1. Kesialan Bertubi
“Kenapa hari ini kacau sekali?” Gadis itu mendumel, bersandar pada dinding lift. Malam sudah larut tapi dirinya baru bisa pulang. Rambutnya acak-acakan. “Apa aku tak perlu membela diri? Yang salah itu mereka, kenapa aku yang kena sial? Orang selingkuh memang menyebalkan!” Dengkusnya kasar, jijik dengan perilaku itu.
Pintu lift terbuka, dengan enggan dia melangkah keluar dari sana, berjalan gontai ke sebuah pintu unit apartemen di lantai itu. Tubuhnya lelah, pikirannya kacau, tampilannya berantakan. Gadis itu membuka pintu setelah memasukan password dan suara klik terdengar pintu pun terbuka.
Kedua matanya terpejam, ototnya sakit, tubuhnya remuk dalam benak dan hati menikmati berendam di air hangat pasti bisa rileks. Namun, pikiran itu buyar begitu saja saat mendengar suara aneh yang saling bersahutan. Dahinya mengerut dalam, dia menajamkan telinganya demi mendengar suara itu semakin jelas.
“Dari dalam kamar?” Dia berpikir dan langkahnya menuju ke sana. Telinganya terbuka, mendengar baik-baik suara aneh itu walau sekujur tubuhnya terasa begitu merinding.
“Ugh! Enak sekali ini. Uh, kau nikmat, sayang. Tapi … sial, kenapa ini masih saja begini?”
Gadis bernama Helva Williana itu mematung di dekat pintu kamar yang yang sedikit terbuka, dari celah itu dia melihat pergerakan yang samar di atas ranjang.
“Uh! Hati-hati, sialan! Sakit!” Rintihan suara wanita itu semakin membuat tubuhnya mematung.
“Kenapa ada suara wanita?” Helva bertanya dan satu pikiran itu terlintas, kekasihnya! “Tidak mungkin!” Tubuhnya lemas tapi dia menolak pergi dan memilih diam di dekat pintu mendengarkan percakapan aneh.
“Aku sudah melakukannya dengan hati-hati, sayang. Tapi milikmu itu sempit sekali. Milikku jadi kewalahan.”
Helva bisa mengenali suara itu, kekasihnya. Kedua tangannya mengepal.
“Hei! Sssh! Ah … ugh. Pel-an se-dikit!” Rintihan diselingi desah tertahan itu membuat air mata Helva menggenang. Rasa sesak menyeruak ke dadanya.
“Oh! Ah! Aku … ayo gerak, lebih cepat, cepat sedikit aku akan … ah!”
Helva memejamkan matanya. Dia yang membenci perselingkuhan dan percaya pada kekasihnya tapi justru dia sendiri yang diselingkuhi. Padahal, Helva selalu di depan saat teman-temannya menjadi korban perselingkuhan kekasih mereka itu.
“Shh! Faster! Cepat! Aku … oh!”
“Sshh. Sal … sempit, aku kesulitan.”
“Lakukan saja, bego! Jika kekasihmu itu tiba-tiba datang, bagaimana? Apa yang harus aku lakukan?”
“Memangnya apa? Ya, mengaku?”
“Nghh … gak usah gila! Ah! Dia ituhhh temanku. Bagaimana mungkin aku mengkhianatinya?”
“Hei, dengan kita sering bermain seperti ini, bukankah itu sudah mengkhianatinya, huh? Lagi pula, siapa yang mau bersama Helva yang kacau?”
Napas Helva tertahan mendengar perbincangan yang diselingi suara yang memuakkan itu.
“Tapi tetap sajah. Kau harus … aw! Sakit!”
“Hehe. Sorry, nggak sabar, Sal. Kau sempit sekali, serius. Aku sedikit lagi sampai.”
“Iya, iya. Cepat saja lakukan. Setelah itu aku akan pulang sebelum Helva pulang.”
“Iya, Salsabila, Sayang. Akuh tau. Tapi … .”
“Tapi apa? Lakukan saja dengan cepat. Tegang sekali rasanya. Aku takut ketahuan.”
“Tapi kita udah —”
“Cepat saja sialan! Kau harus mendapatkan tabungan itu sebelum kita ketahuan Helva.”
Helva yang mendengar hal itu semakin menahan napasnya. Ah, tidak sia-sia dia belajar renang saat sekolah SMA dulu dia belajar menahan napas di dalam air untuk beberapa menit.
“Iya, Sayang. Ini aku akan … puncakhh.”
Helva bergerak tanpa sadar saat terdengar lenguh panjang dari dua manusia gila yang tengah b******u di dalam sana. Sialnya lagi di dalam kamar Helva sendiri. Dia menjadi jijik dengan kamar itu padahal seluruh barang di dalam sana miliknya, yang dia beli dengan uangnya sendiri.
Prang!
Suara benda jatuh yang nyaring tak hanya mengagetkan Helva tapi juga dua manusia yang tengah mencapai puncak kenikmatan di dalam sana. Mereka terkejut bukan main yang membuat si pria segera mencabut miliknya dari si wanita yang berbaring di atas kasur, dalam kungkungan hasrat pria yang merupakan kekasih Helva itu. Si wanita yang tengah merasakan mabuknya kenikmatan seperti tak rela kegiatannya diganggu begitu saja padahal dia meminta untuk cepat tadi.
“Helva?” Suara itu memanggil dengan panik.
Helva yang mematung di tempatnya karena benda jatuh itu adalah pigura dirinya bersama sang kekasih, kacanya hancur, bingkainya patah karena tersenggol Helva dari rak televisi di dekat pintu kamarnya. Dia kemudian menoleh. Pria itu mengenakan boxer hitam polos.
“Apa yang kau lakukan di sini?” tanya pria itu.
Langkah Helva mundur dan menghadap pria itu lantas tertawa sinis.
“Apa-apaan tanyanmu itu? Ini rumahku, sialan! Bisa-bisanya kau b******u di rumahku bahkan di dalam kamarku. Menjijikan!” katanya marah.
Melihat kemarahan Helva, pria itu tiba-tiba melunak. Dia mengangkat tangan. “Oke. Sorry. Aku khilaf, Hel. Tadi itu —”
“Nikmat!” Sela Helva tajam. Kedua matanya menyorot bak laser.
“Bukan gitu, Hel. Aku —”
“Katakan saja, kenapa sih?” Wanita itu muncul sambil menutupi tubuhnya dengan selimut tebal milik Helva.
“Hei, Sal?” Pria itu negur.
“Ah, ternyata begitu. Kau munafik, Sal. Bilang tidak, padahal iya. Kau bahkan meminta aku untuk menjauhi b******n ini hanya karena dia seorang pecundang demi mendapatkannya, begitu?” Helva menyindir sinis.
Salsabila tampak tak lagi berakting. Dia menanggalkan sikapnya sebagi teman dan balas menatap Helva.
“Memangnya kenapa? Toh, kau sama sekali tidak bisa memuaskan dia. Kau tak tahu apapun soal hasrat, Hel. Jadi nggak usah sok suci padahal kekasihmu menderita.”
“Oh, jadi kau membantunya, begitu? Hebat!” Helva memuji sarkas. Senyumnya muncul sekilas lantas kembali menghilang dan menatap pria itu. “Kita putus, sialan! Nikmati saja goa sempit itu daripada setia padaku,” katanya tegas.
“Tapi Helva, aku —”
“Jangan harap tabungan nikah kita akan aku berikan padamu. Mimpi! Tabungan itu milikku jadi akan aku bawa.”
Kedua manusia busuk itu mengubah raut wajahnya menjadi tak terima. Salsabila berang, si pria itu pun sama, tidak terima.
“Jangan gila, Helva!” Mata pria itu nyaris keluar. Marahnya bukan karena Helva memutuskan hubungan, tapi karena uang tabungan pernikahan yang mereka rencanakan berdua itu dipegang Helva. Jumlahnya memang tidak seberapa tapi itu cukup untuk membeli satu unit apartemen dan satu buah kendaraan roda dua.
Helva tertawa hambar. Tangannya menyugar rambut, satu tangannya berkacak pinggang. Mendengar dan melihat reaksi mereka sungguh membuat Helva tak percaya kalau dia telah dikhianati. Keduanya hanya berpura-pura baik karena ada maunya. Menyebalkan sekali.
“Aku memang gila. Lantas kenapa? Kau tahu hidupku hancur tapi kalian malah semakin membuatnya hancur. Kalian tidak tahu apapun tentang aku yang berusaha mendapatkan uang bukan hanya untuk berteduh tapi juga untuk ibuku. Dia —”
“Alasanmu terlalu basi, Helva! Itu bikin kami muak. Kau miskin tapi sok kaya,” kata wanita itu yang merupakan temannya.
Helva bungkam.
“Udahlah. Daripada kau hamburkan uang itu buat sesuatu yang tak berguna, berikan uang itu.” Si wanita meminta sudah seperti rentenir penagih utang saja padahal uang itu full milik Helva.
Tawa itu mengudara, tatapannya tajam dan katanya sinis, “jangan harap! Lanjutkan saja cumbuan gila itu sampai kalian puas! Aku harus pergi karena mendengarnya saja membuatku muak. Rasanya mau muntah!”
Dia berbalik.
“Uangnya, Helva!” Wanita itu berteriak tidak terima.
“Uangku! Ambil saja punya dia!” Helva menjawab tanpa membalik badannya dan memilih pergi begitu saja dengan hati yang patah dan hancur.
Sialan sekali dunia!
Tapi sekali lagi langkah kakinya terhenti di lobi apartemen ketika ponsel bututnya berbunyi. Ada satu nama tertera di layar. Jantung Helva berpacu lebih cepat melihat nama di penelepon.
“Ibumu masuk ICU!”
Seluruh tubuh Helva rasanya tak bertulang ketika mendengar kabar itu. Dengan sekuat tenaga dia berlari dari sana, mengabaikan rasa sakit di dadanya, rasa sakit di kakinya. Yang dia pedulikan hanyalah, ibunya. Oh, kenapa kesialannya bertubi?