Selamat membaca!
Saat waktu menunjukkan pukul 15.30, Bintang dan kedua orang tuanya sudah pergi meninggalkan kamar rawat inapnya untuk pulang menuju rumah kediaman yang sudah sangat Bintang rindukan.
Saat ini Bintang sudah duduk di sebuah kursi roda yang didorong oleh Rafka, sementara Alissa berjalan di sampingnya sembari menggenggam erat sebelah tangan Bintang yang katanya takut melalui perjalanan panjang yang sangat gelap.
"Bunda, kita masih jauh nggak ya?" tanya Bintang dengan suaranya yang bergetar. Suara yang menandakan dirinya sangat ketakutan.
Alissa setengah membungkukkan tubuhnya seraya berjalan, merapatkan posisi bibirnya di dekat daun telinga Bintang.
"Nggak lama lagi kok, sayang. Sebentar lagi kita sampai di lobi terus naik ke mobil deh. Apa kamu masih takut, sayang?" tanya Alissa sambil terus mengusap punggung tangan Bintang yang menggenggamnya begitu erat.
Bintang menggelengkan kepala dengan perlahan. "Udah nggak kok, Bun. Tapi aku masih merasa aneh dengan semua ini. Aku nggak suka gelap," jawabnya dengan bibir bergetar.
Mendengar ucapan sang putri membuat Rafka segera menghentikan langkahnya, lalu ia mendekap tubuh Bintang dari belakang. Berharap dekapannya mampu melenyapkan ketakutan gadis kecil itu.
"Bintang sayang, jangan takut ya. Di sini ada Ayah dan Bunda. Ayah ngerti kok dengan perasaan kamu saat ini. Semua ini terasa aneh karena ini pertama kalinya kamu keluar dari ruang rawatmu setelah dirawat selama 10 hari, dan melewati perjalanan panjang untuk kembali pulang ke rumah. Sabar ya sayang, Ayah janji ini tidak akan lama karena Ayah akan terus berjuang untuk mendapatkan donor mata yang cocok buat Bintang." Rafka coba memberi pengertian pada putrinya yang masih terlalu kecil untuk menerima semua ini.
Jauh di lubuk hatinya yang terdalam, Rafka masih sangat terpukul menerima kenyataan tentang Bintang yang sampai kehilangan penglihatan karena kecelakaan yang dialaminya bersama Aura. Sebenarnya ia sangat ingin memberikan kornea matanya demi Bintang, tapi apa daya, dokter mengatakan bahwa Rafka bukanlah pendonor yang cocok untuk Bintang.
Rafka rela kehidupannya berakhir dalam sewaktu-waktu asalkan Bintang bisa hidup seperti biasanya dengan kedua mata yang dimilikinya, tetapi takdir tak mengizinkannya untuk pergi menyusul Aura dan meninggalkan Bintang sendirian tanpa sosok orang tua di dunia ini. Niat itu Rafka urungkan dan kini ia bekerja keras untuk mencari pendonor yang cocok untuk putrinya.
Tak hanya Rafka yang berusaha menenangkan ketakutan yang dirasakan Bintang, Alissa pun melakukan hal yang sama dengan mengusap dahi Bintang penuh kelembutan.
"Bintang jangan takut lagi ya. Apa yang Ayah bilang tadi benar banget, ini tidak akan bertahan lama. Sabar ya, Nak."
Bintang mengangguk patuh, ia mengerti bahwa saat ini kedua orang tuanya merasa panik karena rasa takutnya. Akhirnya gadis kecil itu perlahan demi perlahan mulai menghilangkan rasa takut itu, lalu tersenyum sembari meraba-raba hingga kedua telapak tangannya berhasil menyentuh pipi ayah dan ibunya.
"Iya Ayah, iya Bunda. Sekarang Bintang udah nggak takut lagi kok. Kita pulang sekarang yuk, aku kangen pengen bobo di kamar lagi." Bintang dengan begitu pintarnya mampu mencairkan suasana, mengusir rasa cemas dalam benak kedua orang tuanya.
"Oke sayang, sekarang waktunya kita pulang!" jawab Rafka bersemangat, walau kedua matanya digenangi bulir-bulir bening yang menganak di sana.
"Let's go, Ayah!" timpal Bintang yang mulai menurunkan kedua tangannya kembali, meletakkannya di atas paha dan mencoba menikmati perjalanan di atas kursi roda ini dalam suasana yang begitu gelap pekat tanpa setitik cahaya yang dapat kedua matanya tangkap.
Rafka kembali mendorong kursi roda tersebut, setelah berhasil menyeka air mata yang sempat-sempatnya terjatuh mengalir di pipinya.
Alissa yang menangkap kesedihan itu hanya mampu bergumam di dalam hati. "Ya Allah, kasihan sekali Mas Rafka. Dia pasti lebih sedih dari apa yang aku pikirkan. Ini pasti sangat berat untuknya, dia tidak hanya kehilangan istri yang begitu dicintainya sampai mati, tapi dia juga kehilangan semangatnya karena Bintang mengalami kebutaan akibat insiden kecelakaan itu. Andai aku memiliki kesempatan untuk dekat dengannya, aku siap mendengarkan cerita sedihnya yang begitu dalam, sampai perasaan sedih yang menjadi beban itu perlahan menghilang dari pundaknya. Tapi mana mungkin Mas Rafka mau membagi ceritanya padaku, mendengarkan aku bercerita saja dia tidak pernah mau."
Alissa hanya bisa mengajak hatinya sendiri untuk berbicara, bergelut dengan pergolakan batinnya sendiri memikirkan kesedihan yang Rafka alami, pria itu masih sangat berat untuk menerima takdir hidupnya yang ditinggal sang istri sekaligus menerima kenyataan atas putrinya.
Tak terasa, perjalanan mereka dari lantai 12 kini sudah tiba di pelataran lobi rumah sakit. Terlihat sebuah mobil mewah berwarna putih telah terparkir di depannya.
Melihat kedatangan Rafka, Bintang dan Alissa, seorang pria langsung membukakan pintu mobil, mempersilahkan ketiganya masuk. Tidak lupa, pria itu juga membantu Bintang saat hendak masuk ke dalam mobil, lalu melipat kursi roda tersebut dan meletakkannya di bagasi.
Pria itu adalah Revan, seorang asisten pribadi Rafka yang telah bekerja sejak Rafka pertama kali terjun di dunia bisnis. Asisten yang begitu setia, selalu menemani Rafka dalam keadaan apa pun, mengerjakan pekerjaan seperti saat ini, walau itu bukanlah jobdesk yang harus Revan kerjakan.
Kini keempatnya sudah berada di jalan raya, membelah jalanan Jakarta yang tidak pernah lengang, selalu dipenuhi kendaraan dan membuat jalanan merayap di beberapa titik.
Rafka yang duduk di kursi depan, tepat di samping Revan mulai membuka obrolan dengan asistennya itu.
"Revan, bagaimana meeting dengan Mr. Hans siang tadi. Semuanya berjalan lancar, kan?" tanya pria itu sembari menatap lurus ke depan.
"Alhamdulillah, lancar Tuan. Mr. Hans tertarik untuk bekerja sama dan beliau meminta saya mengatur waktu untuk mengadakan pertemuan antara Tuan bersama Mr. Hans. Soal tempat, bebas terserah Tuan saja katanya."
"Oke, atur jadwal pertemuan saya dengannya lusa, di Blue Sky Hotel Kemayoran jam 4 sore. Dan mulai besok, saya bisa kembali bekerja seperti biasanya. Jadi nanti malam suruh Nadia untuk mengirimkan apa saja jadwal saya besok!" titah Rafka yang telah memutuskan dengan mantap untuk kembali bekerja di perusahaan karena kini sudah ada Alissa yang akan menemani Bintang.
Walau Revan merasa keberatan dengan kembalinya Rafka ke perusahaan dalam suasana yang masih berkabung, ditambah Bintang yang baru saja pulang ke rumah sore ini, tetapi pria itu pada akhirnya mengangguk patuh. Mengiyakan perkataan Tuannya tanpa berani membantah. "Baik, Tuan."
Sementara Bintang yang mendengar itu mulai mengajukan protes. "Yah… Kok Ayah cepet banget sih mulai kerjanya? Emangnya Ayah gak capek dan gak mau istirahat dulu di rumah?" tanya gadis kecil itu dengan pandangan kosong.
"Tapi Ayah sudah harus kembali bekerja, Nak, karena Ayah sudah terlalu lama libur. Nanti kalau waktunya Ayah libur, kita jalan-jalan bareng Bunda ya ke mana pun, sesuai keinginan Bintang." Rafka menjawab seraya menoleh ke belakang, memberi penjelasan agar putrinya mengerti.
Seketika raut wajah Bintang berubah murung, ia menundukkan kepala untuk menutupi kesedihan. "Ayah lupa ya kalau sekarang aku buta, jadi percuma aja kalau Ayah ajak pergi aku jalan-jalan karena aku gak akan bisa lihat apa-apa."
Perkataan Bintang langsung menghantam mental Rafka yang mendengarnya. Seketika ia mengumpat dalam hati akan kebodohannya sendiri. "Apa sih yang aku katakan tadi? Kenapa aku malah mengatakan itu? Jelas-jelas aku tahu akan hal ini, bahwa Bintang saat ini buta!"
Rafka yang kini terdiam dan tak mampu memberikan jawaban apa-apa, Alissa pun mulai mengusap bahu Bintang dan merapatkan posisi mereka.
"Sayang, bukan itu maksud Ayah. Tadi Ayah bilang mau ajak Bintang jalan-jalan saat Ayah libur itu biar kamunya nggak bosan di rumah melulu, supaya kamu bisa menghirup udara segar di luar, hitung-hitung refreshing seperti yang sering kita lakukan kalau Ayah libur kerja. Seperti yang Bunda bilang tadi, walau saat ini Bintang tidak bisa melihat apa-apa, tapi kamu masih bisa merasakannya, dengan menyentuhnya atau menciumnya."
Sedangkan penjelasan Alissa langsung dapat diterima baik oleh Bintang yang seketika mengangkat wajahnya kembali. "Oh gitu ya, Bun. Aku pikir Ayah bilang seperti itu karena lupa kalau sekarang aku buta. Kalau gitu aku mau deh pergi jalan-jalan sama Ayah dan Bunda seperti biasanya. Aku mau beli buku dongeng yang banyak, biar aku bisa dengar cerita setiap malam dari Bunda."
"Oke deh kalau begitu. Nanti Bunda beliin yang banyak ya. Mau sekalian sama tokonya nggak, buat stok bacaan Bunda dongengin kamu sama Gala?" tanya Alissa seraya terkekeh kecil, berniat untuk menggoda gadis kecil itu.
"Ih Bunda, apaan sih. Bacain aku aja, Gala nggak usah." Setelah melontarkan penolakannya, kini Bintang ikut tertawa malu bersama sang bunda yang kembali mulai menggodanya, membahas percakapan mereka sewaktu di rumah sakit tadi.
"Lupa ya, tadi bilang apa. Kamu bilang kalau Gala makin ganteng kalau lagi baca dongeng di kelas."
"Bunda… Tapi dia tetep nyebelin tau walaupun sebenarnya ganteng." Kali ini Bintang benar-benar keceplosan, ia lupa bahwa saat ini ada Rafka di antara mereka. Hingga gadis kecil itu segera menutup mulutnya rapat-rapat dengan kedua telapak tangan.
"Hmm, Ayah denger deh ini anak gadisnya udah bisa nilai anak cowok orang ganteng," adu Alissa yang seketika membuat Bintang mengatupkan kedua telapak tangan dan mengerjapkan matanya berulangkali.
"Maaf Ayah, Bintang gak sengaja bilang kayak gitu." Gadis kecil itu segera menjelaskan karena takut sang Ayah marah.
"It's okay. Kalau hanya untuk mengagumi saat ini nggak apa-apa, tapi untuk jatuh cinta nanti aja ya kalau kalian sudah sama-sama dewasa. Kayak Ayah dan Bunda dulu, pertama kali ketemu waktu sama-sama masih TK dan mulai bilang cinta setelah lulus SMA," jawab Rafka menanggapi dengan menerbitkan senyuman penuh kelegaan karena melihat Bintang bisa tertawa kembali, setelah sempat murung akibat perkataannya tadi.
"Jadi beneran boleh kalau Bintang hanya sebatas suka ya, Ayah? Tapi nggak jadi deh, aku nggak suka sama cowok nyebelin kayak Gala!" ucap Bintang yang masih plin-plan dengan keputusannya. Wajar saja, ia hanya gadis kecil yang tidak mengerti apa itu cinta.
"Duh, nanti kalau udah besar juga jadi suka beneran dan jatuh cinta deh. Cie, Nona Gala." Alissa yang masih belum puas untuk menggoda Bintang, masih terus melontarkan kata-katanya yang membuat gadis kecil itu merasa malu.
"Bunda jangan gitu dong. Aku nangis nih!" ancam Bintang yang kini sudah mengerucutkan bibirnya.
"Iya enggak deh, enggak. Udah ya, nggak perlu acting sok kesel gitu kalau lagi bahas Gala."
"Bunda…" teriak Bintang dengan gemas. Membuat Rafka geleng-geleng kepala, sementara Revan hanya bisa tersenyum memerhatikan dari kaca spion tengah tentang apa yang terjadi di belakang sana.
"Iya, maaf. Nggak lagi deh." Alissa segera mendekap erat tubuh Bintang agar mereka kembali berbaikan dan menyudahi pembahasan tentang Gala.
Rafka merasa beruntung dapat mendengar dan melihat langsung seperti apa kedekatan antara Alissa dengan putrinya. Kini tidak ada lagi rasa khawatir saat harus meninggalkan Bintang bersama Alissa di rumah jika jadwal pekerjaan mengharuskannya untuk pergi ke luar kota atau bahkan sampai ke luar negeri.
"Aku tidak salah memilih kamu, Al. Kamu adalah orang yang tepat," gumam Rafka yang diam-diam mengulas senyuman teduh penuh kehangatan.
Bersambung...