5. pengusiran berkedok perjodohan

1085 Kata
"Gue iri banget sama lo, bisa-bisanya makan cuman sayuran doang. Udah kayak kambing aja." Cibir Gia, saat dirinya dan Olivia berada di meja makan. "Gue model, Gi. Kalau gue gemuk, siapa yang mau pakai jasa gue." Balaa Olivia. Mereka berdua makan bersama, Gia memilih makanan berat seperti nasi goreng, mie goreng lengkap dengan jus buah. Sementara Olivia memilih salad sebagai menu makan malamnya. "Lo beneran mau habisin semua makanan itu?" Dahi Olivia mengerut, saat melihat Gia hendak memakan mie goreng setelah menghabiskan nasi goreng miliknya. "Niatnya gue beli untuk Mario, tapi dia malah pulang. Jadi sayang kalau nggak di makan. Lambung gue masih bisa nerima ko," Lanjutnya sambil menyendok Mie goreng. "Kali ini gue yang ngerasa iri banget sama lo. Bisa ya, makan sebanyak itu tapi badan tetep kurus." "Nggak kurus, timbangan gue udah mau nyentuh angka lima puluh. Dan Lo harus tau juga, di rumah sakit gue ada setannya jadi gue butuh makan banyak untuk menghadapinya." "Setan? Mana ada setan." "Lo nggak tahu aja, Liv. Ada setan bernama Steven." Seketika Olivia langsung tersedak. "Lo baik-baik aja, kan?" Gia memberikan air minum pada Olivia. "Lo kayak kaget aja pas gue sebut nama Steven, padahal lo tahu kan dia kerja di rumah sakit suami lo." Olivia hanya diam dan perlahan kembali menyantap makanannya. "Kenapa Lo panggil Steven dengan sebutan seperti itu? Dia ada salah sama lo?!" Olivia sangat hati-hati saat menanyakannya. "Dia tuh nyebelin parah! Mana suka aneh-aneh kalau ngatur. Masa, besok gue disuruh masuk kerja padahal dia tahu kaki gue terkilir!" Keluh Gia. "Belum lagi mulutnya pedes banget kayak cabe rawit, untung aja di ganteng, kalau jelek, udah lah parah banget. Judes, aneh, galak, jelek lagi, dah lah nggak bakal laku." Lanjut Gia. Olivia hanya terkekeh pelan. "Aslinya dia sangat baik. Lo hanya menilai dia dari luarnya saja." "Gue nggak niat tuh mengenal dia lebih jauh. Sorry ya, jombo begini gue pemilih." Senyum Olivia makin lebar. "Hati-hati sama omongan lo, Gi. Jatuh cinta beneran tahu rasa!" "Hanya cewek bodoh yang mau sama si Steven." "Gue bodoh dong," "Apa?" Olivia menjejalkan satu sendok penuh sayuran ke dalam mulut Gia. "Nggak usah banyak omong, habiskan makanannya dan gue antar lo pulang." "Gue nggak mau pulang, gue mau tinggal disini aja." "Gue sih nggak keberatan, tapi Emak tiri lo pasti murka." Gia hanya menghela lemah. Jika saja Ayahnya tidak mencintai si Nenek lampir itu, mungkin Gia sudah mengusirnya dari rumah. Hidup berdua bersama sang Ayah jauh lebih baik, dan kehidupan justru seperti neraka saat wanita tua itu masuk kedalam kartu keluarganya dan menggeser status ibunya. "Besok masuk kerja?" Tanya Olivia, setelah ia mengantar Gia sampai di depan rumahnya. "Lo pikir gue punya pilihan lain? Steven pasti neror gue." Jawab Gia, sambil melepas sabuk pengaman yang melingkari tubuhnya. "Ya sudah, sampai ketemu besok. Gue mau pulang ke rumah, mau ketemu Amora." "Dan Bapaknya, iya kan?" Gia menatap jahil. "Bastian nggak pulang ke rumah. Dia punya tempat tinggal lain." Kening Gia mengerut. "Kalian beneran mau pisah?" "Siapa yang bilang? Pasti Mario, kan? Mulutnya memang lemes." Gia berdecak. "Gue bisa lihat sendiri, Ce Oliv. Kalian kayak nggak harmonis, apalagi setelah Amora lahir." "Namanya juga rumah tangga, bukan rumah makan, jadi gue." "Lo beneran mau cerai?" Selidik Gia. "Untuk enam bulan atau mungkin satu tahun kedepan, nggak. Tapi gue dan Bastian udah sepakat nggak tinggal satu rumah." Gia hanya menghela lemah, menatap prihatin ke arah Olivia. "Gue turun, ya? Salam buat Amora," Olivia hanya mengacungkan ibu jarinya, lantas ia kembali melanjutkan perjalanannya. Sementara itu, Gia tidak langsung masuk ke dalam rumah, ia menatap pintu gerbang berwarna hitam pekat yang ada di hadapannya itu. Dulu, rumah adalah salah satu tempat yang paling nyaman setelah satu hari bekerja, tapi saat ini rumah adalah salah satu tempat yang ingin dihindari Gia. Kalau boleh, Gia akan menghabiskan seluruh harinya di rumah sakit dan tidak perlu pulang. Tapi saat ini, entah rumah atau Rumah sakit, keduanya memiliki penghuni yang sama-sama ingin Gia hindari. "Baru pulang?" Langkah Gia terhenti saat suara menyeramkan itu terdengar. Wanita itu selalu tahu saat Gia pulang. "Iya." Jawabnya pelan. "Aku bingung kerja apa kamu ini sampai pulang larut malam. Atau jangan-jangan sebenarnya kamu tidak kerja dan hanya pergi keluyuran saja?!" Senyumnya jelas menunjukkan ejekan. Hampir saja Gia lupa, wanita itu memang tidak pernah tersenyum manis padanya, selain saat Ayahnya ada. "Kakimu kenapa? Ya Tuhan, kenapa perawat bisa pincang? Kamu kerja atau," "Kalau seorang perawat tidak boleh sakit atau celaka, pastinya Dokter akan mati." Balas Gia. "Kalau tidak bisa bersimpati, setidaknya jangan mengatakan hal-hal yang menjurus pada fitnah." "Sudah berani menjawab rupanya. semakin lama, kamu semakin mirip ibumu saja." Kalimat itu kembali terlontar, seolah Ibu nya adalah wanita yang tidak punya kebaikan yang bisa diingat. Padahal Gia ingat betul bagaimana sikap sang Ibu. "Jangan bawa-bawa Ibu!" Sentak Gia. "Kamu boleh menghinaku, tapi tidak dengan Ibu!" "Memangnya kenapa? Ibumu memang seorang," "Gia, kamu sudah pulang, nak?" Terdengar suara Ayah dari arah lain. "Kakimu kenapa, Nak?" Ayah terlihat khawatir saat melihat Gia menggunakan tongkat. "Kakiku terkilir, Ayah." "Dia sangat teledor," Ratna kembali ikut menimpali. "Apa aku bilang, sebaiknya Gia segera mencari jodoh agar bisa merawat dan memperhatikannya. Gia butuh seseorang yang bisa mendampinginya, sayang." Ratna bergelayut manja di lengan Ayah. Rencana perjodohan memang gencar dilakukan Ratna akhir-akhir ini. Gia tahu rencana wanita itu ingin menjodohkannya dengan seseorang, yaitu ingin Gia segera pergi dari rumah itu dan bisa menguasai semua harta milik Ayah. "Bagaimana kondisi kakimu, masih sakit?" Ayah tidak merespon ucapan Ratna, ia mendekati Gia untuk memeriksakan kakinya. "Duduk, biar Ayah periksa." Ayah menarik pelan Gia, agar duduk di salah satu kursi. "Kenapa bisa terkilir?" Ayah memeriksa dengan perlahan dan lembut. "Lift rusak, dan aku terjatuh." "Ya ampun! Itu sangat berbahaya. Tapi beneran nggak apa-apa?" "Hanya terkilir, Yah." Ayah menatap Gia dengan tatapan prihatin. "Hati-hati, Nak." Ayah terlihat sedih. "Namanya juga celaka, mana ada yang tahu." "Iya, tapi kamu harus tetap hati-hati." "Baik, Ayah." Satu-satunya alasan Gia bertahan di rumah ini hanya karena Ayah. Ayah begitu mencintainya, kasih sayangnya tidak pernah berubah. "Aku punya kenalan, dia memiliki anak bujang yang sudah matang dari segi usia dan karir. Sepertinya sangat cocok untuk Gia." Ratna kembali menghampiri dengan membawa segelas air hangat. Sikapnya akan langsung berubah saay Ayah ada di dekat Gia. Tapi ia akan kembali menunjukan sifat aslinya saat Ayah tidak ada. "Tidak perlu terburu-buru, Gia dan lelaki itu bisa saling mengenal satu sama lain." Lanjutnya mencoba meyakinkan. "Kamu mau dikenalkan dengan anak teman Mamah Ratna?" Tanya Ayah. "Ayah, aku." "Kamu sudah dewasa, Gi. Sudah seharusnya mencari pasangan hidup." Gia berdecak kesal. Mengusir dengan cara mencari jodoh.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN