Bab 13

1547 Kata
Selamat membaca! Setelah menempuh perjalanan selama 45 menit, kini mobil yang Revan kendarai mulai memasuki pelataran rumah kediaman mewah keluarga Rafka Wijaya. Rumah yang terdiri dari tiga lantai dan memiliki luas mencapai 2250 meter. Kedua mata Alissa dibuat tak dapat berkedip menatap mewahnya rumah yang bisa dikatakan bak istana di cerita dongeng, seperti dongeng yang sering dibacanya saat masih kecil. "Ya Allah, ini bukan mimpi 'kan? Ini beneran, aku akan tinggal di rumah besar dan mewah ini?" gumam Alissa di kedalaman hati, menatap rumah tersebut dari dalam mobil sambil terus berdecak kagum. Ketika mobil berhenti tepat di depan halaman rumah yang langsung berhadapan dengan pintu masuk utama, Rafka turun lebih dulu sebelum Revan membukakan pintu mobil untuknya karena merasa tak enak hati. Tidak lupa, pria itu juga membukakan pintu untuk mempersilahkan Alissa dan Bintang keluar dari mobil. Begitulah sosok Rafka yang jarang diketahui orang, walau ia merupakan crazy rich di Jakarta, tetapi pria itu tidak manja dengan malas membuka pintu mobil untuk dirinya sendiri tanpa harus dibukakan oleh asisten, atau orang lain yang bekerja di kediaman mewahnya. "Hati-hati ya, sayang. Sini pegang tangan Ayah," ucap Rafka seraya menuntun Bintang untuk menggenggam jemarinya. "Akhirnya aku bisa pulang ke rumah juga. Tadi jalanannya macet ya, Ayah?" tanya Bintang yang tak mengetahui kondisi jalanan yang dilewatinya karena sempat tertidur. "Iya Nak, tadi jalanan lumayan macet. Biasalah kalau sore pasti begitu 'kan. Yuk kita masuk. Ayo, Bun!" Rafka mengajak Alissa masuk yang terlihat tengah menunggu perintah darinya. Alissa pun mengangguk dan melangkah maju lalu berhenti tepat di samping Bintang. Ia juga menggenggam sebelah tangan putrinya untuk melangkah bersama-sama, memasuki kediaman mewah yang baru pertama kali Alissa sambangi sepanjang hidupnya. "Revan, terima kasih ya karena kamu sudah menjemput kami. Sekarang pulanglah ke apartemenmu dan pergi istirahat!" titah Rafka pada asistennya yang telah mengantarkan mereka sampai di rumah. "Baik, Tuan. Kalau begitu saya permisi." Revan dengan segera mengangguk patuh. Tidak lupa ia pun membungkuk hormat pada Rafka, Alissa dan juga Bintang sebelum pergi meninggalkan pelataran rumah mewah tersebut. Kemudian Rafka mulai menuntun Bintang untuk melangkahkan kaki bersamanya. "Ayo sayang, kita jalan pelan-pelan ya." Sebelum benar-benar masuk ke dalam rumah, Rafka teringat dengan keberadaan koper Alissa yang tertinggal di mobilnya, yang hingga detik ini masih terparkir di rumah sakit karena mereka dijemput oleh Revan dengan menggunakan mobil yang lainnya. Rafka pun segera memanggil salah satu supir pribadinya. "Andi, tolong kamu jemput mobil saya di rumah sakit ya. Kuncinya ada sama petugas parkir yang namanya Wawan!" "Siap, Tuan. Ada lagi?" tanya Andi, sang supir yang telah bekerja selama 4 tahun bersamanya. "Setelah sampai di rumah, keluarkan koper yang ada di bagasi dan antar ke kamar tamu." "Siap, Tuan. Ada lagi yang harus saya kerjakan?" tanya Andi kembali dengan sigap. "Tidak ada, itu saja!" Rafka pun kembali melanjutkan langkahnya bersama Bintang dan Alissa yang sempat terhenti. "Ayah, siapa yang mau datang ke rumah kita?" tanya Bintang yang penasaran sejak mendengar ayahnya memberikan perintah pada Andi. "Tidak ada siapa-siapa, Nak. Memangnya kenapa kamu bertanya seperti itu?" Rafka balik bertanya seraya mengusap pucuk kepala putrinya yang lebih memilih tidak menggunakan kursi roda sesampainya di rumah. "Tadi aku dengar Ayah suruh Om Andi masukin koper ke kamar tamu. Aku kira mau ada tamu yang datang." Seketika Rafka tersentak mendengar penuturan Bintang, ia baru menyadari perkataannya sekarang yang terlanjur disampaikan pada Andi di hadapan putrinya, membahas soal koper milik Alissa yang berada di mobilnya. "Oh, koper itu punyanya Aunty Nadia, kemarin dia sempat jagain Bunda selama beberapa hari di rumah sakit, terus waktu pulang dia lupa bawa kopernya. Makanya Ayah bawa ke sini deh, biar disimpan di kamar tamu dulu, jadi kalau sewaktu-waktu Aunty Nadia main ke sini lagi, dia bisa ambil kopernya sendiri." Rafka kelabakan mencari alasan yang tepat untuk menjawab perkataan sang putri, sampai akhirnya ia menggunakan nama Nadia untuk menutupi kebohongannya. Bintang terkekeh kecil mendengar jawaban sang ayah, lalu ia menggelengkan kepala perlahan tanpa melepaskan kedua tangannya yang digenggam oleh ayah dan bundanya. "Ya ampun, Aunty Nadia itu belum tua tapi gampang lupa ya, Ayah. Aunty … Aunty…" tawa Bintang yang terdengar cukup dekat dan mengenal sosok Nadia dengan baik. Sementara Alissa hanya mampu mengerutkan dahi sejak tadi, ia tidak mengerti siapa Nadia yang tengah dibahas oleh Rafka dan Bintang saat ini. Tapi satu yang wanita itu ketahui, bahwa kini Rafka tengah menutupi kebohongannya menggunakan nama itu karena ia hampir membokar sandiwaranya sendiri di hadapan sang putri. "Siapa ya Nadia? Apa mungkin adik atau kakak perempuannya Mas Rafka ya?" batin Alissa yang begitu penasaran. "Bun, jangan gampang lupa kayak sahabat Bunda ya, nanti bisa-bisa Bunda lupa sama aku," ucap Bintang memperingati ibunya dengan tertawa renyah, sekaligus menjawab rasa penasaran Alissa tentang Nadia. Alissa pun segera mengangguk dan tertawa kecil. Berusaha berpikir cepat di tengah-tengah situasi saat ini. "Ya, nggak mungkin dong. Mana mungkin Bunda bisa lupa sama anak cantik dan pintar seperti kamu," jawab Alissa sesederhana mungkin. Wanita itu menarik kedua sudut bibirnya begitu tipis saat pandangannya saling bertemu dengan Rafka yang kebetulan tengah menoleh ke arahnya. Lalu Rafka mengacungkan jempolnya tanda jawaban Alissa sudah benar. "Ah, syukurlah aku bisa menjawabnya. Sepertinya aku harus cepat-cepat menyelesaikan baca isi map yang Mas Rafka kasih deh, biar aku nggak kelabakan lagi kalau Bintang bahas soal nama-nama yang asing untukku seperti tadi. Tapi satu yang pasti, Nadia itu adalah sahabatnya Aura, itu artinya dia sahabat aku juga!" gumam Alissa yang kini merasa lega untuk beberapa saat. Setelah melangkah cukup jauh menyusuri ruangan rumah Rafka yang begitu luas, kini tibalah ketiganya di depan pintu kamar Bintang yang berada di lantai satu. "Ayah, Bunda, kok berhenti?" tanya Bintang yang tidak tahu di mana posisinya saat ini. "Karena kita sudah sampai di depan kamarnya Bintang. Sekarang Ayah antar kamu masuk ya, biar kamu bisa istirahat di dalam kamar yang sudah kamu tinggalkan lumayan lama lho. Ingat ya apa kata dokter, kamu tidak boleh capek-capek dan perbanyak istirahat," jawab Rafka seraya mengusap bahu putrinya yang langsung menjawabnya dengan sebuah anggukkan. Lalu Rafka pun membuka pintu kamar tersebut pelan, menuntun Bintang kembali sampai benar-benar melangkah masuk dan memposisikan gadis kecilnya untuk duduk di tepi ranjang yang dibalut sprei berwarna biru dengan motif Frozen. Serupa dengan tema wallpaper kamar Bintang yang mengelilingi ruangan ini, bertemakan Frozen. "Ya ampun, kamar Bintang aja seluas dan semewah ini. Apalagi kamar Mas Rafka dengan Aura ya? Pasti lebih luas dari ini," batin Alissa yang entah mengapa asik dengan pergolakan batinnya sendiri, meluapkan decak kagumnya akan kesuksesan Rafka karena bisa memiliki kehidupan yang dikelilingi kemewahan dan tetap rendah hati. "Bunda, Ayah, makasih ya udah anterin Bintang sampai di kamar. Sekarang Ayah dan Bunda juga pergi istirahat ya, kalian pasti lelah 'kan." Bintang yang begitu pengertian akan orang tuanya meminta mereka untuk segera beristirahat. Tapi permintaan Bintang yang baik itu membuat Alissa kalang kabut, ia takut jika dirinya akan tidur satu kamar dengan Rafka nanti malam. "Bunda temani kamu di sini aja ya, sayang. Biar kamu nggak sendirian dan kalau perlu apa-apa ada Bunda di dekatmu." Wanita itu coba mencari alasan agar bisa tetap berada di samping Bintang selama menjalani sandiwara ini. "Jangan dong, Bunda istirahat aja bareng Ayah di kamar kalian, biar nanti malam bisa bobo nyenyak. Bintang di sini aja ya, lagian aku bisa minta temani sama Mbak Ririn 'kan." Daripada Alissa sampai salah menjawab karena gugup, Rafka pun segera mengiyakan perkataan Bintang. "Iya, Nak. Nanti Ayah panggil Mbak Ririn biar temani kamu ya." "Oke Ayah. Kalau gitu aku mau rebahan dulu deh sambil nunggu Mbak Ririn datang." Rafka meraih pergelangan tangan Alissa yang terlihat gemetar, lalu ia mendekatkan bibirnya tepat di depan daun telinga wanita itu. "Ikut denganku. Ada hal penting yang ingin saya bicarakan sama kamu!" titah Rafka dengan berbisik pelan, tetapi dapat didengar sangat jelas oleh Alissa. "Oke," jawab wanita itu pun dengan berbisik. "Sayang, Bunda dan Ayah pamit mau ke kamar dulu ya. Bintang kalau butuh apa-apa bisa minta sama Mbak Ririn nanti ya, Nak." Sebelum pergi bersama Alissa, pria itu kembali menyempatkan mengusap pucuk kepala sang putri dan mendaratkan sebuah kecupan di dahinya. "Iya Ayah. Selamat beristirahat ya kalian. Semoga nanti malam mimpi indah," jawab Bintang seraya mengulas senyuman manis dengan tatapan kosong. Rafka pun segera mengajak Alissa untuk keluar dari kamar tersebut, lalu pria itu membawa Alissa menuju kamar yang berada di seberang kamar Bintang. Kamar yang selama ini dijadikan salah satu di antara tujuh kamar tamu jika ada teman atau sanak saudara yang menginap. Perasaan Alissa seketika berkecamuk tak karuan, ia merasa gugup saat diajak masuk ke dalam kamar yang disangkanya sebagai kamar Rafka bersama Aura karena tidak kalah mewah dan elegan dari kamar Bintang. Rasa takut mulai menjalar di seluruh tubuh Alissa, dibumbui kepanikan yang membuat dahinya mulai mengeluarkan keringat di tengah-tengah kamar yang dalam keadaan pendingin ruangannya menyala. "Mau ngapain sih Mas Rafka ajak aku masuk ke kamar berduaan kayak gini? Kalau mau ngobrolin sesuatu 'kan bisa di luar, di taman atau di mana gitu, yang penting di tempat terbuka. Mana dia nggak lepasin tanganku dari genggamannya lagi. Aduh, gimana kalau dia mau berbuat macam-macam? Apa yang harus aku lakukan? Kalau berteriak akan terdengar sangat aneh karena semua orang di sini sudah mengetahui sandiwara yang aku jalani saat ini adalah untuk menggantikan posisi Aura. Aduh, apa lebih baik aku kabur ke kamar Bintang lagi aja kali ya?" bimbang Alissa di kedalaman hatinya dengan jantung yang berpacu tanpa batas. Bersambung...
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN