Selamat membaca!
Setibanya di depan ruang rawat Bintang, ketika Alissa hendak menarik kenop pintu berwarna putih, tiba-tiba pergelangan tangannya diraih oleh Rafka yang seketika menghentikan langkahnya.
Alissa menoleh, menatap wajah Rafka yang memerhatikannya penuh selidik. Lalu pria itu menarik Alissa agar menjauh dari depan ruangan tersebut. "Ikut denganku!" ucapnya begitu dingin.
Setelah menjauh dari ruang rawat inap putrinya, Rafka berniat untuk menyudahi ini semua sebelum Alissa terlanjur menemui Bintang untuk kali keduanya dan semakin membuat gadis kecil itu berharap, bahwa ibunya masih hidup, selamat dari kecelakaan nahas yang dialami mereka berdua.
"Mas, ada apa?" tanya Alissa dengan dahi yang mengerut dalam.
"Al, saya berubah pikiran. Sepertinya lebih baik sandiwara ini kita sudahi saja."
"Kenapa, Mas?" tanya Alissa, raut bingung sekaligus terkejut menghiasi wajahnya.
"Karena saya tidak ingin kamu dekat dengan Bintang, sementara masa lalumu bersama pria tadi belum selesai. Bahkan saat melihat ada saya bersamamu, pria tadi berani mengatakan semuanya di depan umum, dia berani menyentuh lenganmu dan bersikap layaknya seorang pengemis cinta. Itu sangat memalukan, Alissa. Bagaimana kalau suatu hari nanti, saat kamu sedang bersama Bintang kemudian dia datang dan bersikap seperti tadi, di hadapan Bintang dan juga di tempat umum? Lalu apa yang bisa saya katakan pada Bintang untuk menjelaskan semuanya bahwa kamu bukanlah Aura, bundanya."
"Mas, tapi itu tidak akan terjadi lagi karena kamu dengar sendiri 'kan tadi aku minta dia untuk tidak mendekati aku lagi. Lagipula hubunganku sudah selesai dengannya." Alissa coba menjelaskan nasib hubungannya dengan Rio yang telah berakhir.
"Tapi kamu masih mencintai dia, dan dia pun begitu. Jadi tidak menutup kemungkinan kamu tidak menolak saat dia datang menemuimu lagi suatu hari nanti!" bantah Rafka setelah menerka-nerka selama berada di dalam lift.
"Mas, untuk saat ini memang masih ada rasa cinta di hatiku untuk Rio, tapi wajar 'kan karena aku dan dia pernah menjalin hubungan selama dua tahun sebelum akhirnya dia berselingkuh. Aku sedang berusaha untuk menghapuskan rasa cinta ini, aku pun ingin segera melupakan semua tentangnya. Jadi sangat tidak mungkin kalau aku akan membuka hatiku kembali untuk pria yang pernah menorehkan luka di sana. Kamu tenang saja, Mas, dia tidak akan berani mengganggu lagi," jawab Alissa dengan jelas agar Rafka berhenti berpikiran buruk tentang dirinya.
"Tidak ada yang tidak mungkin karena cinta bisa membutakan mata manusia, Alissa. Apalagi kalian pernah menjalin hubungan sampai di luar batas. Tapi ada satu cara agar dia tidak menggangu kamu lagi, katakan padanya bahwa kamu akan segera menikah dengan saya, dan jika cara itu tidak membuatnya berhenti mengganggumu bahkan semakin berani secara terang-terangan, maka saya akan menyuruh anak buah saya untuk melenyapkannya dari muka bumi ini. Saya melakukan semua itu demi Bintang supaya dia tidak mengetahui bahwa kamu adalah Alissa dan bukanlah Aura," kecam Rafka dengan penuh penekanan di setiap kalimatnya agar Alissa mengerti dan segera bertindak.
Entah mengapa perkataan Rafka kali ini sungguh menyakitkan, lebih tajam daripada perkataan lainnya yang pernah ia lontarkan pada Alissa. Wanita itu hanya mampu mengerjakan kedua matanya agar tidak menitikkan bulir-bulir bening.
"Ya, aku akan memberitahunya sekarang juga." Alissa berucap dengan begitu lirihnya dan bergegas mengeluarkan ponsel dari dalam tas, lalu kedua ibu jarinya menari di atas permukaan benda pipih tersebut, mengetik sederet pesan untuk dikirim kepada Rio.
Setelah selesai mengetik pesan dan memastikan pesannya telah terkirim, Alissa menunjukkan ponselnya pada Rafka. "Aku sudah mengirimnya pesan. Boleh aku blokir lagi nomornya sekarang atau aku harus menunggu balasan darinya?" tanyanya agar tidak salah dan mendapatkan kembali kata-kata tajam yang sungguh menyayat hati.
"Kalau sebelumnya kamu sudah memblokir nomor pria itu, sekarang juga kamu boleh memblokirnya lagi." Rafka menjawab dengan wajah datar dan tatapannya begitu dingin.
Alissa segera memblokir nomor Rio kembali setelah melihat pesannya sudah dibaca oleh sang mantan kekasih, bahkan terlihat pria itu tengah mengetik pesan untuknya.
"Boleh aku menemui Bintang sekarang?" tanya Alissa tanpa basa-basi, berusaha melupakan semua kata-kata Rafka karena ia sendiri melakukan semua ini demi Bintang.
"Ya, kamu masuk duluan saja," jawab Rafka yang menganggap Alissa bisa memegang perkataannya sendiri dan membiarkan wanita itu untuk tetap melanjutkan sandiwara mereka berdua.
Tanpa menjawab perkataan Rafka, wanita itu pun bergegas memutar tubuhnya dan melangkah pergi dari hadapan pria yang sering kali melukai hatinya karena sebuah kata-kata.
Setelah membuka pintu, Alissa menemukan Bintang tengah bersama seorang suster. Tidak lupa wanita berparas ayu itu mengucapkan salam begitu melangkah masuk ke dalam kamar rawat gadis kecil itu.
"Assalamualaikum."
Baru mendengar sepatah kata, tiba-tiba terbit seulas senyuman yang menghiasi wajah cantik Bintang. Gadis kecil itu segera bangkit dari posisi tidurnya dan langsung dibantu oleh suster yang berada di sisinya.
"Wa'alaikumsalam. Bunda… Ncus, itu pasti Bundaku 'kan?" tanya Bintang dengan suaranya yang terdengar begitu antusias.
Suster itu menjawab iya dan membuat Bintang sangat bahagia.
"Bunda, sini peluk aku dong, Bun… Aku kangen banget sama Bunda." Suara bahagia itu menuntun Alissa untuk berlari dan memeluk erat tubuh Bintang yang mulai saat ini akan dianggap sebagai putri kandungnya sendiri, sampai Tuhan mengizinkannya untuk kembali melihat dunia.
"Sayang, maafin Bunda ya baru bisa datang menemanimu di sini." Dengan penuh kelembutan Alissa berkata seraya mengusap lembut pucuk kepala Bintang yang begitu erat memeluk tubuhnya. Lalu ia mengecup dalam-dalam dahi Bintang yang ternyata sering ia rindukan setelah pertemuan pertama mereka beberapa hari silam.
"Nggak apa-apa, Bunda. Aku ngerti kok karena ayah bilang Bunda perlu waktu untuk menjalani pengobatan di rumah sakit lain biar bisa sembuh. Bintang bahagia banget karena akhirnya Bunda bisa datang hari ini dan menemuiku di sini. Bintang udah boleh pulang ke rumah sama dokter lho, Bun. Iya 'kan, Ncus?" jawab Bintang yang telah diberikan pengertian oleh Rafka, walau pengertian itu hanyalah sebuah kebohongan belaka, lalu ia mengakhiri kalimatnya dengan sebuah pertanyaan pada sosok suster yang masih berada di tempat duduknya semula.
"Iya, Bintang. Nanti sore Bintang akan kembali pulang ke rumah. Bintang sudah boleh kumpul lagi dengan ayah dan Bunda sama-sama di rumah. Nah, karena Bunda sudah datang, Ncus pamit dulu ya, Ncus mau kembali kerja lagi," jawab Suster Amelia yang sering diminta Rafka untuk menemani Bintang jikalau ia ada keperluan mendesak di luar rumah sakit.
"Asik. Oke deh, Ncus. Semangat ya kerjanya. Makasih udah mau temani Bintang," ucap gadis kecil itu dengan wajah riangnya, walau ia tak mampu menangkap seperti apa sosok suster yang belakangan ini sering menemaninya dan mengajaknya bermain.
"Bu, saya pamit dulu ya," ucap Suster Amelia berpamitan pada Alissa yang tengah menyamar sebagai Aura, ia pun mulai bangkit dari posisi duduknya. Lalu ia mengusap pucuk kepala Bintang sebelum berlalu pergi. "Bintang, Ncus pamit ya. Kamu sehat-sehat terus ya sama Bunda dan ayah. Dadah Bintang cantik."
Alissa tersenyum manis seraya menganggukkan kepala. "Terima kasih ya, Sus, sudah mau menemani Bintang selama saya tidak ada."
"Sama-sama, Bu."
Begitupun dengan Bintang. "Siap, Ncus. Bintang akan sehat terus biar nggak ngerepotin ayah dan Bunda lagi. Dadah, Ncus." Bintang melambaikan tangannya ke arah Suster Amelia.
"Dah, Bintang."
Setelah punggung suster itu menghilang dari balik pintu, kini tinggallah Bintang dan Alissa di kamar rawat yang begitu luas, wanita itu mulai duduk di tepi ranjang dan mengusap pipi Bintang dengan lembut.
"Sayang, kamu sudah lapar belum? Ini sudah waktunya kamu makan siang loh. Kata ayah, Bintang mau makan disuapin Bunda 'kan?" tanya Alissa yang merasakan hanyut akan peran yang dilakoninya saat ini. Ia benar-benar terlihat tulus dan santai, tanpa merasa canggung apalagi gugup ketika berinteraksi dengan Bintang.
"Iya Bunda, aku udah pesan sama ayah minta dibawain steak tenderloin. Tadi Bunda dijemput sama ayah 'kan, sekarang ayahnya mana, Bun? Aku kok nggak dengar suara ayah."
Mendengar pertanyaan itu Alissa sempat kebingungan harus menjawab apa, karena tadi Rafka tak mengatakan soal ini padanya, mampir ke restoran steak saat dalam perjalanan ke rumah sakit pun tidak. Dan kini pria itu tak langsung menemui Bintang di kamar rawatnya, ia malah membiarkan Alissa masuk lebih dulu.
"Ah, iya sayang. Tadi ayah jemput Bunda di rumah sakit yang lain dan mengantarkan Bunda ke sini untuk bertemu dengan Bintang. Terus sekarang ayahnya lagi pergi ke restoran untuk beliin pesanan kamu. Tadi waktu di jalan bareng Bunda, ayah kelupaan jadinya kelewat deh. Sabar sebentar ya sayang, sebentar lagi ayah pasti datang bawain steak kesukaan kamu." Hanya jawaban itu yang terlintas dalam benak Alissa hingga ia melontarkannya pada Bintang.
"Tuh 'kan ayah pasti gitu deh kalau lagi berduaan sama Bunda, aku selalu dilupakan," ucap Bintang seraya mengerucutkan bibirnya, sebagai bentuk protesnya pada sang ayah yang tidak sekali ini saja melupakan pesanannya, tetapi jika menyangkut soal pesanan istrinya maka Rafka tidak akan pernah melupakannya sekali pun.
Alissa tertawa kecil melihat wajah cemberut Bintang yang begitu menggemaskan. Ia menggelengkan kepala sekilas karena tak menyangka bahwa Rafka akan mudah melupakan putrinya jika tengah berduaan dengan Aura. Seorang wanita yang membuat Alissa sangat penasaran tentang sosoknya yang sudah tiada.
"Jangan ngambek gitu dong, sayang. Kamu bikin Bunda gemes deh kalau lagi cemberut begini." Alissa mencubit kedua pipi Bintang yang gembul. Cubitan pelan yang sering diberikan juga oleh Aura.
"Bunda, kebiasaan deh suka cubit-cubit pipi aku. Aku tuh sampe diledekin sama Gala tau, gara-gara pipiku yang melar ini."
Alissa memutar otak dengan cepat, mencari tahu siapa Gala yang Bintang maksud. Namun, ia tak mengetahui nama itu karena belum selesai membaca isi map yang Rafka berikan. Alissa pun memilih untuk berakting pura-pura mengenal Gala yang kedengarannya cukup dekat dengan gadis kecil itu.
"Hmm, memangnya Gala bilang begitu sama kamu? Wah parah banget sih Gala, bisa-bisanya bilang putri Bunda yang paling cantik ini pipinya melar. Ini tuh bukan melar sayang, tapi chubby. Lucu tahu."
"Iya, Bun. Gala itu orang yang paling nyebelin. Nggak di rumah, nggak di sekolah, dia selalu ledekin Bintang. Padahal Bunda udah pernah tegor dia, tapi tetap aja Gala gak berubah."
Akhirnya rasa penasaran Alissa terjawab sudah, Gala adalah salah satu teman Bintang di rumah dan di sekolah. Itu artinya rumah Gala dan Bintang cukup berdekatan.
"Udah ah sayang, jangan manyun gitu. Sebelnya biasa aja jangan berlebihan, takutnya kalau sudah besar nanti jadinya kamu jatuh cinta deh sama Gala," ledek Alissa menggoda gadis kecil itu sembari mencolek pipi chubbynya.
Bintang menghentakkan kakinya, ia menampilkan raut kesal sembari menggelengkan kepala.
"Argh, Bunda… Bintang gak mau jatuh cinta sama Gala. Dia itu orang yang suka isengin aku sampai bikin nangis. Cuma sekali doang dia baik sama aku, waktu aku jatuh dari sepeda di depan rumah Gala, itu juga cuma sekali, kebanyakan bikin sebelnya."
Alissa dibuat terkekeh melihat sikap Bintang yang benar-benar terlihat kesal saat membahas tentang sosok Gala. Perkataan Rafka kini terbukti, dengan bersama Bintang dapat mengobati kesepian dan kesedihan yang sempat Alissa rasakan sejak putus dari Rio sampai kehilangan sang ibu untuk selamanya.
Wanita itu benar-benar merasa beruntung ada di sini bersama gadis kecil yang begitu menyenangkan, walau ayah dari gadis itu sering membentaknya dan menyakiti hatinya karena perkataan tajam yang terlontar dari mulutnya.
Dengan tiba-tiba Alissa mendekap erat tubuh Bintang, ia sangat ingin memeluknya untuk menghilangkan rasa sakit hati atas tuduhan tak berdasar dari ayahnya.
"Bunda pasti kangen banget ya sama aku, sampai Bunda mau peluk aku lagi kayak gini?" tanya Bintang yang merasa bahagia karena dapat merasakan pelukan hangat sang ibu setelah memendam rindu selama satu Minggu.
"Kangen pake banget. Kamu nggak masalah 'kan kalau Bunda akan sering peluk kamu kayak gini?"
"Nggak dong, Bun. Bintang malah senang banget tiap dipeluk sama Bunda. Waktu itu aku pikir aku enggak akan pernah bisa peluk Bunda lagi, Bintang takut banget kehilangan Bunda karena kecelakaan itu. Sekarang Bintang 'kan udah nggak bisa lihat wajah Bunda yang cantik lagi, jadi yang bisa aku lakuin saat ini adalah merasakan hangatnya pelukan Bunda."
Alissa tercekat tak percaya mendengar penuturan Bintang yang begitu dewasa, hatinya terenyuh bersama rasa haru karena dipertemukan dengan anak sepintar Bintang. Lagi-lagi ia dibuat penasaran akan sosok Aura yang memiliki anak hebat dan cerdas seperti Bintang. Penasaran bagaimana cara Aura mendidik Bintang hingga bisa menjadi seperti ini.
"Jangan sedih ya, sayang, Bunda akan selalu ada untuk Bintang, sampai kamu bisa kembali melihat. Begitu juga dengan ayah yang akan berjuang mencari pendonor yang cocok biar secepatnya kamu bisa melihat dunia yang indah ini. Sekarang Bintang bisa peluk Bunda, kapanpun yang kamu inginkan, kalau kamu rindu ingin melihat wajah Bunda, kamu bisa menyentuhnya seperti ini." Alissa melepaskan pelukannya perlahan, lalu meraih kedua telapak tangan Bintang dan meletakkannya di permukaan wajahnya.
"Apakah dengan seperti ini Bintang bisa merasakan seperti melihat wajah Bunda?" tanya Alissa sembari menuntun tangan mungil itu untuk menyentuh wajahnya.
Bintang menganggukan kepala, menarik kedua sudut bibirnya yang mungil hingga menerbitkan seulas senyuman manis. "Ya, Bunda. Aku seperti bisa melihat wajah Bunda yang cantik. Aku juga bisa merasakan pipi Bunda basah. Kenapa Bunda menangis?"
"Bunda hanya terharu sekaligus bangga memiliki putri yang luar biasa seperti kamu, sayang. Kamu tidak hanya baik hati dan juga cantik, tapi kamu juga sangat tabah menghadapi ujian dari Allah ini." Dengan penuh haru wanita itu mengungkapkan kekagumannya pada sosok Bintang.
"Selama ini 'kan Bunda selalu mengingatkan aku soal ini. Kita harus selalu sabar dan tabah ketika menghadapi ujian dari Allah. Kalau Allah kasih kita ujian, itu tandanya Allah sayang sama kita, biar kita ingat terus sama Allah. Iya 'kan, Bun."
Alissa tersenyum getir mendengar perkataan Bintang. Perkataan itu seolah menampar hatinya yang begitu lemah dan terpuruk saat mendapat ujian dalam hidupnya.
"Ternyata dia lebih kuat daripada aku. Dia yang masih sangat kecil untuk menerima semua ini begitu tabah, sementara aku malah berpikir untuk mati. Harusnya aku malu. Ya Allah, maafkan aku atas pikiran burukku kemarin." Alissa membatin di dalam hati sembari menatap lekat wajah Bintang yang sampai saat ini masih menghapus air mata dari pipinya.
Wanita itu tersenyum bahagia bisa dipertemukan dengan sosok gadis kecil yang mampu menyadarkannya dari pikiran buruk untuk mengakhiri hidup. Bersama dengan Bintang mungkin akan memberikannya pelajaran berharga dalam hidup Alissa.
"Aura benar-benar sukses menjadi orang tua yang baik untuk Bintang, dia berhasil mendidik dan menanamkan kebaikan dalam diri Bintang sejak masih kecil. Aku harus bisa meneruskan perjalanan Aura untuk mendidik Bintang dengan baik," tekad Alissa penuh keyakinan di dalam hati.
Tak lama setelah itu, pintu ruang rawat Bintang pun terbuka. Sepasang kaki melangkah masuk dengan perlahan lalu menampakkan dirinya yang baru saja tiba sambil menenteng paper bag berisi menu makan siang yang putrinya pesan.
"Halo, sayang. Maaf ya Ayah baru datang. Kamu pasti sudah lapar ya?" sapa Rafka pada putrinya, lalu meletakkan paper bag itu di atas nakas samping ranjang tempat Bintang duduk ditemani Alissa.
"Ayah… Akhirnya Ayah datang juga. Aku tungguin Ayah dari tadi tau. Perut Bintang udah laper banget nih, Yah."
"Maafin Ayah ya, sayang. Tadi Ayah lupa mampir waktu lagi di jalan anterin Bunda ke sini buat ketemu kamu, makanya Ayah langsung balik lagi deh ke restoran setelah selesai anterin Bunda. Sekarang kamu makan ya, mau disuapin sama Bunda 'kan." Rafka mencoba menjelaskan sedikit alasannya yang sudah biasa Bintang dengar jika menyangkut pesanan yang diinginkan putrinya, yang entah mengapa sering hilang dalam ingatan sampai lupa membawakannya.
Bintang pun segera menganggukan kepala dengan tersenyum lebar. "Mau, ayah. Bunda, suapin aku ya, aku pasti akan makan banyak kalau Bunda yang suapin," pinta Bintang seraya menyentuh punggung tangan Alissa setelah sempat merabanya.
"Iya sayang, Bunda siapin dulu ya steak yang dibawain Ayah," jawab Alissa dengan menyunggingkan senyuman.
Ketika ia hendak bangkit dari posisi duduknya, Rafka langsung menyentuh punggung Alissa dan menahannya agar tetap berada di posisinya saat ini.
"Bunda duduk aja ya, biar Ayah yang siapin steak untuk Bintang makan," ucap Rafka dengan suaranya yang terdengar begitu lembut, seperti saat ia berbicara dengan Aura selama 8 tahun belakangan ini.
Alissa terkesiap melihat perlakuan Rafka saat ini. Sikap pria yang setahunya sangat dingin dan arogan sejak pertama kali mereka bertemu, ternyata bisa berbicara dan bersikap lembut, dan penuh kasih sayang.
"Ini mimpi bukan sih? Barusan aku dengar dia bisa berbicara lembut sama aku," gumam Alissa yang masih tidak percaya.
Namun, seketika ia sadar mengapa Rafka bersikap seperti itu padanya.
"Oh my God, kenapa aku bisa mikir kepedean gini sih? Jelas-jelas Mas Rafka berbicara seperti tadi karena ada Bintang di sini. Come on Lisa, kamu jangan gila deh!" umpat wanita itu pada dirinya sendiri yang hampir membuncah tak percaya Rafka bisa berbicara lembut padanya.
"Bunda, ini kamu suapin Bintang ya. Kasihan dia sudah satu Minggu ini tidak nafsu makan karena jauh dari kamu." Rafka menyerahkan box berisi steak tenderloin pada Alissa, lalu ia ikut duduk di tepi ranjang, kemudian mengusap pucuk kepala putrinya lagi dan lagi.
"Iya, Mas," jawab Alissa seraya mengangguk dengan rasa hangat yang menjalar di seluruh tubuhnya. Darahnya seakan berdesir cepat, entah mengapa.
"Ayah, makasih ya udah jemput Bunda buat Bintang. Aku seneng banget sekarang bisa kumpul bareng Ayah dan Bunda sama-sama seperti waktu itu. Ayah sekarang pasti capek banget 'kan karena udah jagain Bintang selama dirawat di rumah sakit. Gimana kalau Ayah sekalian disuapin sama Bunda ya, biar capeknya Ayah hilang."
Mendengar perkataan Bintang membuat Alissa dan Rafka saling menatap satu sama lain. Alissa bingung harus menolak atau mengiyakan permintaan gadis kecil itu, sementara Rafka hanya mampu pasrah dan menghela napas panjang.
"Bun, suapin aku sekalian ya. Biar capekku hilang seperti yang Bintang bilang," ucap Rafka membuyarkan kebimbangan yang Alissa rasakan.
Lalu Alissa pun segera mengangguk setelah mendapat perintah seperti itu. "Iya Mas, aku akan suapin Bintang, sekalian bareng kamu."
"Bunda juga sekalian makan ya, jangan sampai nggak makan, nanti Bunda sakit," pinta Bintang yang begitu perhatian, membuat Alissa canggung harus makan satu box bersama Rafka, berbagi garpu satu sama lain.
"Iya sayang, Ayah akan lihatin Bunda biar makan bareng kita. Ayo, sekarang Bintang makan duluan, habis itu baru Bunda, terus Ayah suapan yang ketiga deh."
Alissa hampir kesulitan menelan salivanya sendiri. Ia gugup bukan main dengan jantung yang berdetak kencang tak karuan ketika Rafka terus mengabulkan keinginan Bintang yang seakan berusaha mendekatkan mereka yang jauh.
Wanita itu tak memiliki pilihan lain, selain menuruti apa pun keinginan Bintang yang telah mendapat persetujuan dari Rafka.
"Hei, jantungku. Kamu harus tenang ya, jangan berdebar seperti itu karena kamu malah akan membuatku semakin gugup tahu! Tenang. Ingat tenang!" batin Alissa memperingati jantungnya seolah akan jatuh dari tempatnya.
Setelah satu potongan kecil steak tenderloin masuk ke dalam mulut Bintang yang langsung mengunyahnya dengan bersemangat, kini giliran suapan kedua masuk ke dalam mulut Alissa. Wanita itu mengunyahnya dengan perlahan, sembari memotong potongan steak ketiga untuk disiapkan kepada Rafka, namun tangannya bergetar ragu.
"Bun, sekarang giliran aku ya," ucap Rafka mengingatkan Alissa yang sedari tadi tampak ragu-ragu hendak menyuapkan steak yang sudah dipotongnya.
"Eh, iya, Mas. Ini untuk kamu, aaa…" setelah mengumpulkan keberanian beberapa saat, akhirnya suapan ketiga itu berhasil mendarat di mulut Rafka yang seketika tertawa karena sauce steak tersebut sampai mengenai ujung hidungnya.
"Bunda gimana sih, kena hidung aku tahu!" protes Rafka, lalu meraih beberapa helai tisu untuk mengelap hidungnya.
Perkataan Rafka membuat Bintang terkekeh kecil membayangkan sauce steak belepotan hingga mengenai hidung ayahnya.
"Bunda… Bunda… Bunda gimana sih? Pasti gugup ya karena baru suapin ayah lagi setelah libur lama," kini giliran Bintang yang meledek Bundanya, setelah tadi Alissa sempat meledeknya tentang Gala.
Akhirnya Alissa dapat tersenyum lepas mendengar tawa renyah pasangan ayah dan anak di hadapannya, karena perbuatannya yang ceroboh. Ini untuk kali pertamanya Alissa melihat Rafka tertawa lepas.
"Ternyata dia bisa tertawa juga, aku pikir dia akan sama dinginnya di mana pun dia berada. Mas Rafka benar-benar suami sekaligus ayah yang luar biasa, dia mampu membatasi diri dengan orang lain dan bersikap sehangat ini pada yang namanya keluarga. Kamu semakin membuatku salut, Mas," batin Alissa yang hanya mampu berdecak kagum dalam hati.
Selalu ada masanya kapan Alissa bisa kagum pada sosok Rafka, atau kapan ia bisa sangat kesal pada pria itu. Dan Alissa akan berusaha mengimbangi sikap Rafka yang mudah berubah-ubah, tergantung keberadaan Bintang saat mereka tengah bersama.
Bersambung...