10. Dulu dia tidak seperti itu

1048 Kata
"Dari Mana Lo?" Tanya Olivia. Sebelum menjawab, Gia terlebih dulu meraih gelas di tangan Olivia dan meminum isinya. "Alkohol, dodol!" Sentak Oliv, sambil mengambil kembali gelas dari tangan Gia karena masih tersisa sedikit. "Lo minum itu kayak minum air aja! Lo bisa disemprot atasan lo, kalau ketahuan!" Gia hanya mengangkat bahu acuh. "Gua lebih baik dimarahi atasan gue, daripada harus di jodohin sama dia." Gia merebahkan tubuhnya diatas sofa. "Apa? Lo dijodohin? Lelaki tidak beruntung mana yang dapat wanita kayak lo!" Oliv terkekeh geli. "Ada juga gue yang nggak beruntung dapat dia!" Balas Gia tidak mau kalah. "Beruntung banget dia dapet cewek tulen kayak gue, perawan pulak!" Oliv semakin tertawa. "Siapa lelaki itu, gue kenal nggak?!" "Nggak tahu pasti lo kenal dia atau nggak. Tapi kayaknya lo pernah ketemu dia di rumah sakit." Olive mendekat. "Siapa?" Ia semakin penasaran. "Jangan kaget, ya?" Gia membuat Olivia semakin penasaran. "Iya. Jawab aja udah! Jangan bikin gue penasaran!" Oliv sungguh tidak sabar. Selama ini Gia memang tidak memiliki hubungan serius dengan seorang lelaki, terakhir kali hubungannya kandas bersama Bayu. Mungkin karena hubungannya dan Bayu hasil dari perselingkuhan, akhirnya tidak berselang lama keduanya memutuskan untuk mengakhiri hubungan. "Emak tiri gue ngajak makan malam, sekaligus mau ngenalin seseorang lengkap dengan keluarga besarnya." Tutur Gia. "Gue kira, dengan menerima perjodohan ini bisa membuat gue keluar dari neraka yang disebut rumah. Nyatanya calon jodoh gue itu nggak lebih menyeramkan dari rumah neraka gue!" Gie menghel. Membayangkan betapa menyebalkannya Steven. Sementara Oliv justru terkekeh, baginya kisah perjodohan Gia jauh lebih menyenangkan daripada kisah hidupnya. "Lo tau lelaki itu siapa?" Oliv menggelengkan kepalanya. "Si batu es Steven!" Gia menghela kasar. "Lo tau, betapa menyebalkannya lelaki itu?! Ralat!" Gia mengangkat satu tangannya. "Bukan hanya menyebalkan tapi dia memiliki semua keburukan yang paling nggak gue suka dari seorang lelaki. Bicaranya pedas, tatapannya dingin dan bikin ngeri, dia mirip vampire yang hendak menggigit mangsanya." Gia begitu menggebu menceritakan keburukan Steven. Dimatanya Steven tidak memiliki satu kebaikan pun, kecuali ketampanannya tentu saja. "Lo datang kesana dengan menggunakan pakaian ini?" Selidik Olive, yang menatapnya dari ujung kepala hingga ujung kaki. Memang tidak ada yang salah dengan penampilan Gia saat ini, Olive pernah melihat penampilan wanita itu jauh lebih buruk dari hari ini, tapi momennya sedikit aneh kalau Gia datang bertemu calon mertuanya dengan penampilan seperti itu." "Iya. Gue sengaja pakai ini." Gie berdiri memamerkan pakaian yang dikenakannya malam ini. "Penampilan lo jauh lebih cocok ke acara pesta pantai sih, daripada bertemu calon mertua. Apalagi first date kayak tadi, lo bakal langsung di cut!" Olivia yakin, respon keluarga Steven akan kecewa dengan penampilan Gia yang super seksi itu. "Rencana awalnya memang begitu." Gia kembali duduk. "Gua mau si Mak Lampir malu, secara dia pasti menceritakan sisi baik gue pada calon besannya. Gue mau dia malu, tapi." Gia menjeda ucapannya untuk mengikat rambut panjangnya. "Lo tau reaksi orang tua Steven kayak apa?! Mereka justru muji-muji gue. Gia cantik, Gia baik, bahkan mereka langsung nanya kapan gue bisa main ke rumah mereka. Gila kan?!" "Tante Ayu ngomong gitu?!" Olivia tidak percaya, meskipun Gia tidak mungkin berbohong. "Gue nggak nyebut nama orang tua Steven, darimana lo tau namanya Ayu?" Mata Gia memicing, menatap penuh curiga. "Lo yang nyebut tadi!" Olivia mengelak. "Masa sih?!" "Iya! Lo aja yang nggak inget. Udah buruan cerita lagi, sampai mana tadi," Olivia berusaha mengalihkan pembicaraan. Beruntung Gia mudah sekali dialihkan fokusnya hingga ia tidak lagi mengungkit darimana Oliv tahu nama orang tua Steven. "Jangan percaya dengan sikap manis mereka, Gi. Bisa aja sikap baiknya itu hanya karena merasa nggak enak sebab kedua ibu-ibu itu berteman baik." "Mungkin. Tapi Tante Ayu itu baik banget. Dia kelihatan ramah dan lembut, nggak seperti anaknya yang justru lebih mirip beruang kutub." Olivia terkekeh. "Lo belum tahu aja kebaikan Steven," "Sorry ya, gue nggak minat sama tuh si batu es." "Jangan begitu, nanti kemakan omongan sendiri loh!" Gia hanya memutar bola mata, lalu kembali merebahkan tubuhnya di atas sofa. Sementara Olivia menghela menatap ke arah Gia. Apa yang diceritakan Gia berbanding terbalik dengan apa yang dirasakannya dulu. Jika saja Olivia mendapat restu, mungkin situasi seperti saat ini tidak akan pernah terjadi. "Lo mau kerja tambahan, Gi?" Olivia memberikan sebuah kertas kecil pada Gia. "Agensi gue lagi butuh model tambahan, lo bisa coba kalau lo mau!" Gia menerima kertas pemberian Olivia. "Kerjanya gimana? Berat nggak? Gue nggak mau yang terlalu mengikat." "Coba aja dulu. Lo bisa tanya-tanya sebelum menyetujuinya." "Bayarannya gimana?" "Lo butuh duit apa kerjaan tambahan yang bisa bikin lo pulang malem sih?!" Olivia yakin, Gia tidak kekurangan uang. Bahkan pekerjaan yang ditekuninya selama ini pun hanya sebuah formalitas semata. "Iya, iya." Gia terkekeh. "Gue mau kerjaan yang mudah-mudah aja, bayaran kecil nggak apa-apa yang penting gue bisa pulang malam ke rumah. Tentu saja setelah tugas gue di rumah sakit selesai." Lanjutnya. "Kalau begitu lo jadi asisten di rumah gue aja. Nyapu, ngepel, cuci baju gue. Bayarannya lo bisa tinggal disini, gimana?!" "Lo mau jadiin gue babu?!" Sentak Gia. "Itu lebih baik, Gi. Kerjanya lebih mudah dan lo bisa datang kapan aja." "Ogah! Kalau gue harus nyuci celana dalam lo!" Cibir Gia, sementara Olivia hanya terkekeh. Gia memilih menghabiskan waktunya di apartemen Olivia, mereka berdua makan dan minum bersama. Sampai akhirnya ponsel Gia berdering. "Ya ampun!" Keluhnya. "Lo mau tahu gimana lelaki es itu marah-marah?!" Gia menunjukan ponselnya dimana nama Steven muncul. "Angkat!" Olivia ingin mendengarnya, atau lebih tepatnya ingin mendengarkan suara Steven. Gia menekan tombol hijau di layar ponselnya, ia juga memasang pengeras suara agar Olivia bisa mendengar suaranya. "Kamu dimana?!" Tanya Steven, setelah sambungan terhubung. "Masih di rumah teman." Jawan Gia dengan nada khas orang mabuk. "Pulang sekarang!" "Oke!" "Saya jemput!" "Nggak usah, saya bisa pulang sendiri." Tolak Gia. "Mamah saya nanyain kamu terus, Gi. Apalagi tahu kamu belum pulang!" "Kita belum menikah, Pak Dok. Saya masih bebas berkeliaran kemana aja!" Gia mendengus kesal. "Saya jemput sekarang dan jangan kemana-mana sebelum saya datang!" Teganya, seolah ucapannya tidak bisa dibantah. Panggilan terputus,. "Lo lihat kan, betapa menyebalkannya dia!" Gia menaruh kembali ponselnya. "Belum jadi istri, bahkan kami belum resmi pacaran dia sudah bersikap sok perhatian." Gerutu Gia. "Gue bisa makin stres kalau deket-deket " Olivia hanya tersenyum samar. "Lo harusnya merasa beruntung, Gi. Dulu dia nggak kayak gitu." "Apa?! Kepala gue pusing." Gia menjatuhkan kembali tubuhnya di atas sofa.. Pengaruh minuman beralkohol sudah mempengaruhi kesadarannya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN