Beberapa hari kemudian, ruang diskusi di lantai tiga perpustakaan kampus disulap menjadi markas kerja kelompok. Di dalamnya, Sharon duduk di ujung meja dengan laptop terbuka. Cathy duduk di sebelahnya, memberikan dukungan diam-diam. Di sisi lain meja, Angela dan Samantha tampak serius membolak-balik referensi yang mereka cetak. Ryan, sang ketua kelas, seorang pemuda tenang dan cerdas, memimpin diskusi dengan nada netral. “Bagaimana kalau kita fokus pada topik Empati dan Penerimaan Sosial di Kalangan Elit Muda? Kupikir itu topik yang relevan dengan kondisi kita,” ujar Ryan, melirik sekilas ke arah Sharon, lalu ke Samantha. Angela langsung mengangguk. “Setuju. Kita bisa angkat perspektif dari berbagai sudut, termasuk dari ... orang-orang yang bangkit dari latar belakang sulit.” Sharon s