6. Lelaki terakhir

1027 Kata
Dan disinilah Gia sekarang, berdiri di depan meja operator rumah sakit. Seharusnya Gia mengumpat dan menyumpahi Steven, tapi Gia menyimpan energinya untuk hal-hal yang lebih bermanfaat, dibanding berdebat dengan lelaki es itu. "Nggak libur?" Vina datang dengan tatapan aneh melihat temannya yang baru kemarin cedera. "Tanya aja sana sama si beruang kutub." Gia menunjuk dengan dagu, saat Steven lewat. Jangan harap Steven menyapa, menoleh saja sudah lebih dari syukur dan jangan lupa wajah lelaki itu sangat pukulable. "Aku kasihan sama nasib istrinya nanti, jangan-jangan satu hari pasca operasi sesar di suruh kayang sama dia." Gerutu Gia. Sementara Vina hanya tertawa. Untuk saat ini Gia ditugaskan di bagian operator, setidaknya ia tidak perlu mondar-mandir dengan menggunakan tongkat. Meski begitu, tetap saja Gia mengalami kesulitan setiap kali hendak ke kamar mandi atau aktivitas lainnya. "Kamu masuk kerja? Kaki kamu sudah tidak sakit?" Kali ini Gia berpapasan dengan Bastian. Lelaki itu sedikit lebih baik dibanding Steven. "Iya, nih! Saya orangnya workaholic, Pak." Balas Gia. "Memangnya bisa kerja dengan kaki seprti itu?" Tentu saja tidak, batin Gia. "Bisa. Untuk sementara saya pindah ke bagian operator." "Oh, ya sudah. Lanjutkan," "Terima kasih, Pak." Bastian hanya menggumam pelan, lalu pergi menuju ruang kerjanya. Hubungan Bastian dan Gia memang tidak bisa disebut dekat, mereka sudah saling mengenal satu sama lain, tapi hanya sebatas kenal saja. Jarang berinteraksi intens. Dari awal Bastia dan Yuna terjebak dalam cinta sepihak, lanjut dengan Bastian yang tiba-tiba menikahi Olivia, sahabat baiknya. Seharusnya hubungan mereka bisa dekat sedekat Gia dan Oliv, tapi nyatanya tidak. Bastian terkesan menjaga jarak dan jarang berinteraksi, selain saling sapa saat berpapasan. Itu juga hanya sebatas anggukan kepala. Kemarin, Gia terjebak dalam kecelakaan bersama Bastian yang membuat keduanya sedikit mengalami perubahan. Perlu dicatat, hanya sedikit. "Gi, mau makan apa? Aku beliin." Vina menghampiri Gia. Tahu teman baiknya tidak bisa berjalan normal seperti biasa, Vina menawarkan bantuan. "Mau," Gia segera mengambil dompet dari tas kecil miliknya. "Duitnya nanti aja. Mau pesan makanan apa?" "Apa aja asal jangan nasi. Aku lagi nggak mau makan nasi." Vina mengacungkan ibu jarinya, lantas pergi bersama rekan yang lainnya. Jika ia berada dalam kondisi normal, tentu saja Gia akan memanfaatkan waktu istirahatnya untuk membeli makanan atau minuman favoritnya, tapi kali ini ia hanya bisa menunggu Vina kembali dengan tetap duduk di depan meja telepon. Gia hendak mengambil botol minum, tapi sayang isinya sudah habis. Terpaksa Gia pun berjalan perlahan ke tempat dimana air mineral tersedia. Karena belum terbiasa menggunakan tongkat, Gia hanya bisa berjalan secara perlahan. Gia berpapasan dengan Bastian yang saat itu entah hendak kemana, tapi sepertinya sedang buru-buru. Gia hanya menganggukan kepalanya dan tersenyum lantas melanjutkan langkahnya menuju tempat dimana air minum berada. "Sudah tahu sakit, kenapa masih makasa masuk kerja!" Botol minum yang ada di tangannya diambil paksa oleh seseorang yang membuat Gia menoleh dan mendapati Bastian berdiri tak jauh darinya. "Pak Bas, ngapain?" "Bantuin kamu ambil air, memangnya apa.lagi?" "Iya. Aku tahu. Maksud saya, ngapain Pak Bas bantuin saya ambil air." "Saya sibuk, sangat sibuk. Tapi ngeliat kamu jalan kayak keong tuh bikin geregetan. Airnya sudah nih, buruan balik lagi!" Gia mengerutkan kening. "Mau saya antar juga?!" "Nggak! Saya bisa sendiri." Gia bergegas pergi, kembali ke tempat kerjanya. Gia sempat menoleh dan melihat ke arah Bastian, dimana lelaki itu kembali berjalan dengan tergesa menuju pintu keluar. "Kalau sibuk ngapain bantuin, aneh." Gumam Gia. Selang beberapa menit, Vina datang dengan membawa kantong plastik berisi makanan di kedua tangannya. "Gi, nih pesanan kamu." Vian memberikan dua kantong tersebut pada Gia. "Banyak amat. Aku nggak pesen sebanyak ini!" Makanannya terlalu banyak dan Gia tidak mungkin menghabiskannya sendiri. "Dokter Steven yang beliin. Aku udah terlanjur pesan, jadinya ada dua. Kalau tahu Dokter Steven bakal beliin buat kamu, aku batalin deh." Jelas Vina. "Aku nggak salah denger? Dokter Steven yang beliin?" "Nggak. Tuh orangnya datang." Vina menunjuk ke arah belakang Gia, dimana Dokter Steven tengah berjalan menuju ke arahnya. "Dok, makasih ya. Padahal nggak usah," "Saya beliin karena kasihan aja." Balasnya dengan ekspresi datar. "Ah,, iya." Gia meringis pelan, menahan kedua tangannya agar tidak melempar salah satu plastik yang kini berada dalam genggamannya melayang mengenai kepala Steven. Steven menoleh sekilas, lantas kembali berjalan meninggalkan Gia. "Dia makin keren aja, ya nggak sih? Cool banget!" Puji Vina, disertai wajah kagumnya. "Jika didunia ini hanya dia satu-satunya lelaki bujangan, aku lebih memilih ngerebut suami orang." Balas Gia yang langsung mendapat tatapan tajam dari Vina. "Asli! Kamu lebih milih jadi pelakor?!" Gia mengangguk dengan pasti. "Iya! Daripada mati karena kesel hidup bareng dia." "Hati-hati loh, Gi. Doamu bisa aja terjawab." "Nggak apa-apa. Aku aminin sekalian, biar beneran kejadian." Vina hanya berdecak sambil menggelengkan kepalanya. Mungkin saat itu, saat Gia mengucapkan kalimat yang tidak sadar terlontar begitu saja, alam tengah menyiapkan skenario yang luar biasa untuknya. Hingga Gia pun tidak tahu bahwa doa tersebut akan terkabul tanpa diminta ulang olehnya. Jadwal tugas hari ini selesai tepat waktu, tidak ada drama yang membuatnya harus berlama-lama di Rumah sakit. Tapi hal itu juga yang membuat Gia kebingungan. Ia tidak mau langsung pulang ke rumah. "Ah, sialan sih! Kenapa harus cedera!" Umpatnya saat melihat ke arah kakinya yang masih terbalut gips. Biasanya Gia akan menghabiskan waktu bersama teman yang lainnya di salah satu Bar, sebelum akhirnya pulang dalam keadaan mabuk. Tapi saat ini hal tersebut tidak bisa dilakukannya. Tidak mungkin Gia pergi ke Bar dengan kondisi kaki pincang. Selain itu, ia pun tidak mau pulang ke rumah. Lalu ia harus bagaimana? "Mau pulang? Biar aku antar." Lagi-lagi Bastian datang menghampiri. "Pak Bastian ini seneng banget datang tiba-tiba. Bikin kaget aja." Keluh Gia. "Untung aku nggak baper, kalau baler repot urusannya. Datang dan pergi seenaknya aja." Lanjut Gia. "Ayo. Saya antar." "Nggak ah!" Kali ini Gia menolak. "Kenapa?" "Saya nggak langsung pulang ke rumah." "Mau kemana dulu?" "Kemana aja boleh." Jawabnya dengan nada suara jahil. "Aku mau ke apartemen Oliv dulu, Pak. Mau numpang makan." Kening Bastian mengerut. "Kalau cuman mau numpamg makan bisa di apartemenku saja." "Pak Bas ngajak aku ke apartemen? Ingat Pak, saya ini temannya Oliv." "Saya tahu! Kamu pikir saya ngajak selingkuh? Saya cuman menawarkan makan, soalnya tadi kamu bilang mau numpang makan dirumah Oliv." "Oh,, iya juga sih!" "Ayo buruan! Jangan banyak ngomong. Kamu cerewet sekali!"
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN