Selamat membaca!
Untuk pertama kalinya Alissa menumpang di mobil mewah milik Rafka, mobil limited edition yang sepengetahuannya memiliki harga fantastis dan hanya meluncurkan lima unit mobil saja di dunia. Hal itu membuat Alissa merasa canggung, merasa dirinya tidak pantas duduk di depan, samping kursi kemudi yang Rafka tempati.
"Ternyata dia benar-benar kaya, pantas saja dia begitu mudahnya langsung membayar biaya pengobatan mama waktu itu tanpa berpikir panjang. Beruntung sekali wanita yang pernah menjadi istrinya, memiliki suami tampan, anak yang sangat cantik, harta yang berlimpah, disayang banget lagi sama Tuan Rafka," batin Alissa mengisi kesepian hatinya jika tak bersuara.
Wanita itu semakin tenggelam dalam decak kagum pada sosok pria yang sebentar lagi akan menjadi suami sirinya.
Alissa merasa sangat beruntung dipertemukan dengan orang sebaik Rafka, bahkan karena pria itu juga ia memilih untuk tetap melanjutkan hidupnya walau telah kehilangan orang-orang yang disayanginya.
Sepertinya kini wanita itu ingin mengucapkan rasa terima kasihnya pada Rafka secara langsung, sebab sejak kedatangan duda tampan itu ke rumahnya membuat Alissa merasa dibutuhkan. Itu cukup membuatnya merasa senang dan berusaha bangkit dari keterpurukan.
"Tuan Rafka, boleh 'kan kalau aku mau bilang makasih?" tanya Alissa yang coba meminta izin lebih dulu sebelum mengucapkannya.
"Untuk?" tanya balik Rafka tanpa mengalihkan pandangannya dan terus fokus menatap ke depan.
"Makasih karena Tuan sudah sangat baik padaku. Mulai dari pertama kita bertemu sampai dengan detik ini."
"Sama-sama," jawab Rafka begitu singkat tanpa basa-basi.
"Hanya itu saja jawabannya, Tuan?" tanya Alissa yang merasa sebal mendengar jawaban singkat, seperti tidak memiliki niat untuk bicara dengannya.
"Ya, karena menurut saya hanya itu jawaban yang tepat atas ucapanmu. Oh ya, saya hampir melupakan sesuatu." Tangan Rafka mulai merayap dan meraba-raba kursi jok di belakang , lalu ia meraih map berwarna biru yang di dalamnya terdapat hal penting yang harus dipelajari oleh Alissa dan langsung memberikan map tersebut pada yang dimaksud.
"Kamu harus baca ini sebelum sampai di rumah sakit. Saya sudah tulis apa saja yang harus kamu ketahui tentang Bintang, dan apa saja yang harus kamu lakukan saat sedang bersamanya," lanjut pria itu sambil sekilas menatap wajah Alissa yang kala itu mengerutkan dahinya.
"Oke, aku akan baca ini." Alissa pun segera menerima map yang berisi lima lembar kertas di dalamnya dan membukanya dengan perlahan tanpa buru-buru bertanya.
Wanita berparas ayu itu sempat terkejut saat melihat ada banyak kata di setiap lembar permukaan kertas putih yang ditatapnya, dari atas sampai bawah, depan dan belakang. Alissa menggaruk kepalanya karena merasa malas harus membaca tulisan sebanyak itu.
"Tuan, ini harus dibaca dari halaman 1 sampai 10?" tanya Alissa memasang wajah malas, lalu mengerucutkan bibirnya.
"Ya, karena itu penting!"
"Enggak bisa dicicil? Soalnya ini banyak banget, lima lembar alias sepuluh halaman loh. Bisa-bisa aku pusing setelah membaca tulisan ini."
"Tidak ada penawaran, Alissa. Hanya dengan membaca itu kamu tahu apa saja yang harus kamu lakukan selama berada di dekat Bintang. Saya tidak mau ya kamu keceplosan tentang hal-hal kecil saat berbicara dengan Bintang. Sekarang kamu bisa baca halaman satu dan dua dulu sebelum kita sampai di rumah sakit!" titah Rafka dengan tegas.
Alissa pun segera mengindahkan perkataan Rafka, ia mulai fokus membaca isi map itu dari halaman paling depan. Kedua belah alisnya tak lama kemudian saling bertaut setelah membaca paragraf pertama. Wanita itu menggerakkan tangannya dan menyentuh pundak tegap pria yang tengah fokus mengemudi.
"Tuan, ini serius aku harus panggil kamu Mas Rafka mulai saat ini?" tanya Alissa tanpa mengalihkan pandangannya dari isi map yang tengah dibacanya saat ini.
"Ya, selama ini begitulah cara Aura memanggil saya."
"Memangnya aku tidak lancang kalau harus memanggilmu seperti itu? Dan apa tidak masalah jika aku memanggilmu dengan sebutan Mas?" tanya Alissa kembali yang kini mulai mengalihkan pandangannya, menatap lekat wajah Rafka dari arah samping. Wajah yang selalu terlihat sangat tampan mau ditatap dari sudut pandang mana pun, terlebih bibirnya semakin terlihat seksi jika dilihat samping.
Rafka menoleh sekilas dan menampilkan seringai mengejek. "Coba kamu pikir sendiri, apa pantas dua orang yang telah menikah lalu istrinya memanggil suami yang menikahinya dengan sebutan Tuan?"
"Oh, iya juga sih. Oke, sekarang aku akan membiasakan diri agar tidak canggung. Maaf loh ya ini, kalau aku harus merubah panggilan itu mulai detik ini. Nggak apa-apa kan, Mas?"
Rafka tersentak kaget mendengar saat panggilan itu mulai terlontar dari mulut Alissa tanpa aba-aba, panggilan yang dulunya hanya milik Aura ketika wanita itu memanggil sang suami dengan suara khasnya yang begitu lembut. Dan hanya Aura seorang yang boleh memanggilnya dengan sebutan mas, tetapi kini ia malah meminta wanita lain agar menggantikan posisi Aura untuk mengucapkannya.
"Maafin aku, sayang. Sekarang aku malah melanggar janjiku untuk menjadikan kamu satu-satunya wanita yang boleh memanggilku dengan sebutan mas. Aku benar-benar minta maaf. Sebenarnya hatiku sakit mendengar wanita lain yang memanggilku seperti itu, bukan kamu lagi. Aku melakukan ini semua demi Bintang, demi putri kita, sayang…" batin Rafka begitu lirihnya di kedalaman hati, merasa bersalah sekaligus merindukan mendiang sang istri.
Hingga kerinduan dan rasa bersalah itu membuat konsentrasi Rafka yang tengah mengendarai mobil buyar seketika. Bahkan hampir saja pria itu menabrak pengendara motor yang berada di depannya, beruntung Alissa menyadarkan pria itu tepat pada waktunya, sebelum sesuatu hal buruk terjadi.
"Mas, kamu nyetirnya jangan sambil melamun dong. Hampir aja kamu nabrak ibu-ibu yang bawa motor tadi. Fokus, Mas!" ucap Alissa berusaha memulihkan kesadaran Rafka yang hampir mencelakai keduanya dan pengguna jalan lainnya.
"Iya, sorry. Tadi saya kurang fokus karena kepikiran sama Bintang. Pasti dia sudah menunggu lama kedatangan kita, terutama kamu." Rafka berkilah sambil mengusap dahinya yang mulai menimbulkan keringat karena keterkejutannya barusan.
"Mau gantian nyetir sama aku? Sepertinya kamu lelah deh, Mas, karena sudah satu Minggu ini kamu jagain Bintang sendirian di rumah sakit. Menepi sebentar ya, biar kita tukeran posisi duduk." Alissa dengan baik hati menawarkan Rafka untuk beristirahat sejenak.
"Tidak perlu." Namun, Rafka langsung menolak mentah-mentah tawaran Alissa dengan suaranya yang kembali terdengar ketus.
Hal itu tentu saja membuat Alissa merasa bingung. Ia heran dengan perubahan sikap Rafka yang bagaikan bunglon, mudah berubah-ubah tergantung tempat di mana dirinya berada.
"Lho, kok dia jadi berubah? Sebenarnya Mas Rafka ini kenapa sih sama aku, baru baik sebentar, sekarang udah mulai dingin lagi. Bahkan suaranya kembali terdengar ketus, setelah kejadian tadi. Apa aku ada salah? Tapi di mana salahku?" batin Alissa yang merasa sedih setiap kali Rafka bersikap dingin padanya.
Seketika Alissa memilih diam, menundukkan kepalanya dalam-dalam dan kembali membaca paragraf berikutnya dengan hati yang terasa melemah.
"Aku harus kuat dan terbiasa menghadapi situasi seperti ini. Mungkin memang dia tidak bisa bersikap hangat pada wanita lain yang tidak dicintainya, bahkan dengan wanita asing seperti aku yang baru dikenalnya selama beberapa hari ini, dan aku harus menghargai keputusan itu. Ya, harus!" gumam Alissa memutuskan dalam pergolakan batinnya sendiri.
Mulai saat itu, Alissa memilih untuk tidak banyak bicara, lebih baik diam dan tidak bersikap berlebihan saat hanya sedang berdua dengan Rafka karena ia hanya diperlukan bersandiwara saat sedang bersama Bintang, melakukan perannya sebagai seorang ibu untuk gadis kecil itu, bukan melakukan peran sebagai istri dari pria dingin yang duduk di sebelahnya.
Sementara itu, Rafka hanya mampu menyesali sikap dinginnya yang kembali lepas di hadapan Alissa, sikap refleks yang biasa ia tunjukkan pada banyak wanita di luaran sana yang berusaha mendekatinya.
"Maaf Alissa, aku belum terbiasa dengan kehadiran wanita lain, selain Aura di sisiku. Mungkin kamu akan lebih sering menghadapi semua ini jika kamu terus berusaha baik terhadapku seperti tadi," sesal Rafka seraya menggigit bibir bawahnya kuat-kuat untuk melampiaskan rasa kesal yang mengusik pikirannya.
Bersambung...