Part 7

1592 Kata
Mereka sampai ke kediaman orangtua Rayyan tak sampai setengah jam. Setelah mengucap salam dan mencium punggung tangan orangtua Rayyan, Silvania memilih untuk masuk ke kamarnya. Rayyan yang juga melakukan hal yang sama kini mengekor di belakangnya karena memang kamar pria itu berada di lantai yang sama dengannya. "Bikinin sambal Cibiuk ya." Pinta Rayyan tepat sebelum Silvania membuka pintu kamarnya. "Kenapa minta sama Sisi?" tanya Silvania seraya kembali membalikkan tubuhnya menghadap Rayyan yang ternyata sudah membuka pintu kamarnya. "Ya karena yang ada di depan Uncle, kamu." Jawab pria itu dengan nada cueknya. "Lagian salah sendiri bisa masak dan bikin sambel enak." Lanjutnya sebelum membuka pintu dan masuk ke dalam kamarnya. Silvania hendak menjawab ucapan pria itu, namun Rayyan sudah lebih dulu menutup pintu kamarnya yang akhirnya membuat Silvania mencak-mencak dan menutup pintunya lebih keras daripada seharusnya. Silvania membersihkan dirinya dan mengganti pakaian kuliahnya dengan pakaian rumahan yang lebih nyaman. Setelah mengeringkan rambut hitam panjangnya dan meggelungnya, ia mengenakan kerudungnya dan keluar dari kamar. Bersiap menyediakan makan malam. Saat ia keluar dari kamar, ia kembali memandang kamar Rayyan dengan kesal. Kaki kanannya menendang udara seolah udara itu adalah Rayyan. "Masak apa Mbah?" tanya Silvania pada asisten rumah tangga Oma Gisna. Asisten paruh baya itu menyebutkan menu yang diinginkan oleh tuan rumah mereka. "Den Rayyan mau goreng ikan asin." Lanjutnya yang dijawab cebikan Silvania. "Pantes aja minta dibikinin sambel." Gerutunya pelan yang membuat asisten rumah tangga itu menatapnya bingung. "Dia kelamaan di luar negeri kali ya, makanya minta makanan khas Sunda. Emangnya dia gak takut darah tinggi?" tanya Silvania pada asisten rumah tangganya. "Enggak lah." Jawab Rayyan dari belakang punggung Silvania yang membuat gadis itu dan asisten rumah tangga menoleh kaget. "Gak akan darah tinggi kalo makan makanan yang seimbang." Lanjutnya seraya mengintip dari belakang punggung asisten Mbah Yati sebelum menoleh pada Silvania. "Habis makan makanan asin, imbangi dengan yang manis. Salah satunya adalah dengan lihat neng Cici." Ucapnya seraya mencolek dagu Silvania dengan jari telunjuknya yang membuat Silvania reflex mengusap dagunya dengan cepat seperti orang yang baru saja disentuh hal yang menjijikan. "Uweekkk." Ucap Silvania dengan gaya orang yang hendak muntah. Rayyan dan asisten rumah tangganya malah terkekeh melihat ekspresi wajah Silvania. "Lagian ngapain uncle kesini? Mau bantuin ngulek?" tanya Silvania dengan tatapan curiga mengarah pada Rayyan. Rayyan menganggukkan kepala membuat Silvania memandangnya tak percaya. "Beneran?" tanyanya yang kembali dijawab anggukkan Rayyan. "Bantuin pake doa." Ucapnya seraya mengambil tomat yang baru saja dicuci dan kembali keluar dari dapur. Silvania mengepalkan tangan kanannya dan meninju udara karena kesal dengan sikap pamannya. "Neng jangan begitu." Tegur asisten rumah tangga Rayyan. "Kesel, Mbah." Gerutu Silvania. "Sisi benci Uncle, beneran deh." Lanjutnya dengan wajah kesal seraya mulai meraih pisau. Asisten rumah tangga Rayyan malah terkekeh mendengarnya. "Awas loh, Mbah dengar benci sama cinta itu tipis sekali perbedaannya. Ada yang bilang benci itu adalah rasa cinta yang tak tersampaikan, makanya kalo kata 'benci' dipanjangin jadinya 'benar-benar cinta'." Ucapnya yang membuat Silvania melongo mendengarnya. "Iiiihhh, Mbah. Harus ya ngulang-ngulang kalimat itu. Amit-amit Sisi mesti cinta sama oang kayak begitu. Jangan sampai." Ucapnya seraya mengetuk kepala dan meja dapur bergantian. Jika di ruang kelas Rayyan bisa menjadi sosok yang supel dan disukai banyak mahasiswa, dan di rumah dia selalu menjadi sosok yang menyebalkan bagi Silvania. Maka berbeda lagi sosok Rayyan yang berbincang dengan kedua orangtuanya. Meskipun obrolan mereka ringan, Silvania bisa melihat kalau Rayyan adalah orang yang sangat mencintai dan menghargai kedua orangtuanya. Hal itu bisa Silvania lihat dari caranya berbicara dengan keduanya. Dan saat ia dan ayahnya membicarakan masalah bisnis, pria itu terlihat serius, pendengar yang baik dan orang yang teliti sebelum mengucapkan komentar atau solusi. Terkadang, Silvania berpikir kalau pamannya itu memiliki banyak wajah. Silvania hanya perlu tahu seperti apa pria itu kala dia berhadapan dengan wanita yang ingin dipikatnya. Ya, Silvania penasaran untuk yang satu itu. Mengingat kedua pamannya mencetuskan diri ingin menjadi seorang playboy sebelum memilih taubat, jadi Silvania ingin melihat secara langsung sepak terjangnya. Makan malam sudah selesai. Silvania kembali ke dapur untuk membantu membersihkan bekas makan. Meskipun Oma Gisna dan para asisten rumah tangga tidak mengijinkannya untuk membantu, tapi Silvania merasa punya keharusan untuk membantu. Ibunya mengatakan kalau dia harus bisa melakukan banyak hal sebagai seorang wanita, sekalipun itu pekerjaan seorang pria. "Kita memang wanita, dan orang-orang mengatakan kalau wanita itu lemah. Tapi tolong, hilangkan stigma itu. Setidaknya kita harus melakukan apapun yang kita mampu lakukan. Masa iya kamu gak bisa gunakan palu buat pasang paku. Atau kamu harus nunggu orang lain pasangin gas ke kompor dan memilih kelaparan karena gak bisa masak? No, Sayang. Do what you can do sekalipun itu disebut sebagai pekerjaan pria. Apalagi pekerjaan wanita. Kita punya asisten rumah tangga, oke. Ada yang beres-beres, ada yang nyuci nyetrika, ada yang masak dan cuci piring. Tapi bukan berarti dengan adanya mereka kamu gak bisa apa-apa. Mami gak mau kamu gak bisa cuci beras dan menanak nasi. Mami gak mau kamu takut kecipratan minyak saat goreng ikan atau daging. Mami gak mau kamu ngeluh saat tangan kamu kena ujung setrika. Itu resiko, sebelum seorang anak bisa berdiri dan jalan, mereka jatuh dulu. Jadi sebelum orang lihai, mereka akan mengalami gagal dulu. Mami nyuruh kamu bisa ini itu bukan karena Mami gak sayang, tapi justru karena Mami sayang. Minimal kamu bersih-bersih kamar kamu sendiri, cuci setrika baju kamu sendiri, masak makanan kesukaan kamu sendiri. Karena apa? Karena nanti, akan ada satu masa kamu perlu melakukan semuanya sendirian. Misal, kamu kerja dan tinggal di kota yang berbeda sama Mami. Masa iya kamu ngekos berdua sama asisten rumah tangga. Masa iya kamu terus nyuci baju ke laundry dan makan ke restoran. Itu kan pemborosan. Selama kamu bisa kerjain sendiri, ya udah kerjain. Atau pahitnya, jika nanti kamu nikah sama orang yang ekonominya hanya cukup untuk biaya kalian makan, apa kamu mau nyekik suami kamu supaya ngasih kamu asisten rumah tangga? Atau kamu mau nyuruh suami kamu kerjain semuanya sendiri? Apa kata mertua kamu nanti kalo punya menantu yang bisanya ongkang-ongkang kaki?" Dan karena petuah panjang lebar itulah, Silvania menjadi terbiasa dengan semua urusan rumah tangga. Dan ia tidak pernah malu untuk itu. Dan bahkan bangga dengan semua hal yang sudah ibunya ajarkan padanya. Karena terbukti, saat suatu ketika Silvania menginap di rumah temannya, saat ia mencuci piring bekas makannya sendiri, ibu temannya memujinya dan mengatakan dia anak yang rajin. Dan Silvania bangga dengan itu, dengan begitu ia membuat nama ibunya harum dan dia tidak disebut sebagai anak yang manja. "Cici Sayang..." suara bernada merayu itu membuat Silvania memutar bola mata sementara asisten rumah tangganya terkekeh geli. "Buatin Uncle ganteng kopi dong." Bujuknya seraya berdiri di belakang Silvania yang masih asyik mencuci piring. "Biar Mbah aja yang buatin den?" tawar asisten rumah tangga Rayyan. Silvania bisa merasakan Rayyan menggelengkan kepala di belakangnya. "Rayyan perlu penyeimbang rasa, Mbah. Tadi kan udah dikasih yang asin sama yang pedas buatannya Cici, sekarang Rayyan butuh yang manisnya." Silvania mencebik mendengarnya. "Dasar males, kayak yang gak bisa bikin sendiri aja." Gerutunya yang dijawab kekehan Rayyan. "Ya kan, kalo ada yang bisa bikinin, kenapa harus bikin sendiri. Iya gak, Mbah?" ucap Rayyan meminta dukungan asisten rumah tangganya. "Anggap aja latihan siapin kopi buat suami." Timpal si Mbah sambil tersenyum. Silvania melirik wanita paruh baya itu. Menyerahkan piring yang terakhir di cucinya pada si Mbah dan tanpa mengelap tangannya berbalik dan mencipratkan tangannya pada Rayyan yang otomatis meloncat mundur untuk menghindari cipratan Silvania. "Dasar pemalas." Ucapnya seraya berjalan menuju lemari makanan. "Mau kopi apa?" tanya Silvania seraya menunjuk kopi kemasan berbagai merk yang ada disana. "Jangan minta Sisi giling kopi dan buatin espresso. Sisi gak bisa bikinnya." Ucapnya sebelum Rayyan berkata apa-apa. Rayyan terkekeh, menunjuk kopi dengan telunjuknya. "Yang biru itu aja, yang rasanya coolin. Biar yang bikinnya bisa jadi tenang." Ledek Rayyan yang membuat Silvania mendelik. "Di halaman belakang ya." Ucap pria itu seraya meninggalkan dapur. Meskipun dengan bibir mencibir, Silvania melakukan apa yang Rayyan minta. Silvania membawa baki berisi gelas kopi dan dua toples kue kering buatan Oma Gisna ke halaman belakang dimana Rayyan memintanya untuk pergi. Bukan dia yang berbaik hati meletakkan dua toples itu, tapi Rayyan yang berteriak meminta Silvania untuk membawanya sekalian dengan kopi yang sudah diminta pria itu sebelumnya. Kalau saja dia tidak takut durhaka, dia tidak mau melakukannya. Sayangnya, Rayyan mau tak mau merupakan pamannya dan usianya juga lebih tua daripada Silvania dan orangtuanya selalu mengajarkannya untuk menghormati yang lebih tua. Rayyan tampak tengah duduk di kursi rotan beralas bantalan tebal dengan laptop di pangkuannya dan berlembar-lembar kertas di atas meja kaca di depannya. Silvania berdeham cukup keras untuk memberitahukan kedatangannya. Pria yang tengah mengenakan kacamata itu mendongak dan tersenyum manis ke arah Silvania. "Mau disimpen dimana? Mejanya penuh sama kertas." Ucapnya dengan ketus yang membuat Rayyan sadar dengan dokumen-dokumen pentingnya. Pria itu meletakkan laptop ke kursi yang ada di sebelahnya, membereskan dokumen dan kemudian meminta Silvania untuk meletakkan baki itu di atas meja. Silvania menurut. Meletakkan baki itu di atas meja dan kemudian berjalan untuk pergi karena merasa pekerjaannya sudah selesai. "Mau kemana?" Tanya Rayyan ingin tahu. "Ke atas." Jawab Silvania singkat. "Ngapain?" tanya Rayyan lagi. "Kenapa kepo sih?" Silvania balik bertanya dengan gaya nyinyir. "Kesepian? Minta ditemenin?" tanyanya dengan nada mengejek. "Enggak." Jawab Rayyan dengan nada datarnya seraya kembali duduk di kursinya. "Cuma bingung aja, nanti yang cuci gelas kopi bekas Uncle siapa." Kekehnya yang membuat Silvania melotot. Silvania berdecak dan mengentakkan kakinya sebelum berjalan masuk ke dalam rumah menuju kamarnya. "Ci!" seru Rayyan pada gadis itu. "Cuci aja sendiri!" teriak Silvania sambil terus berjalan menjauh. "Punya tangan ini!" lanjutnya dengan suara yang terdengar lebih pelan di telinga Rayyan. _________________ Ayo bantu Uncle cuci gelas
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN