8. Bertemu calon jodoh

1071 Kata
Bastian mengantar Gia pulang, usai mereka berdua makan bersama. Hanya makan dalam diam. Baik Bastian maupun Gia, mereka sibuk dengan pemikiran masing-masing. "Aku_" "Saya_" Mereka mengatakannya secara bersamaan. "Kamu duluan," Bastian mengalah. Jujur saja Gia merasa tidak nyaman, apalagi setelah mendengar obrolan Bastian dan Olivia tadi. "Aku nggak dengar apapun." Gia memberanikan diri. "Tadi, aku benar-benar bersembunyi. Aku nggak, nguping." Lanjutnya. "Aku tahu." Balas Bastian dengan santainya. "Tapi aku juga tau, tapi kamu pasti dengar semua obrolan kami." Bastian menoleh, sementara Gia hanya meringis pelan. "Salah satu rahasia terbesar kami berdua, yang selama ini kami tutup rapat. Tapi pada akhirnya bocor dan kamu adalah orang pertamanya." Entah harus senang atau sedih, tapi Gia jelas tidak suka dengan fakta tersebut. "Jadi, itu alasan kamu tidak begitu peduli pada kondisi Amora?" "Salah satunya, tapi masih ada hal lain." Bastian menghentikan ucapannya, "Kamu nggak perlu tahu yang lainnya." "Oke! Aku nggak suka ikut campur urusan orang lain, kecuali nggak sengaja." Balas Gia. "Tapi, Amora ngga salah apa-apa. Kenapa kamu," "Dan kamu juga nggak tahu apa-apa. Jangan menghakimi ku." Bastian memotong ucapan Gia, hingga akhirnya Gia memilih diam sampai mobil Bastian berhenti di depan pintu gerbang rumahnya. "Terima kasih untuk tumpangannya, Pak Bas." Gia perlahan keluar dari dalam mobil. Akhirnya ia mulai terbiasa dengan kondisi kakinya yang masih cedera akibat kecelakaan beberapa waktu lalu. "Masuk sana!" Bastian menginstruksikan agar Gia segera masuk kedalam rumahnya. Tapi seperti beberapa waktu lalu, Gia masih saja berdiri di depan gerbang seolah enggan masuk kedalam rumahnya sendiri. "Pak Vs pulang duluan aja! Aku masih mau menghirup udara malam." Bohong Gia. Bastian hanya mengangkat bahu, lantas pergi meninggalkan Gia yang masih berdiri di depan pintu gerbang rumahnya. Benar, Gia enggan masuk kedalam rumah. Jika saja ia bisa memilih, mungkin saat ini Gia lebih memilih tinggal sendirian daripada harus satu rumah bersama Nenek lampir itu. "Gi, kamu sudah pulang?" Suara nyaring nan menyebalkan itu kembali terdengar. Mengapa wanita itu selalu tahu saat Gia datang? Apakah dia tidak punya kegiatan lainnya, selain mengawasi Gia? "Iya." Balasnya tanpa menoleh. "Besok aku mau ajak kamu pergi ke acara arisan. Kamu harus ikut." Kalimat harus yang mengartikan Gia tidak punya pilihan lain, bahkan Gia tidak punya kesempatan untuk menolak. "Aku sibuk," tapi bukan Gia namanya, kalau ia tidak mencoba untuk melawan. "Ayah setuju kamu ikut." Lagi-lagi, Ratna membuat Gia tidak punya pilihan. "Ayah? Memangnya ada hal penting apa yang membuatmu harus melibatkan Ayah." Sindir Gia. "Jangan bilang masalah harta warisan." Gia tertawa samar. "Aku tidak gila harta. Ambil saja semuanya untukmu. Kamu jauh lebih membutuhkannya." "Gia! Jaga bicaramu!" Sentak Ratna. "Jangan bersikap kurang ajar! Aku ini Ibumu!" "Ralat." Balas Gia cepat. "Kamu orang asing untukku. Kamu memang istri Ayah, tapi bukan Ibuku!" Balasnya dengan tatapan sengit. Dan kejadian seperti saat ini lah yang paling ingin Gia hindari. Bukan karena dia takut, tapi Gia jengah dengan segala tuntutan dan aturan Ratna. Wanita itu selalu bersikap seolah Goa adalah anak pembangkang dan sulit dikendalikan. Padahal Ratna yang terlalu berlebihan menerapkan aturan padanya. Gia bukan lagi anak kecil yang harus patuh pada semua ucapan Ratna. Gia sudah dewasa dan memiliki hak penuh atas keputusan yang dibuatnya. Perdebatan kali ini tidak berlangsung lama, sebab Gia memilih pergi sebelum Ratna kembali melontarkan kalimat-kalimat pedas nan menyakitkan lainnya. Gia masuk kedalam kamar, lalu menguncinya dan ia tidak akan pernah keluar kamar lagi, kecuali saat hendak ke rumah sakit untuk bekerja. Oleh karena itulah, Gia selalu pulang dalam keadaan kenyang. Gia hanya butuh tempat untuk tidur, dan satu-satunya tempat yang paling aman dari gangguan Ratna adalah kamarnya. Gia tidak akan mengizinkan Ratna menyentuh kamarnya. Gia menatap pantulan dirinya di cermin, usai membersihkan diri. Ia menyisir rambut panjangnya sebatas punggung dan selalu diikat rapi saat bekerja. Rambutnya masih basah, bahkan aroma harum dari shampo yang dikenakan masih tercium jelas. Usianya sudah tidak muda lagi, tahun ini genap dua puluh delapan tahun. Dia bukan lagi remaja labil, dia sudah cukup umur untuk menikah. Apakah dengan menikah bisa mengakhiri semua penderitaannya ini? Mungkin dengan menikah Gia tidak perlu lagi bersusah payah mencari uang untuk membiayai kehidupannya. Atau bisa jadi dengan menikah ia memiliki teman berbagi dalam segala hal. Atau mungkin juga dengan menikah, suaminya bisa melindunginya dan menyayanginya? Semua itu hanya sebatas kemungkinan. Tapi sedikit apapun kemungkinan itu, setidaknya Gia bisa keluar dari rumah ini dan ia bisa tinggal berjauhan dengan Ibu tirinya. Perjodohan kali ini mungkin salah satu jalan dimana Gia bisa terbebas, tanpa harus mengecewakan Ayahnya. "Baiklah. Bersikap baik, Gi. Jangan biarkan calon suamimu justru ilfil sama kamu!" Ucap Gia pada dirinya sendiri. "Aku akan mengganti namaku menjadi Via Nurbaya." Ia tersenyum samar. *** Rencana pertemuan pukul tujuh malam dengan calon lelaki yang akan dikenalkan padanya lengkap beserta keluarga besarnya. Gia tidak melakukan persiapan apapun. Tapi bukan Gia namanya, kalau ia tidak membuat sedikit kejutan untuk Ibu tirinya. Dari rumah, Gia sengaja memakai pakaian tertutup, tapi saat mereka sampai di lokasi tujuan, Gia membuka jaket yang menutupi tubuhnya. Dan betapa terkejutnya Ratna saat melihat Gia berpakaian sexy dan sangat terbuka. Dress yang dikenakan Gia berbahan satin dengan warna hitam. Kelihatannya sangat simpel dan elegan. Tapi belahan depan dan sampingnya sungguh diluar dugaan. Bagian tubuh Gia terekspos sempurna. Gia memiliki tubuh yang indah, putih dan mulus. Tapi untuk acara perkenalan dengan calon jodohnya sangatlah tidak pantas apalagi malam ini keluarga dari pihak lelaki pun ikut hadir. Gia akan langsung di cap wanita binal jika berpenampilan seperti itu. "Ya Tuhan, Gia!" Saat Ratna hendak berkomentar, saat itu juga beberapa orang yang diyakini sebagai keluarga dari calon jodohnya Gia datang. Ratna hanya bisa menatap Gia tajam, tidak berani mengumpat karena ia harus bersikap manis di depan calon besannya. "Hallo, apa kabar Bu Ayu." Ratna menyapa wanita paruh baya yang terlihat begitu anggun. "Baik, Bu Ratna." Balasnya. Merek saling bersalaman dan berpelukan. Tapi tidak lama, setelah itu Bu Ayu langsung menoleh ke arah Gia. "Ini, Gia?" Tanyanya. "Benar. Ini Gia, putri saya." Ingin rasanya Gia menyumpal mulut Ratna dengan sambal geprek. Beraninya ia mengaku seperti itu! "Cantik sekali!" Puji Ayu. "Gia, Tante." Gia mengulurkan tangannya dan disambut hangat oleh Ayu. "Ayu," balas Ayu "Hadi pasti senang berkenalan dengan kamu." "Hadi?" "Iya, anak Tante. Nah, itu dia datang." Tunjuk Ayu pada seorang lelaki yang baru saja sampai. "Pak Steven?!" Panggil Gia. Ia terkejut bukan main, saat melihat Steven datang. Gia berharap ia salah lihat, atau hanya berhalusinasi saja. Sebab jika benar lelaki di hadapannya adalah Steven, lelaki itu bukan akan menjadi penolongnya, tapi justru akan menjadi masalah baru untuknya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN