikkan tubuh Levina hingga kini wajah mereka berhadapan. Tatapannya menusuk dalam, seakan ingin menembus isi hati wanita itu. Tanpa memberi kesempatan bicara, ia langsung merengkuh bibir Levina dengan lembut, menyapu rasa cemburunya dalam ciuman panas yang membuat wanita itu kembali kehilangan pertahanan. Levina berusaha menolak, tetapi tubuhnya lemah di hadapan Ethan. Selalu begitu. Entah kenapa, setiap kali pria itu menyentuhnya, ia merasa begitu berarti—dirindukan, dicintai, dan diperhatikan. Perasaan itu sama sekali berbeda ketika ia masih bersama Roni. Dulu, saat bersama Roni, yang ia dapatkan hanyalah kekerasan dan dinginnya sikap. Roni kerap memperlakukan dirinya semaunya sendiri, seakan Levina hanyalah pelampiasan semata. Bahkan ketika mereka bercinta, Roni seringkali memaksakan kehendaknya. Dan yang paling menyakitkan, pria itu selalu menggunakan pengaman, dengan alasan klise bahwa ia belum siap memiliki anak. Dari situlah Levina belajar banyak—tentang cinta, tentang luka, tentang bagaimana seorang pria bisa membuat seorang wanita hancur perlahan. Tapi kini, di hadapan Ethan, ia merasakan hal yang berbeda. Sang tuan muda memang keras kepala, terkadang egois, namun di setiap sentuhannya, Levina bisa merasakan dirinya dihargai. “Jangan… jangan membuat tanda, Tuan! Nanti saya bingung bagaimana menutupinya,” ucap Levina tergopoh saat Ethan kembali menunduk, menghisap leher jenjangnya lebih kuat. Ethan menghentikan gerakannya, lalu menatap wajah Levina dengan sorot mata yang sulit diartikan. “Kenapa? Kamu takut kalau ketemu si Roni nanti, dia bakal lihat bekasnya?” tanyanya dingin. Levina menggeleng cepat, matanya melebar. “Bukan seperti itu, Tuan! Saya hanya takut… kalau orang-orang di rumah ini nanti curiga. Masa iya saya bilang digigit serangga? Pasti mereka tidak akan percaya, kan?” suaranya lirih, nyaris seperti bisikan ketakutan. Namun, Ethan tidak bergeming. Pria itu kembali menundukkan wajahnya, mencium bibir Levina dengan lebih dalam, bahkan kali ini lidahnya menyapu masuk, mendominasi dengan kelembutan sekaligus keinginan yang membakar. “Aku tidak peduli,” gumam Ethan di sela ciumannya. “Yang jelas malam ini kamu tidak usah tidur. Kita akan melakukannya… di kamarmu.” Mata Levina membelalak, tubuhnya menegang seketika. “Apa? Di… di kamar saya?!” ucapnya terbata. Bayangan ngeri langsung menghantui benaknya. Bagaimana mungkin mereka melakukan itu di sini, di kamarnya yang hanya bersebelahan dengan kamar para pelayan lain? Bagaimana mungkin ia bisa menahan suaranya nanti? Dan bagaimana kalau ada yang curiga ketika mendengar suara aneh? Belum sempat pikirannya menemukan jawaban, Ethan sudah kembali menyerangnya. Bibir pria itu bergerak di sepanjang wajahnya, mencium pelipis, pipi, hingga turun ke rahang. Tangannya pun mulai nakal, bergerak menanggalkan satu per satu pakaian yang melekat di tubuh Levina. Wanita itu hanya bisa pasrah. Ia tahu dirinya lemah di hadapan Ethan. Setiap sentuhan pria itu selalu berhasil menyeretnya masuk dalam arus kenikmatan yang menenggelamkan. Seakan Ethan benar-benar tahu bagaimana cara memperlakukan dirinya. Dan meski hatinya diliputi rasa takut, ia pun tak bisa menyangkal bahwa ia menyukai setiap perlakuan itu. Bersambung
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN