Selamat membaca!
Setelah membiarkan Alissa bergelut cukup lama dengan pikirannya yang buruk, kini Rafka mulai melepaskan tangan wanita itu dari genggamannya dengan perlahan. Lalu ia berdehem untuk membuyarkan Alissa dari lamunannya.
"Alissa, kamu jangan berpikir yang tidak-tidak kenapa saya bawa kamu ke kamar ini. Saya hanya ingin mengantarkan kamu ke kamar yang akan kamu tempati selama tinggal di rumah ini dan membicarakan hal penting tentang pernikahan kita."
Perkataan Rafka membuat Alissa merasa lega seketika. Ternyata pikiran buruknya tidak terbukti. Dan kamar ini adalah kamar tamu yang akan ditempatinya selama tinggal di kediaman mewah tersebut, sampai dirinya tidak dibutuhkan lagi oleh Rafka setelah Bintang dapat kembali melihat.
"Benarkah, Mas? Jadi kita nggak tidur satu kamar 'kan?" tanya Alissa untuk memastikan, seraya menarik kedua sudut bibirnya untuk mengulas senyuman yang terlukis menawan.
Kedua belah alis Rafka saling bertaut ketika mendengar pertanyaan Alissa, ia menyimpulkan bahwa wanita itu sempat berpikir akan tidur dengannya di dalam kamar yang sama.
"Tentu itu tidak mungkin terjadi karena tugas kamu di sini adalah untuk menemani dan menjaga Bintang, menggantikan posisi Aura sebagai seorang bunda untuk menyayanginya, bukan menggantikan posisi Aura sebagai istriku. Jadi kita akan tidur di kamar terpisah dan hanya akan dekat saat ada Bintang di antara kita berdua!" jawab Rafka dengan suaranya yang tegas dan terdengar sampai ke beberapa penjuru ruang kamar tamu tersebut.
Alissa mengangguk tanda paham dengan apa yang pria itu katakan. "Baik, Mas. Aku mengerti. Lalu bagaimana dengan pernikahan kita? Apa kita juga harus tetap jadi menikah? Kita 'kan tidak tidur satu kamar, sepertinya akan aman tanpa kita harus menjalin pernikahan sandiwara."
"Tidak, Alissa, dengan kita tidak menikah sementara kita tinggal satu atap itu tidak aman untuk saya. Jadi kita akan tetap menikah dan lusa adalah hari di mana kita akan menikah. Maka dari itu saya meminta Revan untuk mengadakan pertemuan saya dengan Mr. Hans di hotel daerah Kemayoran, karena di hotel itu juga kita akan melangsungkan pernikahan agar tidak diketahui Bintang."
"Ka--kamu serius, Mas? Secepat itu tanpa persiapan apa pun seperti pernikahan pada umumnya?" tanya Alissa yang cukup terkejut mendengar kabar pernikahan yang begitu mendadak baginya.
"Tidak perlu memakan banyak waktu untuk mempersiapkan pernikahan siri, Lisa, jadi saya memutuskan lusa adalah hari yang tepat agar saya memiliki alasan untuk membawa kamu pergi pada Bintang dengan mengatakan saya ingin ditemanimu untuk pertemuan tersebut. Sudah mengerti 'kan?!" ucap Rafka menjelaskan dengan santai, tanpa rasa gugup yang berarti. Kegugupan seperti yang pernah dialaminya saat hari pernikahannya dengan Aura tinggal beberapa hari lagi.
"I--iya, aku mengerti, Mas," jawab Alissa dengan terbata karena masih kaget atas kabar tersebut. Kabar yang menyatakan bahwa sebentar lagi dirinya akan melepas status lajangnya dan memulai kehidupan baru dengan menyandang status sebagai istri dari seorang pria tampan yang kaya raya.
Tapi sayang, pernikahan yang diharapkan Alissa untuk terjadi sekali seumur hidup harus pupus dan terkubur dalam-dalam karena ia menjalani pernikahan itu bersama pria yang sewaktu-waktu bisa menceraikannya kapan pun itu, entah besok, lusa atau beberapa Minggu kemudian, tergantung kapan Bintang berhasil mendapatkan pendonor yang cocok untuknya.
Harapan Alissa untuk menikah bersama pria yang dicintai dan mencintainya dengan tulus mungkin tidak akan pernah terwujud, dan seharusnya kini wanita itu merasa bersyukur sekaligus bahagia karena masih ada pria yang mau menyuntingnya walau tanpa cinta. Namun, jauh di lubuk hatinya yang paling dalam, wanita itu sangat bersedih akan takdir hidupnya suatu hari nanti.
"Apakah aku siap menjadi janda di usia muda? Bukan, bukan itu yang aku takutkan. Tapi yang benar, apakah aku siap menerima kenyataan ketika suatu hari nanti Mas Rafka menceraikanku setelah dia tidak membutuhkan aku di sini lagi? Apakah hatiku bisa sekuat itu mendengar kata-kata talak yang keluar dari mulut pria yang menikahiku walau tanpa cinta?" batin Alissa yang tiba-tiba saja merasakan takut untuk membayangkan semua itu.
Bayangan terburuk pun mulai melintas di benak polos wanita itu yang seringkali terluka karena cinta. Namun, sebagai manusia biasa Alissa mencoba tidak ingin mendahului takdir dan ia coba mengubah mindsetnya untuk berpikir positif, agar ketakutan itu tak membuatnya merasakan tertekan menjalani sandiwara kehidupan ini
"Bagaimana kalau perceraian itu tidak akan pernah terjadi jika suatu hari nanti aku meninggal dunia sebelum Bintang dinyatakan dapat kembali melihat. Itu artinya aku tidak perlu merasakan patah hati untuk kesekian kalinya dan aku bisa berkumpul kembali bersama papa dan mama di atas sana," gumam wanita itu coba mentransfer energi positif dalam dirinya yang mudah rapuh.
"Baiklah, karena kamu sudah mengerti dan paham apa saja tugasmu di sini, sekarang silahkan istirahat!" titah Rafka begitu santainya.
"Iya, Mas. Kamu juga istirahat ya. Kamu pasti capek banget 'kan selama seminggu ini jagain Bintang di rumah sakit. Hmm, kamu aku siapin air hangat untuk berendam sebelum tidur? Biar malam ini kamu bisa tidur nyenyak." Tiba-tiba saja perhatian itu mengalir begitu saja bagaikan air, hingga setelahnya Alissa menutup mulutnya rapat-rapat karena tidak sadar akan apa yang dikatakannya barusan.
"Mas, ma-maaf … aku tidak sengaja mengatakannya. Lupakan yang tadi ya, Mas. Kalau gitu aku mau pamit ke toilet dulu." Alissa yang merasa gugup sampai akhirnya salah tingkah coba menghindar dari hadapan Rafka dengan pergi menuju bathroom.
Namun, baru saja satu jengkal ia melangkah, bahunya langsung ditahan untuk berhenti melangkahkan kaki oleh pria yang wajahnya terlihat datar tanpa ekspresi.
"Kenapa lagi, Mas? Kamu mau aku buatkan kopi, s**u atau apa gitu sebelum aku pergi ke toilet?" tanya Alissa yang sudah tak karuan, sembari menoleh ke arah samping hingga pandangannya saling beradu dengan tatapan Rafka yang sangat dingin.
Rafka menggelengkan kepala lalu ia berkata, "siapa yang mau dibuatkan itu semua? Saya cuma mau kasih tahu, kalau toiletnya di sebelah sana, jadi ngapain kamu ke arah sana?" tunjuk Rafka memberitahu posisi bathroom dalam kamar tamu tersebut.
"Oh iya, aku lupa kalau posisinya beda sama kamar yang ada di rumah aku. Makasih ya Mas, kamu sudah kasih tau aku!" Alissa pun bergegas memutar tubuhnya dan melangkah tergesa-gesa menuju bathroom untuk segera membasuh wajahnya yang entah mengapa terasa begitu panas.
Melihat Alissa yang salah tingkah dan bersikap tak karuan membuat Rafka menggeleng tipis sembari mengusap dahinya. Tanpa sengaja kedua sudut bibir pria itu menyungging, membentuk senyuman.
"Alissa… Alissa… Kok ada ya orang seperti kamu yang tidak karuan," ucapnya dengan pelan.
Setelah merasa tidak ada urusan lagi di tempat tersebut, Rafka pun memilih untuk pergi meninggalkan kamar yang akan ditempati Alissa mulai hari ini. Ia pergi menuju kamarnya yang berada di lantai 3. Kamar yang selama tinggal di rumah tersebut selalu ditempatinya bersama Aura, sang istri yang telah berpulang ke pangkuan sang pemilik kehidupan.
Sementara di dalam bathroom Alissa langsung membasuh wajahnya dengan air yang mengalir dari kran wastafel. Wanita itu mengusap wajahnya berulang kali sampai rasa panas itu benar-benar hilang atas perkataannya sendiri sampai salah tingkah seperti tadi.
"Fix, Lisa, kamu sudah memalukan diri sendiri di hadapan calon suamimu. Lagian kenapa sih mulutmu ini asal ngomong aja tanpa disaring dulu, bisa-bisanya lagi menawarkan diri menyiapkan air hangat untuk mandi Mas Rafka, jelas-jelas tadi dia bilang kalau tugasmu di sini itu adalah sebagai bunda dari Bintang yang hanya menemani, menjaga dan menyayangi Bintang aja, tanpa harus ikut campur urusan dia apalagi sampai sok bersikap menggantikan posisi Aura sebagai istrinya. Argh, kamu gimana sih, Lis! Buat malu deh kalau besok ketemu." Alissa mengumpat pada permukaan cermin yang memantulkan sosoknya, yang terkadang bodoh jika tengah merasa sedih.
Ya, Alissa sempat merasakan sedih sesaat ketika membayangkan nasibnya setelah menikah nanti. Tetapi kini rasa sedih dan takut itu telah berganti menjadi rasa malu yang berhasil membuat wajahnya merah merona.
"Semoga besok Mas Rafka sudah melupakan perkataanku, supaya aku bisa bersikap seolah-olah bahwa tadi aku tidak mengatakan apa pun! Ya, aku harus bisa bersikap biasa saja pada Mas Rafka, membatasi diri agar suatu hari nanti tidak ada kejadian aneh-aneh, apalagi kalau sampai aku jatuh cinta pada Mas Rafka karena terlalu nyaman berada di dekatnya!" gumam Alissa memperingati dirinya agar tidak mudah luluh karena sebuah rasa kenyamanan, setelah ia berhasil menetralkan perasaan gugupnya sendiri dan kini sudah jauh lebih tenang.
Tetapi tidak dengan Rafka, pria itu tengah diselimuti kesedihan atas rasa kehilangan yang masih melekat erat dalam benaknya. Kehilangan sosok Aura membuat Rafka terpukul sangat dalam, bahkan ia tak mampu menghilangkan ingatannya saat kedua matanya menangkap raga wanita yang begitu dicintainya sudah tak lagi bernyawa.
Ingatan yang membuat Rafka menggeram karena sampai saat ini pihak kepolisian belum berhasil mengungkap siapa pelaku tabrak lari yang mengakibatkan putrinya menjadi piatu dan meninggalkan duka yang mendalam untuknya, yang hanya mampu Rafka pendam sendirian.
"Sayang, maafin aku ya karena sampai saat ini aku masih belum berhasil menemukan siapa pelaku yang sudah membuatmu pergi secepat ini. Aku sangat kehilanganmu sayang… Ini terlalu berat untuk aku terima sampai kapan pun, sangat sulit. Kenyataan bahwa kamu sudah pergi meninggalkanku untuk selama-lamanya membuatku tidak sanggup hidup lebih lama lagi. Aku lemah tanpamu, Aura… Aku butuh kamu untuk selalu ada di sampingku. Aku ingin terus bersamamu Aura. Aku belum siap dengan ini semua…" tangis Rafka yang kini menampakkan sisi hidupnya yang sangat rapuh tanpa kehadiran Aura.
Hidupnya terasa tak berarti lagi, semangatnya telah sirna bersama hilangnya Aura. Entah sampai kapan Rafka akan siap menerima semua ini dan mengikhlaskan Aura untuk pergi dengan tenang.
Seberapa besarnya pun rasa sayang Rafka pada Bintang yang merupakan putrinya, tapi rasa sayang dan cintanya terhadap sosok Aura lebih besar dari semua yang ada di dunia ini. Sebab hal itulah Rafka kehilangan semangat hidupnya kini.
Bersambung...