Selamat membaca!
Satu Minggu berlalu. Hari-hari yang Alissa jalani penuh dengan air mata dan kesedihan karena kehilangan muara kasihnya yang tersayang, sang ibu. Tidak ada seulas senyuman yang tercetak dari kedua sudut bibirnya, sekalipun menariknya dengan terpaksa untuk membalas ucapan banyak orang yang mengucapkan bela sungkawa padanya.
Lengkap sudah kehilangan yang Alissa rasakan, kini ia hanya hidup seorang diri tanpa orang tua dan saudara. Kesepian yang membuatnya terkadang putus asa dan berpikir untuk mengakhiri hidup. Tidak ada lagi semangat hidup dan tujuan yang harus diraihnya, sebab tujuan itu sudah tiada untuk selamanya.
Selama satu Minggu itu juga Alissa tidak mengunjungi Bintang yang masih dirawat di rumah sakit, ia bingung harus bersikap bagaimana dengan kesedihan yang masih menyelimuti hati dan pikirannya. Rasanya wanita itu tak kuasa untuk melanjutkan sandiwaranya dengan berpura-pura menjadi Aura dan terus membohongiku Bintang.
Baru saja berbicara soal Bintang, tiba-tiba saja ayah dari gadis cantik itu menyambangi kediaman Alissa untuk membawa wanita itu menemui putrinya yang terus meminta ingin bertemu bundanya.
"Alissa, mau sampai kapan kamu akan terus mengurung diri dan menyiksa putri saya yang terus meminta bertemu denganmu?" Pertanyaan itu terlontar dari mulut Rafka yang sudah duduk berhadapan dengan Alissa di ruang tamu kediaman wanita itu yang berukuran minimalis.
Alissa menundukkan wajahnya dalam-dalam, pertanyaan itulah yang terus menghantui pikirannya, hal tersebut mengaitkan Alissa dengan sebuah tanggung jawab. Namun, wanita itu merasa tak mampu untuk melangkah lebih jauh lagi dengan bersandiwara menjadi Aura.
"Alissa, kamu mengerti bahasa Indonesia tidak sih? Jawab pertanyaan saya! Mau sampai kapan kamu akan menyiksa putriku yang terus mengatakan ingin bertemu bundanya?" tanya Rafka dengan rahang mengeras karena ia merasa kesal selalu tak mendapat jawaban yang memuaskan dari wanita itu.
"Tapi aku bukan bundanya, Tuan. Aku Alissa, bukan Aura, bukan istrimu dan juga bukan seorang ibu yang melahirkannya ke dunia. Aku bukan siapa-siapa kalian." Alissa akhirnya membuka suara dan memberikan jawaban dengan mengangkat kepala, lalu menatap dalam wajah Rafka yang terlihat kesal padanya.
"Lalu bagaimana dengan janjimu satu Minggu yang lalu?" tanya Rafka kembali setelah mengembuskan napas berat.
"Soal itu, aku benar-benar minta maaf, Tuan. Sepertinya aku tidak bisa melanjutkan sandiwara ini, aku tidak ingin melangkah terlalu jauh untuk membohongi Bintang, aku tidak tega," ungkap Bintang yang berusaha memberanikan diri menyuarakan isi hatinya.
Mendengar hal itu membuat tatapan Rafka melembut, rahang wajahnya tak lagi mengeras. Hatinya terenyuh karena paham apa yang Alissa rasakan kini. Ia sadar, bahwa bukan seperti tadi caranya bersikap.
"Alissa, tolong jangan seperti ini. Saya butuh kamu untuk menjadi Aura sampai putri saya bisa melihat kembali. Kita sama-sama sudah terlanjur melangkah dan mengatakan pada Bintang bahwa kamu adalah Aura yang selamat dari kecelakaan itu. Saya paham posisi kamu saat ini karena saya juga masih merasakan kehilangan seseorang yang paling berarti dan sangat saya cintai di dunia ini. Kita sama-sama harus kuat dan bangkit dari keterpurukan, walau masalah yang kita alami berbeda tapi percayalah dengan mengakhiri hidup, belum tentu kita kembali bertemu dengan orang yang kita sayang di kehidupan lain karena kita pergi dengan cara yang salah. Kamu pasti bisa, Alissa. Kamu pasti bisa melewati semua ini dan mungkin dengan bersama Bintang bisa mengurangi kesepian yang kamu rasakan, biar kamu tidak merasa sendirian di dunia ini."
Alissa semakin memperdalam tatapannya, ia seakan tak percaya mendengar penuturan yang terlontar dari mulut pria dingin dan selalu berbicara dengan nada ketus padanya. Namun, mendengar kalimat demi kalimat yang Rafka ucapkan mampu membuka pikiran Alissa yang hampir tertutup rapat dengan keputusasaan menjadi terbuka lebar, ia sadar bahwa memilih mengakhiri hidup belum tentu membuat masalahnya berakhir.
"Tolong saya, Alissa. Saya dan Bintang sangat membutuhkan kamu. Kamu mau 'kan bantu saya untuk menemani Bintang sementara waktu sampai saya berhasil menemukan pendonor yang cocok," mohon Rafka untuk pertama kalinya pada Alissa, agar wanita itu mengabulkan permohonannya demi kebahagiaan Bintang dan kesehatan putri kecilnya itu.
Air muka Rafka saat ini membuat Alissa luluh dan tak memiliki alasan untuk menolak.
"Sepertinya benar yang pria itu bilang, mungkin dengan menemani Bintang aku tidak akan merasakan kesepian hidup di dunia ini, aku tidak akan merasa sendirian karena memiliki teman seorang gadis kecil yang sangat cantik dan menggemaskan itu. Lagipula aku sudah berjanji pada Tuan Rafka, bahkan aku sudah memakai uang bayaran darinya di awal. Ya, aku harus menepati janjiku sama dia," batin Alissa dengan mantap di kedalaman hatinya.
Kemudian Alissa pun mengangguk untuk mengiyakan permohonan Rafka. "Baik, Tuan. Aku bersedia jika kamu membutuhkanku. Aku siap menemani, menjaga dan menyayangi Bintang seperti putriku sendiri. Lalu apa yang harus aku lakukan sekarang?"
Rafka menarik kedua sudut bibirnya hingga menerbitkan seulas senyuman penuh rasa lega, hatinya tenang mendengar jawaban Alissa yang sungguh menyejukkan pikirannya.
"Terima kasih Alissa, karena kamu sudah memberikan keputusan yang tepat demi Bintang. Sekarang kamu hanya perlu ikut bersama saya ke rumah sakit untuk bertemu Bintang, dia sudah tidak sabar ingin bertemu denganmu. Dan kabar baiknya, nanti sore Bintang sudah diizinkan pulang ke rumah oleh dokter, jadi mulai hari ini kamu akan tinggal di rumah saya bersama Bintang ya." Rafka menjelaskan hal-hal yang belum diketahui Alissa selama satu Minggu ini, termasuk tentang kepulangan Bintang hari ini karena kondisinya semakin hari semakin membaik.
"Hmmm, mulai hari ini, Tuan?" tanya Alissa ragu, lalu mengatupkan bibirnya rapat-rapat.
Rafka mengangguk untuk menjawab pertanyaan wanita itu. "Ya, hari ini. Tidak masalah 'kan."
"Kalau begitu izinkan aku untuk berkemas sebentar ya, aku akan membawa baju-bajuku sekalian biar tidak bolak-balik." Alissa yang sudah bangkit dari posisi duduknya langsung bergegas pergi menuju kamarnya untuk mengemas pakaian yang akan dibawa untuk tinggal bersama Bintang.
Walau ada perasaan berat harus meninggalkan rumah masa kecil bersama kedua orang tuanya, tempat di mana ia dibesarkan penuh kasih sayang, kendati tidak selamanya dan hanya pergi sementara waktu, tapi tetap saja rasa berat hati itu muncul dalam diri wanita malang yang kini hidup sebatang kara.
"Mah, pah, Lisa pamit pergi selama beberapa bulan dari rumah ya. Lisa janji akan pulang lagi dan sering datang untuk merawat rumah ini. Lisa juga janji tidak akan larut dalam kesedihan terlalu lama, maaf ya selama beberapa hari ini tangisan Lisa membuat kalian tidak tenang. Sekarang perasaan Lisa sudah jauh lebih baik, aku juga akan berusaha mengikhlaskan kepergian kalian dari hidupku, walau ini sangat sulit. Mama dan papa bahagia terus ya di surganya Allah. Aku sayang kalian," ucap Alissa yang berpamitan pada kedua orang tuanya yang telah tiada. Mengusap bingkai foto yang setiap malam menemani tidurnya, lalu mengecup singkat permukaan kaca tersebut, kemudian meletakkannya kembali di atas nakas.
Alissa bergegas memasukkan cukup banyak pakaian ke dalam koper untuk dibawa ke rumah Rafka. Perasaannya saat ini berkecamuk tak karuan karena mulai hari ini dirinya akan mulai tinggal satu atap dengan pria asing yang bagaikan sosok malaikat untuknya. Bagaimana tidak, ini pengalaman pertama bagi Alissa menjalani sandiwara setotatalitas ini, dengan tinggal bersama sampai harus menikah siri.
"Semoga saja kehidupanku setelah ini tidak semenyeramkan yang ada di bayanganku sejak beberapa hari yang lalu. Aku berharap, kehidupan sandiwara yang akan segera aku mulai ini semanis seperti di FTV. Aku hidup bahagia menjalani peranku, menikmati setiap waktu yang aku habiskan bersama Bintang, tanpa Tuan Rafka. Ya, aku harus bahagia!" gumam Alissa yang mulai memupuk harapan itu di dalam hati.
Alissa sangat ingin menunjukkan pada Rio dan seluruh keluarga besarnya yang datang di pemakaman sang ibu, bahwa ia bisa bahagia walau tanpa Rio, tidak seperti yang mereka katakan saat di pemakaman Andin bahwa Alissa akan menyesal karena tidak mau memaafkan kesalahan Rio dan tak memberikan kesempatan kedua untuk sang mantan kekasih yang jelas-jelas sungguh melukai hatinya.
"Rio, kamu yang akan menyesal karena telah mengkhianatiku, bukan aku yang menyesal karena tidak memberimu kesempatan kedua!" ucap Alissa di depan cermin sembari menaikkan kedua alisnya dengan penuh rasa percaya diri.
"Alissa, kamu sudah siap belum? Sebentar lagi waktunya Bintang makan siang nih. Dia bilang ingin makan disuapi sama kamu!" teriak Rafka dari ruang tamu yang sudah menunggu cukup lama.
Seketika Alissa bergegas menutup kopernya dan menyeretnya keluar dari kamar. Ia kembali menghampiri Rafka yang telah bersiap untuk pergi.
"Maaf sudah membuatmu menunggu lama, Tuan. Aku sudah siap, yuk kita pergi," ajak Alissa dengan suaranya yang lembut, hampir serupa dengan suara milik Aura yang tidak asing di telinga Rafka.
Pria itu menoleh sekilas ke arah samping, menatap wajah Alissa yang entah kenapa akhir-akhir ini mirip dengan Aura. Entah itu sebuah kebetulan atau memang pandangannya yang berhalusinasi tengah menatap wajah Aura.
"Aku seperti mengalami Dejavu. Dulu aku pernah menjemput Aura untuk pulang dari rumah orang tuanya saat dia menginap selama aku melakukan perjalan bisnis ke luar negeri. Kenapa sekarang aku seperti merasakan berada di posisi itu kembali?" batin Rafka yang sangat sulit melupakan mendiang istrinya yang tak dapat tergantikan oleh apa pun.
Bahkan Rafka sempat merasakan getaran di hatinya saat menatap wajah Alissa terlalu lama, ia segera menepis getaraan itu dan menyuruhnya untuk segera enyah.
"Aku tidak boleh merasakan getaran ini terlalu sering, getaran ini adalah milik Aura. Lagipula aku sudah berjanji tidak akan menduakan Aura, sekalipun dia telah tiada. Bahkan aku menikah dengan Alissa hanya karena Bintang, bukan karena hal lain. Sepertinya setelah menikah nanti, aku harus menghindari interaksi dengan Alissa secara langsung agar aku tidak salah langkah dan mengingkari janjiku pada Aura. Mungkin untuk saat ini tidak ada salahnya aku ramah pada wanita itu dalam batas sewajarnya, agar dia tidak mengundurkan diri dari sandiwara yang sudah terlanjur tercipta ini," batin Rafka yang semakin tenggelam dalam pergolakan batinnya sendiri di hati.
Hingga lamunan Rafka berhasil dibuyarkan oleh Alissa yang menatapnya penuh tanda tanya. "Tuan, kita jadi pergi sekarang 'kan?" tanya wanita itu dengan berani karena merasa kedatangannya di rumah sakit sangat dinantikan oleh Bintang.
"Ah, iya. Silakan kamu kunci rumah dulu, saya tunggu di mobil!" jawab Rafka lalu bergegas melangkah pergi meninggalkan rumah tersebut. Menyembunyikan wajahnya yang kini entah semerah apa karena kepergok tengah memperhatikan Alissa cukup lama.
"Tuan Rafka kenapa sih tadi ngeliatin aku seperti itu? Aduh, kok sekarang aku jadi takut ya. Aku takut akan terjebak dalam sandiwara ini. Mana dia tampan banget lagi, baik dan perhatian pula. Ya ampun, aku ini malah mikir apa sih? Jangan sampai aku tergoda karena ketampanan dan kebaikannya, kuatkan imanku, ya Allah." Alissa memukul kepalanya sendiri karena sudah berani berpikir yang tidak-tidak tentang hubungannya ke depan bersama Rafka.
Memang tak bisa dipungkiri, begitulah sosok Rafka yang begitu perfeksionis di mata kaum hawa. Banyak yang mengaguminya diam-diam dan kini banyak yang berharap bisa menggantikan posisi Aura di samping pria kaya raya yang tampan itu.
Mungkinkah Alissa dapat menahan diri untuk tidak tergoda akan ketampanan Rafka yang kini dicap sebagai hot duda beranak satu? Entahlah, tapi satu yang pasti, takdir Tuhan tidak akan pernah bisa untuk dihindari sekeras apa pun hati seseorang untuk menolak.
Bersambung...