Kamu cantik!

1090 Kata
Tanpa sepengetahuan sang adik, menjelang sore hari Anna memeriksakan kandungan diam-diam ke dokter kandungan di Rumah Sakit tempat Valda bekerja. Sang kakak tahu dimana adiknya di tempatkan sehingga ia yakin Valda tak akan memergokinya. Ia melakukan ini semua karena tak ingin terus menerus merepotkan adik kecilnya terutama dalam masalah keuangan. Anna tahu betul bahwa selama ini Valda adalah adik terbaik yang Tuhan beri padanya. Valda bahkan tak tanggung-tanggung membiayai hidup Anna setelah puan itu resmi menjadi pengangguran saat mengetahui dirinya hamil. Saat ini, Anna sedang menunggu antrian untuk diperiksa oleh Dokter Kandungan dengan sisa uang dari tabungan. Sembari duduk di bangku tunggu khas rumah sakit, netranya sesekali melirik ke setiap sudut ruang tunggu khusus pasien ibu hamil. Betapa pedihnya hati Anna tatkala melihat kebanyakan ibu hamil yang sedang menunggu dengan ditemani oleh pasangannya masing-masing sedangkan ia hanya seorang diri. Tak lama lamunannya pun buyar ketika seorang perawat memanggil namanya untuk giliran periksa. Beberapa saat kemudian. "Silahkan duduk, Nyonya Anna Claire," pinta sang dokter kandungan tanpa melihat ke arah Anna karena masih berkutat dengan dokumen di hadapannya. Anna pun manut dan segera mengambil posisi duduk. "Ada yang bisa saya—" Kalimat sang dokter terjeda sesaat setelah melihat ke arah Anna. "Kamu ... Anna Claire alumni SMA Gloria?" tanya dokter dengan nada antusias disertai raut sumringah. "Kok, dokter tau? Apa kita pernah satu sekolah?" "Ini aku, Devan Satya. Kakak kelas. Inget, gak?" tanya sang dokter lagi. Untuk sesaat, Anna benar-benar tak ingat siapa Devan. Jangankan kakak kelas, teman seangkatan saja sudah banyak yang terlupa karena masa SMA sudah 10 tahun berlalu. Duh gimana ngomongnya, ya? Masa to the point bilang kalau dulu aku kakak kelas yang ngejar dia. Aku takut dia gak nyaman, Devan membatin penuh khawatir. "Oh, aku inget! Kak Devan yang dulu kecebur di rawa sekolah itu bukan?" "Hee? Uhm ... i-iya." Devan mendadak malu sekaligus pasrah saat Anna menyadari kejadian memalukan yang ia alami di masa lalu. "Woah, Kakak jadi dokter kandungan sekarang? Hebat banget," puji Anna mengulas senyum sumringah. "Iya, makasih, An. Kamu juga tambah cantik," Seketika, gelagat Anna berubah salah tingkah karena pujian Devan. Dia baru ingat bahwa dulu Devan adalah kakak kelas yang suka padanya di masa SMA. Anna remaja terkenal sangat cantik dan menjadi primadona sekolah. Sedangkan Devan hanyalah kakak kelas culun yang mrnyukai mata pelajaran biologi, kurang bergaul, dan tidak modis. Namun jika ditakar, perasaan Devan lah yang paling tulus di antara semua laki-laki yang mendekati Anna saat itu. Di sisi lain, basement Rumah Sakit. Hari pertama bertugas di Bangsal VIP terpaksa Valda jalani karena ia tidak ingin menggangu momen Reiner dengan Salma. Namun, besok dirinya berjanji akan kembali menemui Reiner untuk membicarakan perihal pembatalan pindah tugasnya. Mood Valda pun bertambah kesal sekarang ketika ia harus turun melalui tangga manual menuju parkiran basement tempat scuter matic kesayangannya terparkir imbas lift sedang di-maintenance. Sebelum sampai ke basement parkiran motor, Valda terlebih dahulu melewati tempat parkir khusus mobil. Secara tak terduga, ekor matanya manangkap sebuah pemandangan yang tak asing. Ia pun terhenti untuk memastikan apa yang dilihatnya. "Itu bukannya ... Salma?" gumam Valda seraya melihat ke arah sepasang pemuda-pemudi yang salah satunya adalah Salma. Gadis itu tidak dapat melihat jelas siapa pria yang bersama Salma karena sosok si pria dalam posisi sedang membelakangi. Tiba-tiba saja adegan dari pasangan itu membuat Valda tercengang dan membulatkan netranya lebar. Bagaimana tidak, kali ini ia menyaksikan sosok Salma sedang berciuman mesra dengan si pria. Sontak Valda memutar tubuhnya untuk mengalihkan pandangan karena merasa malu. Ergh! bisa-bisanya Pak Reiner sama tunangannya ciuman di tempat umum. Kayak gak ada tempat lain aja, gerutunya dalam hati. "Valda. Kamu lagi ngapain?" tanya Reiner yang tanpa Valda sadari sudah berdiri di hadapannya. "Lho, Pak Reiner kok ada di depan saya?" "Oh, saya kebetulan lewat tangga mau ke parkiran karena lift lagi maintenance." "Hah?" Mata Valda melotot tak percaya. Kalau bukan Pak Reiner terus siapa yang lagi ciuman sama Salma sekarang? Mana lagi siaran live pula. "Val? Valda? Halo." Reiner melambaikan tangan tepat di depan wajah Valda yang terbawa lamunan dadakan. Gak, gak! Pak Reiner gak boleh liat ini. Kasian banget kalau sampai tau tunangannya ciuman sama cowo lain. "Pak Reiner! sini dulu, deh!" ajak Valda sembari menarik lengan Reiner untuk bersembunyi dibalik pilar besar penyangga bangunan basement. Tanpa aba-aba, Valda memojokkan tubuh tinggi Reiner ke salah satu tembok pilar sedangkan dirinya sesekali memantau adegan ciuman Salma dengan pria lain yang nampaknya masih berlangsung disana. Namun, tanpa Valda sadari aksinya itu malah membuat jarak dirinya dan sang wakil direktur sangat dekat. "Valda." panggil Reiner lembut. "Hmm." Valda menjawab singkat tanpa melihat ke arah Reiner yang berada tepat di hadapannya. Pandangannya masih sibuk memantau adegan panas Salma dan pria misterius. "Kamu cantik." DEG! Jantung Valda spontan berdegup kencang sesaat setelah mendengar pujian dari Reiner. Netra keduanya lalu terkunci satu sama lain. Namun kali ini dari jarak beberapa inci saja. Tak ingin terbuai, Valda cepat-cepat mengerjapkan mata dan memberi bogem mentah di lengan Reiner, spontan mundur menjaga jarak aman. "Kok saya dipukul, si? Mana lumayan sakit," keluh Reiner seraya menggosok cepat lengan yang terkena pukulan Valda. "Saya curiga kamu petarung tinju berkedok perawat," tambahnya lagi meledek. "Abisnya, Pak Reiner muji-muji. Udah punya tunangan juga." Giliran Valda yang menyemprot Reiner. "Tunangan? Emang kamu gak liat tunangan saya sibuk cium*n sama cowo lain?" Valda terkesiap. Ucapan Reiner sukses merubah mood yang tadinya marah kini berbalik simpati. Ia bahkan meminta maaf jika berusaha menyembunyikan apa yang dilihat karena tak ingin menyakiti hati Reiner. So sweet banget si Val, pake mau lindungin saya. Ada juga saya yang gak sabar pingin lindungin kamu, Reiner bergumam bangga dalam hati. "Ikut saya, yuk!" ajak Reiner. "Hah? Kemana?" "Bukannya tadi pagi kamu masih mau ngobrolin soal mutasi?" "Ya tapi gak sekarang juga. Udah sore banget. Besok aja di ruangan bapak," tolak Valda yang sebenarnya tak ingin menunda pembahasan mutasi. Sang gadis hanya berkelit dan berusaha menjauh dari Reiner imbas momen canggungnya barusan. "Yaudah kalau gak mau. Besok saya ada meeting di luar seharian. Dan besoknya lagi bakalan ada pertemuan penting. Jadi sementara nunggu saya, kamu akan tetap bekerja sesuai SK," terang Reiner panjang lebar dengan nada cepat. "Eh, iya mau, deh. Tapi kita mau bahas dimana?" tanya Valda penuh antusias, tidak ingin kehilangan kesempatan. Tak merespon dengan perkataan, Reiner malah merengkuh tangan jemari Valda dan menggiringnya untuk mengikuti langkah Reiner menuju mobil milik sang wakil direktur. Merasakan jemarinya digenggam tiba-tiba, rona merah di Valda sontak menguar. Ingin sekali tubuh berontak, akan tetapi hati melakukan sebaliknya. Reiner benar-benar menggenggam jemari Valda seolah gadis itu kekasihnya. Sang puan pun tak bisa berkutik.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN