Bab 18

2220 Kata
Selamat membaca! Alissa yang panik melihat kondisi dahi Bintang memar dan terdapat beberapa lecet di bagian tubuhnya, ia segera meraih tubuh sang putri dan mendekapnya dengan erat. Pikirannya sudah melayang tak karuan entah ke mana ketika mendapati kejadian ini di saat dirinya menitipkan Bintang pada salah satu pelayan di rumah. "Naura, cepat panggil dokter! Katakan untuk datang secepatnya!" titah Alissa dengan napas yang terengah-engah. "Baik, Nyonya." Naura yang merasa bersalah dan belum sempat menjelaskan kronologi yang dialami Bintang, bergegas berlari masuk ke dalam rumah. Sementara pelayan lainnya yang mendengar keributan di luar segera berlari berhamburan keluar rumah. "Ya Allah, Non Bintang kenapa, Nyonya?" tanya salah seorang pelayan yang cukup terkesiap melihat keadaan Bintang yang berada dalam dekapan Alissa. "Saya juga belum tahu, Bi. Tadi kamu tahu saya ada di dapur 'kan, Bintang saya titipin sama Naura buat temani main di taman, tapi nggak tahu kenapa Bintang bisa jadi seperti ini, bisa main sampai keluar dari halaman rumah." Alissa menjelaskan dengan suaranya yang terdengar bergetar, beberapa kali ia mengusap dahinya tanda dirinya begitu panik dengan ini semua. "Permisi, Nyonya. Sini biar Non Bintang saya bawa ke kamar. Kata Naura, Dokter Faiz sebentar lagi sampai, dia berangkat dari rumah sakit," jelas seorang security yang berniat untuk memindahkan tubuh gadis kecil itu dari jalanan komplek ke dalam rumah. "Iya, Jod, tolong kamu gendong Bintang ke kamar ya. Saya mau hubungi Mas Rafka dulu. Sekalian yang lain tolong pindahin sepeda itu, bawa ke rumah biar kita tahu siapa pemilik atau orang yang mengendarai sepeda itu sampai bisa buat Bintang seperti ini!" titah Alissa yang berpikir bahwa semua ini adalah salah dari seorang pengendara sepeda yang tidak ada di sana setelah membuat putrinya tak sadarkan diri. Seorang security lainnya yang bernama Azam pun langsung menyahuti perkataan Alissa. "Saya sudah laporan sama Tuan Rafka, Nyonya. Tuan bilang akan segera pulang." Alissa tak ambil pusing akan hal tersebut dan segera bangkit dari posisinya, tanpa menjawab perkataan Azam, wanita itu berjalan di belakang Jody yang tengah menggendong tubuh Bintang menuju kamar gadis kecil tersebut. Sementara pelayan di luar rumah masih riuh mencari tahu siapa pelaku yang sudah membuat Bintang seperti ini, mereka sama-sama menyalahkan orang yang belum diketahui siapa si pemilik sepeda yang sudah dipindahkan dari lokasi kejadian dan menaruhnya di dalam pos security, karena saksi mata dari kejadian ini adalah Naura, pelayan yang bersama Bintang saat kejadian itu berlangsung. Setelah Jody merebahkan tubuh Bintang di permukaan ranjang milik gadis kecil itu, pria yang berprofesi sebagai security itu pun pamit undur diri untuk kembali ke pos dan menjaga keamanan. Sedangkan Naura sudah bersama Alissa di dalam kamar Bintang. Kini Alissa menatap lekat wajah Naura yang sejak tadi hanya berani menunduk, raut wajahnya menampilkan rasa bersalah sekaligus pasrah karena ia sadar telah lalai ketika diberi amanah untuk menjaga Bintang. "Naura, cepat katakan. Apa yang terjadi sebenarnya? Kenapa bisa terjadi seperti ini? Apa yang sedang kamu lakukan sampai Bintang bisa jatuh, tidak sadarkan diri dan di dekatnya ada sepeda yang entah itu milik siapa. Katakan, Naura!" ucap Alissa dengan tegas, sedangkan ujung kuku dan jemarinya terasa dingin tak terkira. "Anu… Anu, Nyonya. Saya benar-benar minta maaf karena sudah lalai menjaga Non Bintang. Tadi waktu lagi main di taman, tiba-tiba Non Bintang bosan dan minta jalan-jalan di luar halaman, saya ajak keluar deh, tapi tiba-tiba saja ada sepeda putih melintas ugal-ugalan terus nabrak Non Bintang yang pada saat itu melepaskan genggaman tangan saya, Nyonya. Terus orang yang bawa sepeda itu kabur waktu Non Bintang nggak sadar, dia lari gitu aja waktu saya teriak minta tolong sama Jody dan Azam yang ternyata lagi keliling ke halaman belakang rumah. Saya minta maaf banget, Nyonya. Tolong saya jangan dipecat, saya sangat butuh pekerjaan ini karena ada orang tua, adik-adik dan anak saya di kampung yang harus saya kasih makan. Saya mohon, Nyonya." Naura yang ketakutan akan akhir hayat pekerjaannya, memohon dengan sangat sembari mengatupkan kedua telapak tangannya di hadapan Alissa. Naura menangis, tetapi ia berusaha menahan agar tangisannya tidak pecah di hadapan Alissa yang telah dikecewakan, sampai tubuh lemas Naura tampak begitu terguncang. Melihat hal itu hati Alissa mengiba, dulu ia pernah memohon pada atasannya agar tidak mengeluarkannya dari perusahaan atas kesalahan yang bukan disebabkan olehnya, dan melihat Naura memohon seperti itu di hadapannya membuat hati wanita itu luluh, amarah dan rasa kecewa yang sempat membumbung tinggi seketika mereda dengan sendirinya. "Kali ini saya maafin kamu, tapi kejadian ini sangat fatal karena Bintang sampai celaka. Saya harap Mas Rafka tidak berpikir untuk memecatmu karena saya paham ini murni kecelakaan yang tidak disengaja. Doakan saja, semoga Bintang segera sadar, tidak ada luka serius dan memar di beberapa bagian tubuhnya lekas sembuh. Sekarang pergilah keluar, tunggu dokter yang tadi kamu hubungi dan antarkan dia ke kamar begitu sampai di rumah." Alissa yang berbaik hati mempersilahkan wanita berusia 20 tahun itu untuk keluar dari kamar tanpa menyalahkan Naura. "Terima kasih banyak, Nyonya, terima kasih banyak-banyak. Nyonya sangat baik hati, Nyonya baik sekali karena tidak sampai memecat saya. Saya janji, saya akan lebih hati-hati lagi saat bekerja. Sekali lagi mohon maaf yang sebesar-besarnya karena saya sudah buat Non Bintang seperti ini, Nyonya, ini semua murni atas kelalaian saya." Naura yang merasa lega mendengar jawaban Alissa segera mengungkap rasa syukur dan terima kasihnya pada sang majikan yang baik hati, pengganti Aura di rumah ini. "Sama-sama, Naura. Ya sudah sekarang kamu boleh keluar dulu, tolong katakan pada pelayan yang lain, saya butuh air hangat di baskom kecil dan sapu tangan untuk mengompres memar di dahi Bintang. Tolong minta segera dibawakan ke sini ya, Ra!" pinta Alissa yang masih cemas saat melihat benjol di dahi Bintang. "Baik, Nyonya. Kalau begitu saya permisi dulu." Naura pun segera memutar tubuhnya dan melangkah pergi dari kamar tersebut. Meninggalkan Alissa dan Bintang berdua di sana. Alissa bergegas duduk di tepi ranjang, mengusap permukaan dahi Bintang yang benjol, air mata jatuh setetes demi setetes, pikirannya semakin diselimuti rasa bersalah. "Sayang, maafin Bunda ya karena nggak becus jagain kamu dengan baik. Nggak seharusnya Bunda sibuk di dapur dan membiarkan kamu bosan main di taman." Wanita itu menangis, mengungkapkan rasa penyesalan yang telah memenuhi pikirannya. "Sayang, kamu bangun dong. Bunda janji tidak akan membiarkan kamu main sendirian lagi, Bunda juga janji akan temani kamu main selama apa pun. Ayo dong bangun, nanti kita main sama-sama dan belajar bareng Gala. Tadi pagi 'kan Gala sudah bilang seperti itu, makanya sekarang kamu bangun dong." Alissa berusaha membangunkan gadis kecil yang terbaring di atas ranjang. Ia melakukannya dengan perlahan dan penuh kelembutan sembari mengusap permukaan wajah Bintang dengan bercucuran air mata. Tak perlu menunggu waktu lama, akhirnya Dokter Faiz pun datang. Akan tetapi, dokter tampan itu tidak datang seorang diri. Melainkan bersama Rafka dan Nadia. Ya, Rafka pulang bersama Nadia yang seketika panik mendengar laporan dari salah satu security di rumah ini dan kebetulan mereka tengah bersama, hendak melakukan perjalanan menuju perusahaan X, namun perjalanan itu batal dan Revan ditugaskan untuk mewakili Rafka di saat terdesak seperti ini, tetapi Nadia malah memaksa ingin ikut melihat kondisi Bintang. Raut wajah Rafka tampak tidak bersahabat, ia terlihat marah sejak pertama kali sampai di rumah dengan kedua mata tajam yang mengkilat saat menatap ke arah Alissa yang menyambut kedatangan Dokter Faiz. "Dok, tolong periksa kondisi Bintang ya. Pelayan bilang kalau Bintang ditabrak oleh salah satu pengguna jalan yang menggunakan sepeda. Terdapat memar di siku sebelah kanan, lutut sebelah kanan dan di bagian dahi. Tolong sadarkan Bintang kembali, dok. Saya mohon." Alissa sampai memohon seperti itu di hadapan Dokter Faiz yang merupakan dokter kepercayaan di keluarga Rafka Wijaya, yang baru saja tiba di kediaman tersebut. "Baik, Nyonya. Sekarang izinkan saya untuk memeriksa kondisi Bintang dulu, silahkan Anda menunggu dengan santai, duduk di sofa sebelah sana, mungkin." Dokter Faiz mempersilahkan Alissa untuk duduk agar dapat merasa tenang dan tak lagi panik. Perkataan Dokter Faiz langsung mendapat penolakan dari Alissa yang menggeleng. Namun, saat wanita itu hendak mengatakan bahwa dirinya akan terus berada di samping Bintang, seketika urung saat sebuah tangan kekar meraih lengannya dan menariknya dengan kasar, hingga tubuh mungil Alissa tertarik ke belakang dan membawanya berdiri berhadapan dengan pria yang tak lain adalah Rafka Wijaya. "Ikut saya keluar!" ucap Rafka dengan nada suaranya yang terdengar dingin, ditambah sorot matanya yang tajam. Pria itu langsung menyeret Alissa yang berusaha untuk tetap berada di sana, menyaksikan pemeriksaan dokter dan ingin mengetahui apa hasilnya. "Mas, lepasin aku! Aku nggak mau ninggalin Bintang!" protes Alissa yang merasa tak suka Rafka menyeretnya dengan kasar di hadapan wanita lain. Wanita yang terus menatap tajam saat memerhatikan Alissa untuk pertama kalinya. Melihat sikap keras kepala Alissa yang tak menurut pada Rafka dan sikap cerobohnya sampai membuat Bintang mengalami kecelakaan hingga tak sadarkan diri, hal itu membuat Nadia sangat kesal dan menyayangkan keputusan Rafka karena telah memilih wanita yang salah untuk menggantikan posisi Aura di rumah tersebut. "Kenapa Rafka bisa seceroboh ini sih, memilih wanita yang tidak becus itu untuk mengurus Bintang?!" umpat Nadia dengan sangat kesal di dalam hati. Kemudian wanita itu mengesampingkan kekesalannya dan memilih untuk menghampiri Dokter Faiz yang tengah melakukan pemeriksaan terhadap Bintang, ia ingin bertanya banyak hal tentang kondisi putri sahabatnya, memastikan semuanya baik-baik saja dan ia berharap tidak ada luka serius yang dialami Bintang. Sesampainya di luar kamar Bintang, Rafka langsung menghempaskan lengan Alissa yang semula digenggamnya dengan kasar. Ia sangat murka sejak pertama kali mendengar laporan putrinya mengalami kecelakaan. "Kamu itu sebenarnya bisa nggak sih mengurus satu anak kecil saja? Kenapa bisa Bintang mengalami hal seperti ini? Apa yang kamu lakukan sampai putriku berada dalam bahaya?" cerca Rafka dengan beragam pertanyaan. Rafka melontarkan semua pertanyaan itu dengan suara baritonnya sembari mengarahkan jari telunjuknya secara tegas tepat di depan wajah Alissa. "Mas, aku benar-benar minta maaf. Tadi itu aku titip Bintang sama Naura karena aku mau buatin Bintang apple pie di dapur, a-aku… aku eng…" belum selesai Alissa mengatakan alasan yang sebenarnya, tiba-tiba saja Rafka langsung memotong perkataannya. "Cukup! Ini jelas salah kamu dan saya tidak bisa memaafkan kesalahan yang kamu buat dengan sengaja! Apalagi kesalahan itu sampai membuat Bintang celaka!" "Mas, dengar dulu penjelasan aku. Tadi itu Bi…" lagi dan lagi Rafka memotong kalimat Alissa secara paksa. Bahkan pria itu berdesis kesal sembari mengacungkan telunjuknya, tanda meminta Alissa diam. "Sstthh!! Jelas-jelas tugas kamu di sini itu adalah menjaga Bintang, merawat dia dengan baik dan selalu berada di sampingnya tanpa alasan apa pun! Ini bisa-bisanya kamu pergi ke dapur dan membiarkan Bintang bermain bersama pelayan yang tidak seharusnya melakukan tugas itu, lalu kamu masih mau membela diri setelah membuat putri saya celaka sampai dia tidak sadarkan diri. Iya?!" Emosi Rafka kian meluap dan semakin meletup-letup saat melihat Alissa menggerakkan bibirnya untuk menjelaskan sesuatu, hal itu membuat Alissa ketakutan, hatinya terguncang mendengar bentakan seseorang yang ditunjukkan secara langsung di hadapannya. "Kamu tuh harusnya sadar, tugas kamu itu di sini adalah untuk merawat Bintang, bukannya malah menjadi pembantu dan turun tangan sampai ke dapur. Di sini saya sudah menyiapkan banyak pelayan, kamu mau minta apa pun bisa katakan pada chef yang bertugas tanpa harus mengorbankan Bintang seperti ini. Harusnya kalau kamu malas-malasan merawat Bintang, kamu bisa katakan itu sejak awal agar kita tidak terikat dengan sandiwara ini terlalu jauh! Kamu itu tahu tugasnya menjadi seorang ibu tidak sih, Alissa?!" "Aku tahu, Mas… Kamu tidak perlu berbicara di hadapanku dengan nada tinggi seperti itu. Aku tahu semua ini salahku, aku salah dan aku minta maaf. Aku bukannya malas atau apa pun itu untuk menjaga dan menemani Bintang bermain, hanya saja aku terpaksa menitipkan Bintang yang masih mau bermain di taman pada Naura karena dia minta bundanya langsung untuk membuatkan apple pie, dia menginginkan itu…" Alissa hanya mampu mengatakan semua itu lewat gumaman hatinya, ia tak mampu menggerakkan lidahnya yang tak bertulang karena terasa kelu. Sedangkan diamnya Alissa semakin membuat Rafka kesal dan ingin terus meluapkan kekesalannya saat ini juga pada wanita itu. "Kamu dengar ya, Alissa. Saya membayar kamu untuk berada di sini adalah untuk menggantikan posisi Aura sebagai bundanya Bintang. Kamu harus tahu kalau Aura itu sangat sempurna menjadi seorang ibu, dia mampu mengerjakan apa pun tanpa melukai putrinya. Tidak hanya menjaga, dia juga bisa mendidik Bintang dengan baik, dan merawatnya penuh kasih sayang. Tadinya hati kecil saya berkata kalau kamu setidaknya bisa melakukan salah satu hal untuk menggantikan Aura, yaitu menjaga putriku dengan baik. Tapi ternyata hati kecil saya salah telah memilihmu, kamu sangat lalai untuk melakukan pekerjaan mudah ini. Bahkan saat kamu belum genap satu hari menginjakkan kaki di rumah ini, kamu sudah membuat Bintangku terluka, bagaimana kalau hari besok, lusa dan seterusnya, apa yang akan kamu lakukan pada Bintang? Dasar tidak becus!" Setelah puas mengungkapkan kekesalannya, Rafka pun kembali masuk ke dalam kamar Bintang, menutup pintu dengan kasar untuk menunjukkan suasana hatinya kini pada semua orang, terutama pada Alissa yang telah membuatnya ketakutan setengah mati sejak mendapat kabar kurang enak soal Bintang. Runtuh sudah pertahanan Alissa, wanita itu hancur sehancur-hancurnya, hatinya seakan jatuh dan tak lagi terbentuk mendengar setiap untaian kata yang begitu tajam, yang terlontar dari mulut Rafka. Perkataan yang selalu berhasil melukai hatinya. Alissa beranjak pergi dari posisinya, membawa hati yang tersakiti bersama tetesan air mata yang tak ingin berhenti jatuh beruraian dari kedua sudut matanya. Langkah Alissa begitu gontai menyeret kedua kakinya yang terasa lemas agar kuat melangkah, sembari menekan dadanya kuat-kuat. Alissa tak mampu mengungkapkan perasaan dan kesakitannya saat ini. Satu yang pasti, wanita itu menganggap dirinya tidak berguna ada di sini. Bersambung...
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN