Happy Reading
Ethan baru saja sampai di rumah setelah lebih dari seminggu berada di luar negeri. Pekerjaan menahannya cukup lama, dan meskipun setiap malam ia masih bisa melakukan panggilan video call, tetap saja ada yang terasa kurang. Rindu yang menyesakkan dadanya hanya bisa terobati jika ia bisa menatap langsung, menyentuh, dan memeluk kekasihnya.
Ya, Ethan sangat merindukan Levina.
Aroma tubuh wanita itu sudah menjadi candu tersendiri baginya. Setiap kali ia dekat dengan Levina, dunia seakan berhenti berputar, meninggalkan hanya mereka berdua. Anehnya, ada sesuatu yang selalu mengusik batinnya. Setiap kali bersama Levina, Ethan teringat akan Valencia—cinta pertamanya yang pernah begitu dalam melekat di hati.
Bukan berarti Ethan ingin menyamakan mereka. Levina berbeda, jauh lebih dewasa, lebih berisi, lebih seksi. Namun, ada satu titik kecil yang membuat Ethan selalu bertanya-tanya di dalam hatinya: mungkinkah Levina dan Valencia adalah orang yang sama? Ia sendiri belum bisa menyimpulkan, belum berani memastikannya.
Selama hidupnya, Ethan hanya pernah benar-benar tidur dengan dua wanita—Valencia dan Levina. Selain itu, tak ada lagi. Bahkan dengan Sonya, tunangannya sendiri, Ethan tak pernah bisa menumbuhkan gairah yang sama. Hanya Valencia di masa lalu, dan Levina di masa kini yang mampu membangkitkan sisi paling dalam dirinya.
***
Suara pintu kamar berderit pelan. Levina yang sedang duduk di tepi ranjang sontak tersentak kaget. Matanya membulat begitu melihat siapa yang masuk.
“Tuan… Anda sudah pulang?” ucap Levina terbata, jelas-jelas tak menyangka Ethan akan langsung datang ke kamarnya begitu tiba di rumah.
Ethan menaikkan satu alis, lalu menutup pintu perlahan sebelum memutarnya hingga terkunci. Ia berjalan mendekat dengan tatapan dalam yang membuat Levina tanpa sadar menggigit bibir bawahnya.
“Kenapa kamu terkejut? Apa kamu tidak senang aku pulang lebih cepat dari perkiraan?” nada suara Ethan terdengar tenang, tapi ada sentuhan posesif yang samar.
Levina buru-buru menggeleng. Wajahnya merona, ia menunduk tak berani menatap langsung pria itu. “Bukan begitu, tuan. Tentu saja aku senang… bahkan jujur, aku sangat merindukan tuan.” Suaranya lirih, hampir tak terdengar, seolah malu mengakuinya.
Tatapan Ethan melembut. Dalam satu tarikan napas ia langsung melangkah maju dan meraih pinggang Levina, menarik tubuh wanita itu mendekat hingga d**a mereka hampir bersentuhan. Levina terkejut, spontan mendongak, mata mereka bertemu.
“Kalau begitu, kenapa tadi siang kamu masih sempat-sempatnya bertemu dengan mantan suamimu?” tanya Ethan tiba-tiba, jemarinya mengangkat dagu Levina agar menatapnya. Ada nada kesal dan cemburu yang jelas di suara itu.
Levina tersenyum tipis, berusaha menenangkan. “Ehmm… apa tuan sedang cemburu?” godanya pelan.
Ethan belum sempat membuka suara, tiba-tiba suara dering ponsel memecah suasana. Levina cepat-cepat melepaskan diri dari pelukan Ethan, melangkah menuju nakas di samping tempat tidur. Jemarinya meraih ponsel itu, tapi saat matanya jatuh pada layar, wajahnya seketika menegang.
Ethan yang memperhatikan perubahan ekspresi itu langsung mendekat. “Ada apa?” tanyanya curiga.
“Ehmm…” Levina terlihat gelisah, bibirnya bergetar. Ia tidak percaya dengan nama yang muncul di layar. Roni.
Melihat Levina yang hanya diam mematung, Ethan merenggut ponsel itu tanpa permisi. “Biar aku saja.” Dengan cepat ia menekan tombol hijau.
“Halo, siapa ini?!” suara Ethan terdengar tajam.
Tak ada jawaban. Hanya hening, seolah si penelepon sengaja menahan diri.
Ethan menurunkan ponsel, matanya menyipit. Ia melihat layar dan membaca nama yang tertera. “Roni?” ucapnya, lalu menoleh ke Levina dengan tatapan penuh selidik.
Levina menarik napas panjang, mencoba menjelaskan. “Dia… dia mantan suamiku.”
Alis Ethan berkerut dalam. “Kenapa dia masih berani menghubungimu? Apa kalian masih sering berkomunikasi diam-diam?” nadanya dingin, tapi jelas ada gejolak emosi yang ia tahan.
Levina buru-buru menggeleng kuat-kuat. “Tidak, tuan. Bukankah Anda sendiri tahu bagaimana kisah saya? Roni sudah lama tidak pernah bertemu saya. Mungkin dia mulai menyesal, atau malah terpesona dengan perubahan saya sekarang.” Matanya menatap lurus ke arah Ethan, berusaha meyakinkan.
Hanya butuh satu langkah bagi Ethan untuk kembali mendekapnya. Ia menarik tubuh Levina hingga menabrak dadanya yang bidang. Pelukan itu erat, nyaris membuat Levina terengah.
“Aku tidak suka pria itu masih berani mengusikmu,” bisik Ethan tepat di telinganya. “Kamu adalah wanitaku sekarang. Aku ingin kamu kuat, Levina. Jangan pernah lagi goyah oleh masa lalu. Jika ada yang sudah membuatmu menderita, maka buat mereka bertekuk lutut di bawah kakimu.” Suara Ethan tegas, penuh kuasa, membuat jantung Levina berdetak kencang.
Levina terdiam sejenak, lalu perlahan mengangguk. Kata-kata Ethan seperti menyulut api semangat dalam dirinya.
Tanpa menunggu jawaban lagi, Ethan menunduk, bibirnya langsung mencari bibir Levina. Ciumannya lembut tapi penuh perasaan, menyalurkan rindu yang sudah lama tertahan. Levina tak kuasa menolak, tubuhnya melemah, tenggelam dalam dekap hangat itu.
Dalam sekejap, Ethan mengangkat tubuh Levina dengan kedua lengannya. Ia membaringkannya perlahan di atas ranjang, tetap tak melepaskan pagutan bibir. Malam itu, rindu yang menumpuk selama seminggu lebih akhirnya menemukan pelampiasannya.
***
Ethan merebahkan tubuh Levina dengan hati-hati di atas ranjang. Namun, begitu wanita itu menyentuh permukaan kasur yang empuk, ciuman Ethan tak juga terhenti. Bibirnya bergerak penuh hasrat, bergantian lembut dan menuntut, membuat Levina tak sempat menarik napas.
Levina meremas pelan bahu pria itu, seolah meminta jeda. “Tu—tuan…” suaranya lirih, bergetar di antara napas yang memburu.
Ethan menempelkan keningnya di kening Levina, matanya menatap dalam. “Berhentilah memanggilku ‘tuan’ ketika kita hanya berdua. Aku Ethan, kekasihmu… bukan majikanmu.” Suaranya rendah, namun sarat perasaan.
Levina menelan ludah, wajahnya merona merah. “Aku… aku belum terbiasa,” bisiknya malu.
Ethan tersenyum tipis, tangannya mengusap lembut pipi Levina. “Kalau begitu, biasakanlah. Karena aku ingin kamu selalu mengingat bahwa aku bukan hanya orang yang memberi perintah. Aku adalah pria yang akan melindungi dan… memilikimu sepenuhnya.”
Hati Levina bergetar hebat mendengar kata-kata itu. Ia menatap mata Ethan yang penuh kesungguhan, dan entah kenapa, di balik rasa malunya, ada perasaan hangat yang menyelimuti.
“Ethan…” akhirnya nama itu keluar juga dari bibir Levina. Seketika senyum Ethan melebar, puas mendengar wanita itu memanggil namanya dengan lembut.
Tanpa menunggu lama, Ethan kembali meraih bibirnya. Kali ini lebih dalam, lebih menuntut. Levina tak lagi bisa menahan diri, ia membalas ciuman itu dengan penuh perasaan, tangannya melingkar di leher Ethan.
Ethan menarik sedikit jarak, menatap wajah Levina yang kini sudah benar-benar merah. “Aku ingin kamu percaya padaku, Levina. Aku tidak akan pernah membiarkan Roni atau siapa pun menyakitimu lagi. Jika mereka mencoba… maka mereka akan berhadapan denganku.” Nadanya tegas, penuh tekad.
Levina mengangguk pelan, matanya berkaca-kaca. “Aku percaya padamu, Ethan. Aku hanya… kadang masih merasa takut dengan bayangan masa lalu.”
Ethan mengusap rambut Levina, menunduk menempelkan bibirnya di dahi wanita itu. “Jangan takut. Mulai sekarang, aku adalah rumahmu. Tidak ada lagi masa lalu yang bisa merenggutmu dariku.”
Levina memejamkan mata, air matanya jatuh tanpa bisa ia cegah. Tapi itu bukan tangis kesedihan—melainkan pelepasan. Untuk pertama kalinya, ia merasa benar-benar aman dalam pelukan seseorang.
Ethan menunduk lagi, mencium pipi Levina yang basah oleh air mata, lalu kembali ke bibirnya dengan lembut. Kali ini, ciumannya bukan sekadar gairah, tapi janji—janji seorang pria yang merasakan kenyamanan dalam hatinya.
Suasana kamar terasa semakin intim. Hanya ada desah napas mereka yang berpadu, jantung yang berdetak kencang, dan perasaan yang akhirnya tak lagi bisa dibendung.
Malam itu, Ethan dan Levina tidak hanya melepaskan rindu. Mereka juga memperkuat ikatan hati, tubuh mereka menyatu satu sama lain dengan perasaan yang tidak mereka sadari semakin tumbuh di hati masing-masing.
Bersambung