Episode 16. Ethan dan senjata

1653 Kata
Happy Reading Masih di butik. Roni benar-benar tidak bisa mengalihkan pandangannya dari wajah Levina. Sementara itu, Levina yang ditatap hanya bisa berpura-pura senang, meski di dalam hati sejak tadi ia sudah mengumpat kesal. Ingatannya melayang pada satu malam, ketika suaminya pulang larut dengan keadaan berantakan. Saat itu Levina menunggu di ruang tamu hingga hampir terlelap di sofa. Namun ia tetap berusaha menahan kantuk demi menyambut kepulangan suaminya. Begitu pintu terbuka, Roni masuk tanpa peduli pada sekitarnya. Kancing bajunya terbuka, dasi entah di mana, dan wajahnya terlihat acak-acakan. "Roni, biar aku bawakan jasmu," ucap Levina kala itu dengan nada hati-hati. Namun, suaminya bahkan tidak menoleh, apalagi menjawab. Levina sudah hampir terbiasa dengan sikap cuek itu. Tapi malam itu ada yang berbeda. Saat Roni melewatinya, Levina mencium aroma parfum asing. Bukan aroma milik Roni, melainkan wangi khas perempuan. Ia sempat menggelengkan kepala, berusaha menyingkirkan pikiran buruk. Namun sejak malam itu, tingkah laku Roni kian mencurigakan. Bukan hanya aroma parfum yang sering menempel di bajunya, bahkan suatu kali Levina menemukan sepasang anting kecil di saku jas suaminya. Mungkin sejak saat itu Roni memang sudah memiliki wanita lain. Dan Levina, yang dulu terlalu polos, memilih menutup mata terhadap semua tanda itu. "Levina! Levina! Apa kamu mendengarku?" suara Roni membuat Levina tersentak. Tangan pria itu menggoyangkan lengannya lembut. Levina baru sadar, ia melamun terlalu jauh. Kini, ia benar-benar paham siapa sebenarnya Roni. Pria yang mudah tergoda hanya dengan senyum manis seorang wanita. "Ah... aku hanya teringat, dulu kamu tidak pernah semanis ini padaku," ujar Levina lirih, menatapnya sendu. Tatapan itu membuat Roni gugup. Mantan istrinya kini tampak jauh lebih cantik, bahkan lebih menawan daripada saat bersamanya dulu. "Maafkan aku... aku menyesal," ucap Roni sambil menggenggam tangan Levina erat. Cih, dasar pria b******k, batin Levina. Meski ingin sekali menampar wajah itu, Levina justru menampilkan senyum manis. Pria di depannya memang pernah dicintainya, tetapi juga orang yang menghancurkan hidupnya berkeping-keping. Kini, tekadnya sudah bulat: ia akan membuat Roni kembali jatuh cinta padanya—hanya untuk kemudian menghancurkan pria itu, sebagaimana dulu Roni menghancurkannya. "Ehm... bolehkah aku meneleponmu? Maksudku, kita saling kabar setiap hari," tanya Roni canggung. Tangannya refleks menggaruk tengkuk yang jelas-jelas tidak gatal. Levina menatapnya tajam. "Apa aku tidak salah dengar? Kau...?" "Tidak, Levina." Roni buru-buru menyela. "Aku hanya ingin menebus semua kesalahanku padamu. Sejujurnya, setelah bercerai denganmu aku merasa sangat kesepian. Aku tak ingin perceraian ini membuat kita menjadi asing." Hahaha, aktingmu sungguh payah, Roni! Levina menertawakan dalam hati. Dan benar saja, begitu ia sampai di rumah, ponselnya langsung berdering. Roni menelepon, bahkan mengirim pesan-pesan tak penting hanya untuk memastikan dirinya diperhatikan. Levina menghela napas. Ia tidak habis pikir—apakah Roni benar-benar sudah tertarik padanya? Mengapa baru sekarang, setelah ia tampil cantik dan percaya diri, pria itu berusaha mengejarnya lagi? Sepertinya, satu-satunya pria yang benar-benar tulus dan tidak jijik pada penampilanku hanyalah Tuan Ethan... batin Levina, lirih merindukan tuan mudanya itu. *** Suasana sebuah ruangan remang-remang di sebuah klub terasa begitu menyesakkan. Asap rokok mengepul di udara, bercampur dengan bau alkohol yang menyengat. Musik keras terdengar samar dari luar, tapi di ruangan VIP yang terpisah itu, ketegangan terasa jauh lebih nyata. Ethan duduk santai di sofa kulit hitam, wajahnya datar, sorot matanya dingin seperti biasa. Di sampingnya, Aries tampak siaga, sesekali melirik sekeliling ruangan untuk memastikan tidak ada ancaman tersembunyi. Pintu ruangan berderit terbuka. Seorang pria berperawakan tinggi, berjenggot tipis, masuk dengan langkah penuh percaya diri. Itulah Ziko, salah satu pemain besar dalam bisnis gelap. Di belakangnya, seorang wanita muda dibawa dengan kasar. Tangannya dicengkeram erat oleh anak buah Ziko, membuat langkahnya terseret. Ethan tidak langsung menoleh. Ia hanya memainkan gelas wiski di tangannya, seolah tidak peduli. Namun, sorot matanya yang tajam dari balik kaca bening memperlihatkan bahwa ia sedang memperhatikan dengan sangat cermat. "Heh, Ethan!" suara Ziko berat dan terkesan penuh ejekan. "Akhirnya kita bisa bertemu juga. Kau tahu? Banyak orang membicarakanmu. Katanya, bocah muda yang sekarang menguasai separuh wilayah ini." Aries mengerutkan kening, hendak membuka suara, tapi Ethan mengangkat tangannya, memberi isyarat untuk diam. "Apa yang kau bawa?" tanya Ethan tenang, suaranya rendah tapi penuh wibawa. Ziko terkekeh, lalu menepuk bahu wanita yang dibawanya. "Aku bawa dua hal malam ini." Ia mengangkat satu jari. "Pertama, senjata. Kualitas terbaik, bukan barang murahan. Tapi tentu, harganya juga tinggi." Ia mengangkat jari kedua, kemudian menepuk-nepuk pipi wanita itu dengan kasar. Wanita itu hanya menunduk, wajahnya pucat ketakutan. "Kedua, hadiah kecil. Namanya Laura. Cantik, kan? Jika kau setuju membeli barangku dengan harga tinggi, dia akan jadi milikmu untuk satu malam. Gratis. Anggap saja bonus." Aries langsung mendengus marah. "Kurang ajar kau, Ziko! Bosku tidak butuh—" Namun, Ethan kembali mengangkat tangannya, menghentikan Aries. Ia menegakkan tubuhnya, lalu menatap Ziko tajam, kali ini tanpa menyembunyikan ketidaksukaannya. "Ziko," ucap Ethan perlahan, suaranya tenang tapi berbahaya. "Sejak kapan aku terlihat seperti pria yang membeli senjata dengan harga yang kau tentukan... atau yang mau tidur dengan wanita yang kau lemparkan di mejaku?" Ziko terkekeh kaku, mencoba menutupi ketegangannya. "Hei, jangan tersinggung. Ini hanya bisnis. Kau tahu sendiri, dunia bawah tanah tidak hanya tentang uang, tapi juga hiburan." Ethan mencondongkan tubuhnya ke depan, menatap lurus ke arah Ziko dengan tatapan tajam bagai pisau. "Dengar baik-baik. Aku membeli senjata hanya karena barangnya. Bukan karena iming-iming kotor. Dan wanita itu..." Ia melirik Laura sejenak, lalu kembali menatap Ziko. "...bukan barang dagangan yang bisa kau sodorkan padaku." Suasana ruangan mendadak sunyi. Anak buah Ziko yang tadi menggenggam tangan Laura terlihat ragu, bahkan sedikit menundukkan kepala. Aries tersenyum miring, kali ini tak bisa menahan komentar sinisnya. "Kau salah besar, Ziko. Bosku tidak selevel dengan orang sepertimu yang memperlakukan perempuan seperti komoditas. Jadi, simpan saja tawaran menjijikkanmu itu." Ziko berdeham, wajahnya berubah kaku. Ia mencoba tersenyum, meski jelas terlihat gugup. "Baiklah, baiklah... jangan terlalu serius. Kita bicarakan soal senjata saja, ya?" Ethan menyandarkan punggungnya kembali ke sofa, lalu mengangkat dagunya sedikit. "Kalau barangmu bagus, aku bayar sesuai kualitas. Jika tidak, jangan buang waktuku." Laura menoleh sekilas, matanya berkaca-kaca, seakan baru saja diberi sedikit harapan. *** Ziko bertepuk tangan sekali, lalu salah satu anak buahnya membawa koper hitam besar. Koper itu diletakkan di atas meja kaca di depan Ethan. Dengan gerakan penuh gaya, Ziko membukanya. Tampak deretan senjata api tersusun rapi—pistol, revolver, hingga senjata laras panjang yang berkilau seakan baru keluar dari pabrik. "Ini barangku," ucap Ziko dengan nada bangga. "Buatan luar negeri. Tidak ada cacat, tidak ada bekas pakai. Kalau kau pintar, kau akan tahu betapa berharganya ini." Aries bersiul pelan, pura-pura terkesan, meski matanya sebenarnya penuh curiga. "Bagus sih... tapi harga yang kau pasang berapa?" Ziko menyeringai lebar. "Untukmu, Ethan... satu set lengkap tiga kali lipat harga pasar." Aries langsung melotot. "Apa?! Kau gila?! Itu namanya bukan bisnis, tapi perampokan!" Ethan tidak langsung bereaksi. Ia hanya memutar gelas wiski di tangannya, lalu perlahan bangkit berdiri. Semua mata otomatis tertuju padanya. Suara musik dari luar semakin sayup, memberi ruang pada ketegangan yang makin menebal. "Ehm..." Ethan mendekati koper itu, menatap senjata di dalamnya dengan seksama. Tangannya terulur, mengambil satu pistol, lalu memutarnya pelan di telapak tangan. Ia menimbang bobotnya, mengarahkan ke depan, bahkan menekan pelatuk kosongnya. Ziko menahan napas, mencoba membaca ekspresi Ethan. Akhirnya, Ethan meletakkan pistol itu kembali ke tempatnya. Sorot matanya berubah dingin. "Barangmu memang bagus," ucapnya pelan. "Tapi harganya... sampah." Ziko tersentak. "Hei! Kau kira aku main-main? Aku bisa menjual ini ke orang lain, Ethan! Banyak yang rela bayar mahal untuk—" BRAK! Aries menghantam meja dengan tinjunya, membuat gelas bergetar dan Laura tersentak ketakutan. "Berani ancam bosku? Kau pikir kau siapa, hah?!" Ethan mengangkat tangan, menenangkan Aries. Ia lalu menatap Ziko, tatapannya tajam seperti pisau yang siap menusuk. "Aku membeli dengan harga yang pantas. Kalau kau tidak mau... silakan keluar. Jangan buang waktuku." Suasana semakin menegangkan. Ziko menatap Ethan lama, seakan menimbang-nimbang. Ia tahu, menghadapi Ethan bukan perkara mudah. Anak muda ini bukan hanya cerdas, tapi juga punya kekuasaan dan jaringan yang lebih kuat daripada yang ia bayangkan. Akhirnya, Ziko mendengus kesal. "Baiklah... harga standar. Tapi aku rugi besar!" Ethan menegakkan tubuhnya, lalu tersenyum tipis. "Itu urusanmu. Yang jelas, aku tidak pernah membeli barang dengan harga yang tidak masuk akal." Aries terkekeh puas. "Pintar juga akhirnya kau sadar, Ziko." Ziko hanya menggeram, wajahnya memerah karena malu. Sementara itu, Laura masih berdiri di sudut ruangan, menunduk, tubuhnya gemetar. Ethan sempat meliriknya sekilas. Ada rasa tidak nyaman di matanya, tapi ia cepat mengalihkan pandangan. Ia tahu, dunia Ziko kotor. Dan perempuan itu... hanyalah salah satu korban yang terjebak di dalamnya. Ethan meraih gelas wiskinya lagi, meneguk sisa cairan di dalamnya, lalu menaruhnya dengan tenang di meja. "Transaksi selesai. Bawa pergi wanita itu." Laura menoleh cepat, seolah terkejut mendengar ucapan itu. Ada bayangan kecewa singkat di matanya, meski ia tahu Ethan sama sekali tidak punya kewajiban menolongnya. Ziko mengangguk, lalu menepuk pundak Laura dengan kasar. "Dengar, gadis manis? Kau belum laku malam ini. Ayo ikut aku." Laura menggigit bibirnya, menahan air mata. Namun saat Ziko menariknya pergi, Ethan tiba-tiba membuka suara lagi. "Ziko." Langkah pria itu terhenti. Ia menoleh dengan alis terangkat. "Apa lagi?" Ethan menatap lurus, dingin, tapi kali ini ada sedikit nada perintah yang membuat semua orang di ruangan itu merinding. "Jika aku dengar kau masih menjual perempuan sebagai barang dagangan, jangan pernah berharap bisa bertemu denganku lagi. Dan percayalah... aku tidak segan menghapus namamu dari peta bisnis ini." Ziko terdiam, wajahnya memucat. Ia hanya mengangguk cepat, lalu segera menarik Laura keluar tanpa berani menambah kata-kata. Ruangan kembali sunyi. Aries menghela napas panjang. "Bos, kau tadi serius soal menghapus namanya?" Ethan kembali duduk santai, menyalakan rokoknya, lalu mengembuskan asap tipis. "Aku selalu serius, Aries. Dunia bawah tanah penuh sampah. Kadang kita perlu membakar sebagian agar sisanya tetap bisa dipakai." Aries terkekeh kecil, mengangguk kagum. "Kau memang berbeda, Bos Ethan. Makanya semua orang segan padamu." Ethan tidak menjawab. Tatapannya kosong menembus asap rokok. Namun di benaknya, wajah Laura tadi masih jelas terbayang—mata yang ketakutan, bibir yang gemetar, dan tubuh yang pasrah. Ada sesuatu yang tidak bisa ia abaikan begitu saja. Bersambung
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN