"Jangan tatap saya kayak gitu!" Gia merasa tidak nyaman saat Steven menatapnya dengan tatapan yang sulit diartikan.
"Tutup tubuh kamu pakai ini. Nggak enak di lihat." Steven membuka jas yang menutup sempurna tubuhnya. Mungkin bagi sebagian orang yang melihat, perlakuan Steven sangatlah romantis. Tapi sebenarnya tidak.
"Pakaianmu terlalu terbuka, apa bedanya dengan bertelanjang." Lanjutnya lengkap dengan nada sinis.
Gia hanya berdecak kesal. "Saya nggak tahu apa yang membuat Mamah saya langsung menyukaimu, padahal dari penampilan saja." Steven lagi-lagi menatap Gia dengan tatapan menyebalkan.
"Saya juga nggak tahu! Saya juga sudah berusaha untuk menampilkan kesan tidak baik saat pertama kali bertemu keluarga Pak Steven, saya juga nggak mau perjodohan ini berlanjut. Apalagi kalau saya tahu lelaki yang dijodohkan itu, Bapak." Gia tidak mau kalah.
Sejak awal, Gia berharap perjodohan ini tidak pernah terjadi, apalagi setelah tau Ayu adalah teman baik Ratna. Ingin sekali Gia membuat Ratna malu karena tingkahnya. Tapi sayangnya respon Ayu sungguh di luar dugaan. Pakaian sexy yang dikenakan Gia tidak lantas membuat wanita itu mundur, justru Ayu sudah menunjukan tanda-tanda setuju.
Pakaian sexy identik dengan wanita tidak baik, sementara Steven berasal dari keluarga baik-baik dan harmonis. Gia bisa melihat bagaimana Steven bersikap di depan Ibunya, berbanding terbalik dengan sikapnya saat di rumah sakit.
Gia dan Steven memilih meja yang berbeda. Sementara para orang tua memilih duduk sambil bercengkrama.
"Tante boleh duduk disini?" Tiba-tiba saja Ayu datang menghampiri.
"Kenapa, Mah?" Steven sigap, dan langsung mempersilahkan Ayu duduk.
"Mamah mau kenal Gia, tadi cuman sempet kenalam aja." Ayu mengubah posis duduknya dan menatap kagum ke arah Gia.
"Kamu cantik sekali." Puji Ayu, entah sudah keberapa kali wanita itu mengucapkan kalimat pujian yang sama.
"Terima kasih, Tante." Balas Gia sopan.
"Kalian bekerja di satu Rumah sakit yang sama?"
Gia menganggukan kepalanya.
"Setiap hari bertemu?"
Tentu saja dan Gia harus menyiapkan kesabaran setebal kamus untuk menghadapi Steven.
"Iya, Tante."
"Jangan panggil Tante, panggil Mamah aja. Biar sama kayak Steven."
Gia meringis.
"Nanti saja, Mah. Gia pasti nggak nyaman manggil Mamah dengan sebutan itu."
"Mamah nggak sabar, ingin segera melihat kalian menikah."
Gia tersedak!
"Minum dulu, Nak." Dengan sigap Ayu menyodorkan air putih pada Gia.
"Pelan-pelan. Sakit, nggak? Coba periksa dia?" Ayu memerintah Steven untuk memeriksa kondisi Gia.
"Nggak apa-apa, Tante. Hanya tersedak biasa." Gia mengusap bibirnya dengan tisu.
"Sudah lebih baik?" Raut wajah Ayu terlihat khawatir.
"Sudah."
"Maaf, sudah membuatmu terkejut. Tante hanya tidak sabar ingin segera memiliki menantu." Ayu tersipu malu.
"Tante hanya memiliki dua anak lelaki, yang pertama sudah menikah dan memilih tinggal di Australia bersama istrinya. Sementara Hadi," Ayu menoleh dengan tatapan kesal yang dibuat-buat.
"Dia betah menjomblo! Udah tua juga! Keburu nggak laku nanti!" Cibir Ayu.
Siapa juga yang mau jadi istri seorang Steven Hadi Putra si Dokter bermulut tajam! Umpat Gia dalam hati. Tapi ia hanya berani menatap Steven dengan tatapan datar, tidak berani mematahkan hati ibunya yang memiliki sifat kebalikan Steven.
"Kapan main ke rumah Tante?" Sepertinya Ayu benar-benar tidak sabar mengikat Gia.
"Ajak Gia ke rumah Mamah secepatnya! Jangan lama-lama, nanti keburu ditikung cowok lain baru nyaho kamu!"
Gia terkekeh pelan. Rupanya di dunia ini ada satu orang yang ditakuti oleh Steven, yaitu Ibunya. Sejak tadi lelaki itu tidak berani menjawab atau membantah ucapan sang Ibu, ia justru menganggukkan kepalanya, merubah setelan wajahnya yang selalu terlihat menyebalkan menjadi anak baik dan penurut. Luar biasa sekali bukan?
"Nanti kalau Gia ada libur, aku pasti ajak dia ke rumah." Balasnya. Sayangnya Gia akan menyibukan diri dengan banyak hal, agar Steven tidak bisa membawanya.
"Janji ya Gia, harus berkunjung ke rumah Tante. Jangan bohong." Ayu memastikan.
"Iya, Tante." Gia memang tidak menjanjikan dirinya akan mengabulkan keinginan Ayu, tapi melihat bagaimana sikap Ayu padanya membuat Gia merasa diinginkan. Ayu dengan segala kelembutan dan perhatiannya membuat Gia merasa nyaman berada di dekatnya, bahkan hanya dalam hitungan menit keduanya sudah akrab satu sama lain. Ayu adalah sosok ibu yang selama ini Gia rindukan. Steven benar-benar beruntung memiliki ibu sepertinya.
"Kalian boleh pulang duluan, kami masih mau ngobrol-ngobrol. Atau mau kemana dulu juga boleh," Ucap Ayu.
"Iya, Tante. Kami mau pulang duluan aja."
"Antar Gia dengan selamat ya?" Tante Ayu menoleh ke arah Steven dengan senyum penuh arti.
Gia dan Steven pamit pada para orang tua yang masih duduk santai menikmati hidangan. Saat Gia dan Steven mulai menjauh, Gia masih bisa mendengarkan obrolan mereka yakni saat Ratna dengan tidak sabar ingin segera menjodohkan Gia dan Steven.
Wanita itu benar-benar ingin mengusirnya!
"Dimana alamat tempat tinggalmu." Tanya Steven saat keduanya berada di dalam mobil.
"Aku nggak mau pulang," Balas Gia.
"Terus mau kemana? Kencan?"
Gia menoleh dengan tatapan tajam
"Pak Steven kira aku mau ngajak kencan? Daripada kencan lebih baik ke club sama temen-temen!" Balas Gia.
Enak saja lelaki itu berpikir bahwa Gia benar-benar ingin menjalin hubungan dengannya.
"Saya nggak mau antar!" Tegas Steven.
"Nggak perlu, Pak! Saya bisa pergi sendiri!" Gia hendak membuka sabuk pengaman yang sudah melingkar sempurna di tubuhnya.
"Gia, tolonglah! Jangan mempersulit saya!"
"Siapa yang mempersulit Pak Steven?! Saya bilang, nggak mau pulang!"
"Tadi kamu bilang mau ke club!"
"Aku nggak bilang mau kesana!"
"Aku nggak tuli, Gia! Aku dengar kamu mau kesana!"
"Aku bilang lebih baik ke club daripada ngajak Pak Steven kencan! Bapak ini selain emosian juga salah sangka mulu bawaanya."
Steven menghela, "Oke, sekarang kamu mau kemana? Saya harus memastikan kamu selamat sampai tujuan meski itu ke planet pluto sekalipun!"
Gia berdecak, "Saya mau ke rumah temen. Saya kasih alamatnya kalau udah jalan! Dari tadi nggak jalan-jalan ini mobil!" Gerutu Gia.
Akhirnya Steven melajukan mobilnya, dimana Gia pun menyebut nama sebuah apartemen.
"Tau kan jalan kesana? Jadi saya nggak harus nunjukin jalan?!"
Steven hanya menggumam pelan sebagai jawaban, setelahnya mereka sama-sama diam.
Steven tentu tahu alamat yang akan dituju Gia, yakni alamat tempat tinggal Olivia.
Setelah hampir dua puluh menit, mobil Steven sampai di lobi apartemen.
"Siapa yang mau kamu kunjungi?" Tanya Steven.
"Temen!" Jawab Gia singkat, sambil melepas jas Steven yang masih dikenakannya.
"Namanya siapa?"
Gia memutar bola mata, "Harus laporan juga siapa yang aku temui?" Tanya Gia. "Saya kasih tau, namanya Olivia, istrinya Pak Bastian, CEO rumah sakit dimana kita bekerja. Jelas kan?"
Steven hanya mengangkat bahunya acuh. Sementara Gia segera bergegas keluar dan hanya menganggukan kepalanya sebagai bentuk terima kasih.