Bab 15

1578 Kata
Selamat membaca! Pagi ini Rafka akan kembali bekerja seperti sebelumnya, menjadi pengusaha yang rajin dan selalu menghadiri setiap pertemuan di setiap harinya tanpa mau diwakilkan. Namun, sejak ditinggal oleh Aura, ia sempat kehilangan semangatnya untuk bekerja, merasa tujuan hidupnya sudah tak lagi ada. Setelah berpikir selama beberapa hari, akhirnya Rafka pun memutuskan untuk kembali bergelut dengan dunia bisnisnya agar dapat menghindari setiap kesempatan dekat dengan Alissa yang sebentar lagi akan menjadi istrinya, istri yang terpaksa dinikahinya demi Bintang. "Sayang, mulai hari ini aku akan kembali ke kehidupanku seperti sebelumnya walau hatiku masih terasa berat menjalani ini semua tanpamu. Aku sedih tidak ada lagi sosok kamu yang selalu membangunkanku setiap pagi, menyiapkan kopi untukku, memilihkan pakaian kerjaku, dan melayani semua hal yang aku butuhkan. Sekarang kebiasaan itu telah hilang dan tidak akan pernah aku rasakan kembali. Ini berat untukku, sayang," ucap Rafka dengan suaranya yang terdengar lirih sembari mengusap permukaan wajah sang istri yang berupa gambar dan dibalut kaca bingkai. Entah sampai kapan Rafka akan merasakan kesedihan ini, mengikhlaskan kepergian sang istri dan mulai menatap masa depannya untuk kembali bersemangat seperti dulu. Jika tidak demi dirinya sendiri, setidaknya demi Bintang, satu-satunya wanita yang paling berarti dalam hidupnya di dunia ini setelah kepergian sang ibu yang telah meninggalkannya sejak ia berusia 16 tahun, dan kepergian istrinya baru-baru ini. Bahkan sampai detik ini Rafka masih berkeinginan untuk menghidupkan Aura kembali yang sayangnya tidak akan pernah bisa ia lakukan. "Aku merasa percuma dengan semua yang aku miliki saat ini. Semua yang aku miliki sekarang dari hasil kerja kerasku selama ini, semuanya percuma karena aku tidak bisa membangunkan kamu, mengembalikanmu untuk berdiri di sampingku seperti kemarin. Aku benar-benar menyesal karena terlalu mempercayai kamu untuk mengendarai mobil sendiri, mengantar Bintang ke sekolah setiap hari, membiarkan kamu pergi ke mana-mana tanpa supir, akhirnya sekarang aku kehilanganmu karena hal itu. Aku benci diriku sendiri, Ra, aku benci terlalu lemah dan menurutimu untuk mandiri. Aku tidak suka dengan keadaan ini, Ra. Aku nggak bisa!!" Amarah Rafka meluap seketika saat dirinya tak mampu lagi menutupi kesedihan yang sudah membuncah dan tertahan selama beberapa hari ini karena keberadaan Bintang yang selalu di dekatnya. Semua ini masih terasa tidak nyata, bagaikan mimpi panjang tak berkesudahan. Rafka tidak mampu berdamai dengan kenyataan yang ada bahwa Aura telah pergi untuk selamanya, dan seluruh harta yang dimilikinya, yang tidak akan habis 11 turunan pun tidak mampu menghidupkan sang istri kembali. Rafka kecewa, ia marah dan menyesal, dirinya menganggap kerja keras yang dilakoninya selama ini tak berguna, pada akhirnya pria itu hidup menderita, kehilangan semangat hidup, sumber kebahagiaannya dirampas secara paska semenjak Tuhan mengambil wanita terkasihnya. Selama ini Aura ingin menjadi istri mandiri tanpa menyusahkan suaminya, ingin bisa melakukan apa pun tanpa merepotkan Rafka yang sibuk bekerja. Wanita itu ingin sempurna menjadi seorang istri untuk pria yang sangat dicintainya, bisa mengurus rumah, melayani suami juga merawat putri mereka satu-satunya dengan baik. Kesempurnaan itulah yang membuat Rafka tak pernah memalingkan pandangannya, sebanyak apa pun keberadaan wanita yang lebih cantik di luar sana dan berusaha menggodanya, baginya Aura jauh lebih baik dari wanita mana pun. Bahkan ada satu perkataan Aura yang masih teringat jelas dalam ingatan Rafka, selalu terngiang sampai saat ini. "Mas, kalau boleh aku meminta, aku ingin pergi lebih dulu sebelum kamu," ucap wanita itu sembari memeluk tubuh sang suami yang berbaring di sebelahnya. "Pergi apa sih maksud kamu, sayang?" tanya Rafka yang masih tidak mengerti dengan perkataan istrinya. "Pergi untuk selama-lamanya," jawab wanita itu dengan suara khasnya yang begitu lembut. Seketika Rafka terkejut hingga membulatkan kedua matanya. Menatap lekat wajah Aura yang tiba-tiba saja mengatakan hal itu padanya. Tetap satu bulan sebelum kepergiannya. "Sayang, kamu itu ngomong apa sih? Jangan ada-ada aja deh. Aku nggak suka dengarnya!" protes Rafka, langsung memasang wajah kesal. "Aku cuma mau bilang gitu aja sama kamu, itu adalah harapanku karena aku nggak sanggup kalau harus terpisah lama dari kamu, Mas." Kedua mata Aura tampak berkaca-kaca karena bulir-bulir bening yang berlinangan ketika dirinya mengungkapkan rasa ketakutannya. Entah mengapa, perasaan Rafka tidak enak sejak mendengar perkataan Aura pada saat itu, perkataan yang diucapkan sebagai isyarat bahwa ia akan pergi untuk selamanya, tapi sayang Rafka tak menyadari itu dan menganggap perkataan Aura hanya rasa ketakutan biasa karena wanita itu memang tidak pernah sanggup berpisah terlalu lama dengannya. Ketika kesedihan dan rasa kehilangan masih menyelimuti pikiran Rafka, tiba-tiba saja sentuhan tangan seseorang yang berlabuh di pundaknya membuat semua perasaan itu buyar, ia langsung menoleh ke belakang. Rafka terkejut mendapati keberadaan Alissa di sana. Di dalam kamarnya yang entah kapan wanita itu masuk dan apa tujuannya. Ia pun segera menghapus air mata yang sempat berjatuhan membasahi pipinya saat ingatan tentang Aura yang selalu hadir di setiap waktu. "Mas, maaf kalau aku mengganggumu," ucap Alissa yang langsung melontarkan permintaan maaf sebelum Rafka memarahinya karena telah mengganggu kesendirian pria itu. "Kenapa?" tanya Rafka dengan suaranya yang terdengar berat dan serak. Suara yang menandakan bahwa Rafka melewati malamnya dengan penuh air mata, menangisi kepergian Aura yang membuat hidupnya terasa hampa. Meluapkan kegundahan hatinya saat tengah sendiri tanpa kehadiran Bintang di sisinya. "Bintang sudah menunggu kamu di ruang makan. Dia bilang ingin sarapan bersamamu, Mas. Kamu sempat 'kan, sarapan sama-sama sebelum pergi kerja?" tanya Alissa dengan begitu pelan, melembutkan suaranya saat berbicara dengan seseorang yang tengah dirundung kesedihan mendalam. Rafka melirik sekilas ke arah jarum jam yang melingkar di pergelangan tangannya, saat itu waktu menunjukkan pukul 08.00 pagi. Sementara satu jam lagi Rafka ada meeting dengan klien, membuat pria itu tak memiliki banyak waktu luang untuk menemani Bintang sarapan karena tanpa sadar ia sudah menghabiskan waktunya di kamar sendirian untuk meluapkan kesedihan yang masih membekas dalam hati. "Saya ada meeting sebentar lagi dengan klien, jadi kamu saja yang temani Bintang sarapan ya. Katakan sebagai gantinya saya akan menemaninya makan malam nanti." Rafka menjawab dengan nada memerintah. Lalu pria itu beranjak bangkit dari posisinya, meletakkan kembali bingkai foto Aura di tempatnya semula. "Tapi Mas, ini 'kan masih pagi, apa meetingnya tidak bisa diundur dua jam lagi biar kamu punya waktu sarapan bareng Bintang. Kasihan lho dia sudah menunggu kamu lama di ruang makan sejak menu sarapan terhidang di sana. Dia terus menanyakan kenapa kamu tidak kunjung menemuinya, tidak seperti biasanya." "Lisa, tolong jangan ikut campur urusan pribadiku. Kamu tidak bisa meminta saya memundurkan jadwal meeting karena saya sibuk, bahkan dua jam ke depan saya harus datang ke perusahaan klien untuk menjalin kerjasama. Jadi tolong ya, kamu jaga dan rawat Bintang dengan baik selama saya tidak ada di rumah!" jawab Rafka membuat Alissa menelan ludahnya bulat-bulat. Alissa tak bisa membantah, apalagi sampai kembali menawar tentang sesuatu yang seharusnya tidak boleh ia lakukan, mengingat posisinya di rumah ini sebagai apa. "Baiklah, Mas. Aku akan memberikan pengertian pada Bintang tentang kesibukanmu. Kamu hati-hati di jalan ya, Mas." Tanpa menjawab perkataan yang Alissa lontarkan, yang terdengar sangat tulus, Rafka pun berlalu pergi seraya menenteng tas kerjanya keluar dari kamar. Bukan bermaksud kurang ajar, Rafka hanya berusaha menghindar dari interaksi yang intens bersama Alissa, wanita yang entah mengapa pernah menjadi alasan jantung Rafka berdebar. Rafka tak ingin jika cintanya akan berpaling pada wanita lain, setelah apa yang sudah Aura lakukan selama menjadi pasangan hidupnya. Terlebih Alissa selalu bersikap baik dengan tutur katanya yang lembut, memberikan perhatian yang terdengar biasa, namun terasa mengganggu di telinga Rafka. Ia tak suka dengan perhatian yang ditunjuk padanya oleh wanita lain, selain dari istrinya. Maka dari itu, Rafka memilih pergi saat ini. Sedangkan Alissa berusaha mengerti dengan apa yang tengah Rafka rasakan kini, terjebak dalam kesedihan karena merindukan seseorang yang telah tiada, terlebih seseorang itu merupakan pasangan hidup yang telah menemaninya selama 8 tahun. "Aku paham dengan kesedihan kamu, Mas. Aku tidak masalah kalau kamu akan terus bersikap seperti ini sama kamu. Tapi seandainya aku memiliki satu kali kesempatan untuk dekat denganmu, maka hal pertama yang akan aku adalah ingin menyentuh hatimu supaya aku bisa menghapus kesedihan itu. Aku ingin kamu mengikhlaskan kepergian Mbak Aura, Mas, biar dia bisa tenang di alam sana." Alissa berucap begitu lirihnya sembari menatap bingkai foto Aura yang terpajang di sana. Setidaknya kini ia tahu seperti apa sosok Alissa di mata para pelayan di rumah tersebut karena mereka telah bekerja lama, sejak rumah ini pertama kali ditempati oleh pasangan Rafka dan Aura. Kesaksian dari pelayan mengatakan, bahwa sosok Aura merupakan wanita yang sangat sempurna, tidak hanya cantik rupawan tapi Aura juga adalah sosok ibu sekaligus istri yang baik untuk Bintang dan juga Rafka. Kesaksian itulah yang membuat Alissa semakin mengagumi sosok wanita yang usianya selisih 6 tahun di atasnya. "Mbak, kamu sangat beruntung memiliki suami yang begitu mencintaimu, sekalipun kamu telah pergi meninggalkan dunia ini, tapi Mas Rafka masih tetap mencintaimu sepenuhnya, tanpa ada yang berkurang sedikitpun. Walau aku masih belum mengenalnya begitu jauh dan terhitung baru dekat dengan suamimu, tapi aku bisa merasakan bahwa dia sebenarnya adalah pria yang baik, hangat dan penuh kasih sayang, dan dia akan memberikan ketiganya hanya untuk wanita yang dicintainya. Kamu sangat-sangat beruntung, Mbak. Semoga kelak aku mengalami nasib baik sepertimu, memiliki suami yang sempurna seperti Mas Rafka yang hanya akan setia pada satu wanita, tapi ... pria itu tidak bersikap dingin dan bisa ramah dengan siapa pun. Hanya itu yang kurang dari Mas Rafka," ucap Alissa yang kini menangis haru sembari mengusap permukaan bingkai foto yang sempat Rafka peluk tersebut. Alissa menangis haru karena berhasil mendengar kisah perjalanan cinta antara Rafka dan Aura dari kepala pelayan di rumah ini. Kisah cinta yang sangat menginspirasi dan membuatnya sulit untuk mengungkapkan decak kagumnya pada pasangan yang kini sudah berbeda dunia, dan mungkin cinta mereka akan abadi selamanya. Bersambung...
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN