"Sumpah, baru kali ini gue ngerasa betah diem di kelas. Kenapa dia Cuma ngajar kita tiga SKS sih? Kenapa gak full dua puluh empat SKS aja sekalian?" cerocos Wulan saat mereka keluar dari kelas menuju kantin.
"Loe yakin semua materi yang dia kasih sampai ke otak loe?" tanya Gilang dengan suara jutek.
"Yakin lah!" jawab Wulan dengan bangganya. "Malah gue yakin, kalo dia ngajar di semua mata kuliah, gue bisa lulus dengan IPK empat koma nol nol dengan banyak pujian." Lanjutnya dengan nada bangga.
Silvania hanya menjawab ucapan sahabatnya itu dengan gelengan kepala. Ia sendiri tidak yakin kalau Wulan bisa lulus dengan IPK diatas tiga koma lima. Bukan meremehkan kecerdasannya, tapi sahabatnya itu jelas terlalu bersantai dengan semua mata kuliah dan ujian-ujiannya. Dia selalu berkata bahwa dia tidak punya niatan untuk belajar. Dia kuliah karena terpaksa sebab ayahnya yang memaksanya.
Mereka telah sampai di kantin yang isinya didominasi oleh mahasiswa dan mahasiswi dari kelas mereka sebelumnya. Dan kembali, yang Silvania dengar dalam pembicaraan di kantin adalah pujian dari para mahasiswi tentang sosok dosen baru mereka yang tampan, macho dan blah blah blah lainnya yang membuat Silvania sebenarnya muak mendengarnya.
Silvania merogoh ponselnya yang ia simpan dalam tas selempangnya saat merasakan benda pipih itu bergetar. Betapa terkejutnya ia kala melihat pesan yang masuk adalah pesan yang berasal dari pria yang baru saja mengajar di kelasnya. Silvania sebenarnya malas untuk membuka pesannya, namun karena takut yang ingin disampaikan pria itu penting, ia membuka aplikasi chat nya.
Uncle Rese : Matkul terakhir kamu selesai dua jam lagi. Tunggu di halte, kita pulang bareng.
Silvania mengerutkan dahi. Ia jelas ingin marah, namun ia berusaha untuk menahan diri. Bagaimana bisa pamannya itu tahu jadwal mata kuliahnya? Apa pamannya menggunakan kekuasaannya sebagai dosen untuk mengintip data dirinya? Kalau iya, apa pamannya itu melihat semua nilai-nilainya? Bukankah itu tidak sopan? Apa pria itu akan meledeknya jika nilai Silvania jelek?
Tapi tidak, semua nilai semester satu Silvania jelas sempurna. Batinnya bangga. Pertanyaannya sekarang adalah, kenapa Silvania harus pulang dengan Rayyan? Bukannya ia sudah punya Pak Jamil yang terbiasa mengantar dan menjemputnya?
Ya, sejak tinggal dengan keluarga Lucas-Gisna, Silvania memang tidak diijinkan untuk naik kendaraan umum. Entah itu ke kampus, ke rumah teman atau ke Mall, mereka mewajibkan Silvania pergi dengan mobil dan supir pribadi.
Silvania tidak menerima itu pada awalnya. Alasan pertama dia merasa malu jika harus merepotkan orang lain, karena adanya supir pribadi itu berarti dia membuat orang lain akan menunggunya. Tapi Oma Gisna berkata kalau Silvania bisa menghubungi pak Jamil tiga puluh menit sebelum urusannya selesai jika tidak mau pria menjelang paruh baya itu menunggu.
Alasan lainnya ia enggan punya supir karena ia ingin bebas. Ia sudah membujuk semua orang kalau dia bisa menggunakan transportasi umum. Bahkan orang tuanya sudah membebaskannya untuk itu, karena bagi mereka itu merupakan salah satu bentuk kemandirian Silvania. Namun Oma Gisna dengan tegas menolak gagasan itu. Silvania tidak diperbolehkan menggunakan transportasi umum dengan alasan keselamatan.
Mengalah, Silvania akhirnya harus menerima kala ia diperkenalkan dengan Pak Jamil. Seorang pria yang sudah mengabdi pada Opa Lucas selama dua puluh tahun lamanya.
Kembali teringat pada pesan pamannya, Silvania menjawab.
Silvania : Udah ada Pak Jamil, kenapa harus pulang sama Uncle?
Uncle Rese : Pak Jamil diare, dia pulang duluan!
Jawaban yang membuat Silvania memandang layar ponsel dengan mulut membulat. Diare? Benarkah? Atau itu hanya alasan yang dibuat pamannya?
"Kenapa? Siapa?" tanya Wulan ingin tahu seraya melirik ponsel Silvania. Dengan terburu-buru Silvania memasukkan ponselnya ke dalam tas karena takut Wulan tahu siapa orang yang chat dengannya.
"Bukan siapa-siapa, cuma orang rese." Jawabnya datar. Mereka menghabiskan makanan mereka dan kembali berjalan ke arah gedung untuk bersiap dengan mata kuliah selanjutnya.
Silvania melirik jam di tangannya. Dia benar-benar kesal. Setelah sebelumnya mengirim pesan pada Rayyan kalau dirinya akan melakukan sholat Ashar di masjid kampus, pria itu balik membalas pesannya bahwa dia akan menjemput Silvania di halte.
Ya Allah, padahal parkiran kampus dan masjid itu hanya berjarak beberapa meter tapi pamannya yang rese itu malah menyuruhnya untuk berjalan ke halte yang jaraknya jauh.
Silvania ingin marah, tapi ia tahu kalau itu akan membuat pamannya bahagia. Ia bahkan ingin melempari pamannya itu dengan buku yang ada di tangannya saat melihat pria itu berbincang dengan mahasiswa senior di masjid.
Silvania melirik jam tangannya, sudah lima menit yang lalu ia sampai di halte. Setelah perjalanan panjang dari masjid ke halte, belum lagi cuaca yang sedang terik-teriknya dan juga arus lalu lintas yang padat dan kursi halte yang sudah penuh dan tak mengijinkannya duduk membuat Silvania haus. Ia merogoh tas nya dan mendesah lelah saat botol air minum yang dibawanya dari rumah sudah tandas.
Ya, kemanapun ia pergi Silvania memang dibiasakan untuk membawa air dari rumah atas perintah ibunya. Hal itu dilakukan sebagai tolak ukur banyaknya air putih yang dia konsumsi dalam sehari. Kenapa harus bawa botol air yang berat kemana-mana padahal banyak supermarket atau pedagang yang membelinya. Alasannya sederhana, karena tidak terpantau. Karena Silvania terbiasa mengonsumsi minuman dingin dan manis dan itu membuatnya lupa minum air putih, sehingga ibunya memaksanya untuk membawa botol sendiri dan botol itu akan dilihatnya saat Silvania kembali.
"Minum manis boleh, asal imbangi dengan air putih." Itulah wejangan yang selalu ibunya berikan padanya dan juga adik-adiknya. "Kesehatan ginjal itu penting." Lanjutnya saat Silvania ataupun adik-adiknya menolak untuk membawa botol air. Tapi masih bisa dikatakan beruntung karena Silvania hanya perlu membawa botol minum berukuran tujuh ratus lima puluh mili. Bayangkan kalau ibunya menyuruhnya membawa botol berukuran satu setengah liter atau bahkan dua liter untuk menyesuaikan kebutuhan cairan hariannya?
Silvania melirik pedagang asongan yang menjajakan minuman yang duduk di sisi lain halte. Ia benar-benar merasa haus dan ingin membeli air mineral dari pria tersebut. Ia hendak mendekati pria bertopi itu dan membeli air mineral sebelum sebuah mobil yang tidak dikenalnya berhenti di depannya dan membuka jendela penumpang.
"Masuk!" perintah pria berkemeja yang duduk di belakang kemudi dengan kacamata gelap bertengger di atas hidung mancungnya. Silvania mengerutkan dahinya bingung. Merasa bimbang apakah harus berjalan pada tukang asongan atau masuk ke dalam mobil pamannya. "Ayo cepet, panas ini!" gerutu pria itu lagi yang membuat Silvania mencebik. Dengan kesal Silvania berjalan mendekati mobil dan meraih pintu bagian belakang, namun belum sempat ia meraih pegangan pintunya, sebuah suara terdengar. Rayyan mengunci pintu otomatis dari dalam. "Kamu pikir uncle ini Pak Jamil. Di depan!" perintah pria itu lagi yang membuat Silvania memberengut kesal dan mengalihkan tangannya pada pegangan pintu penumpang bagian depan.
Rayyan mungkin menduga kalau selama ini Silvania suka duduk di belakang supir mengingat statusnya sebagai majikan dan Pak Jamil sebagai supirnya. Tapi tuduhan Rayyan padanya sebenarnya salah. Kecuali naik taksi online, Silvania terbiasa duduk di samping supir, siapapun pemiilik atau pengemudi mobilnya. Termasuk Pak Jamil. Ia tidak mau membedakan status orang sebagai supir atau apa. Tapi Rayyan itu kasus spesial, ia tidak terlalu nyaman duduk di samping pria itu karena berdekatan dengan Rayyan membuat Silvania merasa risih. Itulah sebabnya tadi ia ingin duduk di bagian belakang. Supaya ia tidak berdekatan dengan pria itu.
Silvania menarik seatbeltnya berbarengan dengan Rayyan yang menutup kembali jendela dan menguncinya secara otomatis. Pria itu menyalakan AC mobil dengan suhu secukupnya dan mulai melajukan mobil.
"Sisi haus, apa kita bisa beli minuman dulu?" tanya Silvania dengan nada penuh permohonan. Tanpa memberikan komentar apapun, Rayyan mengulurkan tangannya ke samping kiri, membuka tempat penyimpanan dan mengeluarkan air mineral dalam kemasan botol kecil. Silvania melirik botol dan Rayyan bergantian.
"Tadi katanya haus." Komentar Rayyan saat Silvania tak juga mengambil botol air. Silvania mengulurkan tangannya dan tak sengaja tangannya bersentuhan dengan tangan Rayyan yang hendak mengoper gigi. Sekalipun hal itu hanya terjadi dalam hitungan sepersekian detik, entah bagaimana Silvania merasa ada aliran listrik yang aneh saat kulit mereka bersentuhan.
Ia berusaha untuk tidak menyentak tangannya dan mengambil botol. Tubuhnya kembali menegak ke depan sebelum ia membuka tutup botol tersebut dan meneguknya sampai hausnya dirasa benar-benar hilang.
"Udah?" tanya Rayyan yang dijawab Silvania dengan anggukkan. Pria itu kemudian mengulurkan tangan kirinya pada Silvania, membuat Silvania mengerutkan dahi. "Uncle juga haus." Katanya seraya mengambil botol dari tangan Silvania dan kemudian meneguknya sampai air dalam botol tak tersisa sementara Silvania yang terkejut hanya bisa memandang pria itu dengan mata yang tak berkedip.
Silvania mengalihkan wajahnya begitu saja ke sisi kiri mobil. Entah kenapa, jantungnya tiba-tiba saja berdebar kencang dan wajahnya terasa panas. Itu hal biasa. Gumam Silvania dalam hati. Entah kenapa, melihat Rayyan minum dari botolnya membuat otak Silvania tiba-tiba melintaskan kata 'Ciuman tak langsung'. Padahal dia tidak pernah memikirkan kata-kata seperti itu saat Wulan atau Gilang berbagi sedotan atau gelas yang sama dengannya.
Silvania menoleh saat merasakan senggolan di lengan kanan atasnya. Rayyan menyerahkan kembali botol minuman kosong ke tangan Silvania yang membuat gadis itu kembali mengernyitkan dahi. "Ngapain ngasih Sisi botol kosong?" tanya Silvania dengan nada ketusnya.
Rayyan balik melirik ke arahnya dengan sebelah alis terangkat sebelum kemudian berkata. "Tutup balik, remas, trus nanti kalo lihat tempat sampah kamu buang, Cici sayang." Jawab Rayyan dengan nada mengejek yang malah membuat Silvania merasa gugup kala Rayyan menyebutnya dengan kata 'Sayang'.
"Sisi bukan Sayang-nya Uncle." Decih gadis itu yang dijawab kekehan Rayyan. "Lagian kenapa sih Uncle masih panggil Sisi pake Cici segala. Sisi gak suka." Keluhnya yang lagi-lagi dijawab kekehan Rayyan.
"Lah, kan dulu kalo kamu ditanya 'anak manis, siapa namanya'" ucap Rayyan dengan nada ibu-ibu yang menggoda anak balita. "Kamu selalu jawab 'Cici tante', begitu."
"Iya, tapi itu kan karena dulu Sisi masih kecil dan cadel. Uncle kan gak cadel, jadi kenapa mesti ikut-ikutan begitu?" tanyanya masih dengan nada tak suka.
Rayyan mengedikkan bahu. "Suka aja." Jawabnya datar. "Cici Sayang." Lanjutnya kembali dengan nada menggoda.