Selamat membaca!
Tak ada kata yang mampu menggambarkan betapa hancurnya perasaan Alissa kini, lagi dan lagi ia dikhianati oleh sang kekasih karena alasan yang sama. Alasannya sebab Alissa tak pernah mau memenuhi kebutuhan ranjang yang diinginkan oleh para pria yang menjalin kasih dengannya.
Alissa bukanlah wanita seperti itu, yang mudah dibutakan oleh cinta. Selama ini ia selalu berjuang untuk mempertahankan mahkota berharga sebagai seorang wanita. Alissa hanya ingin menyerahkan kesuciannya pada pria yang telah menghalalkan dirinya di hadapan Tuhan, penghulu, orang tua dan para saksi.
Namun, alasan Alissa yang terkesan kolot karena selalu menolak diajak berhubungan dan lebih mempertahankan harga dirinya daripada cintanya, membuat tiga orang pria yang pernah menjalin hubungan dengannya berakhir akibat perselingkuhan, termasuk dengan Rio Aksara.
"Maafin Lisa ya mah, Lisa nggak bisa mewujudkan impian mama yang ingin melihatku menikah sama Rio tahun ini. Kita nggak berjodoh mah. Rio nggak benar-benar tulus mencintai Lisa makanya dia selingkuh. Hati Lisa sakit banget mah, tapi Lisa akan berusaha kuat demi mama, aku nggak mau mama lihat kesedihanku." Alissa terus bergumam di dalam hati, sambil menatap ke arah luar kaca jendela taksi yang dinaikinya.
Sejak mengetahui perselingkuhan Rio, air mata wanita itu terus jatuh membasahi wajahnya yang sendu, menampilkan raut kesedihan yang mendalam. Alissa ingin menangis sepuasnya sampai ia merasa bosan karena wanita yang tengah patah hati itu tidak ingin menampakkan kehancurannya di hadapan sang ibu yang kini masih berjuang sembuh di meja operasi.
"Mah, mama harus cepat sembuh ya. Lisa mau bahagiain mama. Lisa nggak mau kenal sama yang namanya cinta lagi biar aku bisa fokus untuk membahagiakan mama selama masih dikasih umur panjang. Mama harus kuat, kuat berjuang menjalani operasi saat ini. Aku masih mau melewati banyak waktu bersama mama." Alissa sangat berharap di kedalaman hatinya, ia begitu membutuhkan sang ibu di saat-saat seperti ini. Memeluknya agar dapat mengobati kegundahan hati.
Tapi takdir berkata lain. Tuhan seolah memiliki sebuah rencana yang masih menjadi rahasia untuk jalan hidup seorang Alissa Maharani. Di tengah-tengah wanita itu berdoa dan berharap demi kesembuhan sang ibu, ponselnya berdering. Tertera pada layar benda pipih yang retak nomor rumah sakit tempat Andin dirawat selama beberapa Minggu belakangan ini menghubunginya.
Dahi Alissa seketika mengernyit, hingga kedua belah alisnya saling bertaut satu sama lain.
"Tumben rumah sakit telepon aku? Jangan-jangan mau kasih kabar kalau operasi mama sudah selesai ya?" gumam Alissa dengan begitu yakin sebelum menjawab panggilan yang masuk tersebut.
Tak ingin membuang kesempatan selagi ponselnya masih berdering, Alissa pun segera menjawab panggilan tersebut sembari mengusap wajahnya untuk menghapus air mata yang mulai berhenti menetes saat mendapat panggilan dari rumah sakit.
"Halo, selamat siang." Alissa lebih dulu memulai panggilan itu dengan mengucapkan salam.
"Selamat siang. Apa benar ini dengan putrinya Ibu Andin Permatasari?" jawab seorang wanita yang merupakan salah satu suster di rumah sakit, lalu mengakhirinya dengan sebuah pertanyaan.
"Benar Sus, saya Alissa anaknya Bu Andin. Suster pasti mau kasih tahu kalau mama saya sudah selesai operasi dan akan dipindahkan ke ruang rawat inap ya, atau harus masuk ruang observasi dulu? Sekarang bagaimana kondisi mama saya, Sus? Sudah stabil kan? Ini saya sebentar lagi sampai rumah sakit kok." Alissa menekan suaranya yang serak dan berat agar terdengar baik-baik saja. Ia berusaha bahagia dengan kabar yang akan disampaikan oleh pihak rumah sakit kepadanya.
Dari seberang sana terlihat seorang suster mulai ragu untuk memberitahu kabar Andin yang sungguh di luar dugaan, tapi percaya atau tidak, itulah kenyataan yang harus diterima karena semua terjadi atas takdir Tuhan.
"Halo, Suster. Apa suara saya terdengar di sana?" tanya Alissa yang penasaran karena tak kunjung mendengar kabar yang hendak disampaikan oleh wanita yang bekerja di rumah sakit itu.
Hingga akhirnya suster tersebut terpaksa, mau tidak mau harus segera menyampaikan kabar kurang enak tersebut, walau di saat yang tidak tepat karena hati Alissa tengah merasakan luka yang begitu dalam.
"Mohon maaf, apa mbak bisa datang ke rumah sakit secepatnya? Ini menyangkut kondisi Ibu Andin." Akhirnya suster itu tidak berani menyampaikannya lewat sambungan telepon karena takut terjadi sesuatu pada keluarga pasien satu-satunya ketika masih berada di perjalanan menuju rumah sakit.
"Ada apa dengan mama saya, Sus? Ini saya masih di perjalanan, sebentar lagi saya sampai di rumah sakit." Perasaan Alissa berubah gelisah dan tak enak hati. Terlebih nada suara suster tersebut bergetar, seolah ragu untuk mengatakannya lewat sambungan telepon.
"Baik, Mbak. Kalau begitu nanti Mbak bisa langsung bertemu dengan Dokter Lily di rumah sakit ya."
"Memangnya ada apa, Sus? Apa yang terjadi sama mama saya, tolong katakan dan jangan buat saya takut, Sus. Please…" Alissa memohon dengan suara bergetar, rasa takut dan gelisah mulai menyelimuti hatinya.
"Mohon maaf, Mbak, saya tidak bisa menyampaikannya lewat telepon. Mungkin Dokter Lily yang lebih memiliki kapasitas untuk menyampaikan hal tersebut secara langsung pada Mbak Alissa. Kami tunggu kedatangannya di rumah sakit ya, Mbak."
Alissa hanya mampu mengangguk tanpa memberikan jawaban, walau ia tahu anggukannya tak diketahui oleh suster tersebut. Lalu panggilan itu pun terputus.
"Pak, bisa agak cepat ya karena kedatangan saya ditunggu banget di rumah sakit," pinta Alissa pada sopir taksi yang sudah begitu sabar membelah jalanan ibu kota yang padat.
"Baik, Mbak," jawab sopir itu dengan tersenyum ramah.
Setelah menerima panggilan tersebut, entah mengapa pikiran Alissa tentang masalahnya dengan Rio teralihkan pada kondisi ibunya saat ini. Ia cemas dan itu terlihat dari raut wajahnya, ditambah ia terus memilin jari jemarinya untuk mengalihkan rasa takut yang bertahta dalam pikiran Alissa.
"Ya Allah, semoga mama baik-baik saja saat ini. Aku mohon, jangan biarkan keadaan mama memburuk. Aku ingin melihat mama sembuh, ya Allah. Sangat-sangat ingin," batin Alissa yang begitu berharap di kedalaman hati.
Entah apa jadinya jika setibanya Alissa di rumah sakit nanti ia mengetahui kondisi ibunya saat ini, di tengah-tengah hatinya yang terluka. Entah Alissa kuat atau tidak untuk kali ini menerima ujian dari Sang Khalik, sang pemilik kehidupan.
Sesampainya di pelataran lobi rumah sakit, Alissa keluar dari taksi yang ditumpanginya. Entah kenapa perasaannya berkecamuk tak menentu, pikiran seolah menuntut jawaban atas kondisi ibunya saat ini.
"Mah, tunggu Lisa ya. Sebentar lagi Lisa sampai di ruangan mama. Lisa berharap nanti sudah bisa lihat mama buka mata, peluk aku dan cium keningku. Hanya mama yang Lisa punya saat ini, yang bisa menenangkan Lisa dari kegelisahan ini," batin Lisa penuh harapan, menarik tipis kedua sudut bibirnya dengan perasaan tidak sabar untuk bertemu dengan sang ibu. Sementara kedua kakinya terus melangkah panjang dengan tergesa.
Namun, harapan Lisa langsung dipatahkan oleh sebuah kenyataan saat kedua matanya disuguhkan pemandangan menyakitkan. Ia melihat tubuh sang ibu yang terbujur kaku dan dikelilingi oleh dua orang dokter dan beberapa petugas medis lainnya di ruang operasi. Di sanalah Alissa dibawa masuk oleh suster yang tadi menghubunginya, yang memang menunggu kedatangannya di depan ruang operasi.
"Mah… Mama…" Alissa bergegas melangkah dengan setengah berlari menuju tempat sang ibu terbaring di sana. Ia menjerit histeris melihat kenyataan itu. Tak peduli dengan beberapa orang yang tubuhnya di tabrak oleh punggung kanan dan kirinya.
"Mah, bangun mah…"
Alissa langsung memeluk Andin yang sudah tak bernyawa. Ia mencoba membangunkan sang ibu dengan sekuat tenaga. Akan tetapi usahanya tak membuahkan hasil apa-apa, Andin tetap tidak terjaga dari tidur terakhirnya. Hal itu membuat Alissa tidak percaya dengan semua ini. Ia tak percaya bahwa saat ini ibunya benar-benar pergi meninggalkan dirinya yang rapuh untuk selama-lamanya.
"Dok, kenapa mama saya nggak bangun-bangun? Apa yang terjadi pada mama saya, Dok?" tanya Alissa yang kini menatap ke arah Dokter Lily tanpa mengurai pelukannya dari tubuh kaku sang ibu. Ia menuntut jawaban pada seseorang yang bertanggung jawab atas Andin selama dirawat di rumah sakit ini.
Dokter Lily pun segera menghampiri Alissa, ia mendaratkan tangannya di atas punggung wanita itu yang bergetar hebat. Terlihat jelas gurat kekecewaan di wajah Dokter Lily, bahkan tampak air mata membasahi wajahnya.
"Mbak, kami sudah melakukan segala upaya untuk menyelamatkan Bu Andin jelang operasi. Semua terjadi begitu cepat, kondisi pasien menurun drastis dari hasil pemeriksaan terakhir sebelum dibawa ke ruang operasi. Kami sudah melakukan semua upaya dengan semaksimal mungkin, tapi takdir berkata lain. Dengan penuh penyesalan saya harus mengatakan jika Bu Andin tidak berhasil kami selamatkan."
Penjelasan itu bagaikan belati tajam yang menghujam jantung Alissa berkali-kali. Dunianya seketika terbalik, hidupnya terasa hancur berkeping-keping menjadi pecahan yang tak terbentuk lagi. Dunia Alissa seketika berubah menjadi hitam, gelap gulita dan semua seakan menghilang dari pandangannya.
Bersambung...