Selamat membaca!
Setibanya di luar ruangan, tanpa mempersilahkan Alissa untuk duduk, Rafka ingin cepat-cepat melontarkan beberapa pertanyaan yang sempat mengusik pikirannya.
Dengan menatap lekat wajah Alissa yang merah dan matanya yang sembab, pria itu pun langsung bertanya, "Apa alasanmu kembali setelah pergi dan sebelumnya menolak tawaran dari saya? Berapa yang kamu inginkan? Dan kenapa kamu menangis saat saya memintamu untuk menemui saya di sini?"
Alissa menarik kedua sudut bibirnya, membentuk seulas senyuman untuk menutupi kesedihannya.
"Pertama, aku kembali lagi karena aku membutuhkan banyak uang untuk biaya pengobatan ibuku. Jujur, aku tidak punya uang sebanyak itu makanya aku kembali karena tawaran kamu. Kedua, entah kenapa aku merasa kasihan setelah mendengar cerita tentang Bintang darimu, makanya aku kembali datang ke sini dan siap menjadi ibu pengganti untuknya."
"Hanya itu saja?" tanya Rafka yang merasa tidak puas dengan jawaban Alissa karena wanita itu tidak menjawab seluruh pertanyaannya.
Alissa mengangguk tanpa merasa bersalah dan tak mengerti dengan tatapan pria bertubuh kekar di hadapannya.
"Lalu bagaimana dengan pertanyaanku yang lainnya? Kenapa kamu tidak menjawabnya?" Kedua alis Rafka terlihat saling bertaut dengan sorot mata yang tajam.
Alissa bergidik ngeri menatap tatapan itu, bulu-bulu pundaknya meremang, membuat wanita itu tersadar bahwa ia belum menjawab berapa nominal yang dibutuhkannya.
"Maaf jika permintaanku berlebihan, tapi apa boleh aku meminta bayaran 750 juta untuk biaya transplantasi ginjal ibuku? Dan maaf sekali lagi, aku membutuhkan uang itu sekarang juga, Tuan, karena ibuku harus secepatnya ditangani." Alissa mengatupkan kedua telapak tangannya di hadapan Rafka, ia berharap pria itu tidak menolak permohonannya yang sungguh-sungguh membutuhkan uang sebanyak itu.
Namun, Rafka tak langsung menjawab permintaan Alissa yang menurutnya 750 juta bukanlah nominal besar untuknya, itu bukan perkara sulit dan sangat mudah untuk membayarnya. Hanya saja ia tertegun karena merasa ada getaran di hatinya setelah mendengar alasan Alissa yang rela mengorbankan dirinya untuk sosok wanita yang dipanggil ibu.
"Oh, jadi ini alasan kenapa dia menangis dan bersedih sedalam itu, karena ibunya sakit dan dia tidak punya uang untuk membayar biaya pengobatannya!" batin Rafka dengan ekspresi datar.
Melihat Rafka yang tidak kunjung menjawab permohonannya, Alissa pun segera merogoh tasnya dan mengambil sebuah kartu yang merupakan identitas dirinya, lalu ia menyodorkannya ke arah Rafka.
"Tuan, percayalah padaku, aku tidak akan membawa kabur uangmu. Ya, aku mengerti kita baru kenal dan kamu tidak tahu siapa aku, tapi kamu tenang saja karena aku tidak akan lari dari tanggung jawab walaupun kamu membayarku di muka, aku akan menepati janjiku untuk tetap menikah denganmu sampai Bintang sembuh dan dia bisa melihat dunia lagi. Ambillah KTP-ku, anggap saja ini sebagai jaminan bahwa aku tidak akan kabur setelah ini." Alissa meraih sebelah tangan Rafka, lalu ia meletakkan KTP-nya di telapak tangan pria berwajah dingin itu.
Tak disangka-sangka, Rafka langsung mengembalikan kartu identitas wanita yang akan dinikahinya secara siri itu, ia menempelkan kartu tersebut tepat di permukaan d**a wanita itu hingga telapak tangannya melekat sekilas di sana. d**a yang berdetak cepat, tidak seperti biasanya.
"Saya tidak butuh kartu ini, lebih baik simpan itu baik-baik untuk persyaratan di hari pernikahan nanti!" ucap Rafka, lalu kembali menjauhkan telapak tangannya dari d**a Alissa.
Setelah itu Rafka segera meraih pergelangan tangan Alissa dan mencengkramnya dengan erat. "Kita ke administrasi sekarang, saya akan membayar semua biaya yang ibu kamu butuhkan!"
Bukannya protes karena Rafka telah menyakiti pergelangan tangannya, Alissa malah tersenyum semringah. Ia melompat kegirangan karena Rafka mengabulkan permohonannya.
"Terima kasih, Tuan." Alissa yang merasa sangat bahagia sekaligus lega karena masalah biaya sang ibu akan dilunasi oleh pria yang berdiri di hadapannya, ketidaksadaran itu menuntunnya memeluk erat tubuh Rafka untuk menghamburkan rasa syukurnya.
Rafka tak menyangka dengan perlakuan Alissa yang akan memeluknya saat ini. Namun, ketika ia hendak mengurai pelukan tersebut, hatinya seolah melarang keras membuat ia langsung menundanya, membiarkan sejenak wanita itu melampiaskan rasa bahagia dalam pelukannya.
"Kenapa saat dia memelukku, aku jadi merasa seperti sedang dipeluk oleh Aura?" batin Rafka yang mulai merasakan darahnya berdesir menahan rindu pada sosok wanita yang telah pergi meninggalkannya untuk selama-lamanya.
Begitu sadar bahwa apa yang dilakukannya akan menimbulkan amarah dari Rafka, wanita itu pun segera melepaskan pelukannya dari tubuh Rafka dan beringsut mundur beberapa langkah dengan raut wajah yang menegang.
"Tuan, maaf. Tadi itu aku tidak sengaja melakukannya, mungkin aku seperti itu karena begitu bahagia mendengar Tuan yang mau mengabulkan permohonanku. Sekali lagi maaf dan terima kasih banyak. Sekarang ayo, kita ke bagian administrasi agar ibuku segera ditangani oleh dokter." Alissa yang berusaha menghindar dari luapan amarah dari Rafka, akhirnya melangkah lebih dulu untuk mengalihkan perhatian pria yang dikiranya akan marah, tapi pada kenyataannya tidak.
Bahkan kini terlihat kedua sudut bibir Rafka menyunggingkan seulas senyuman melihat wajah merah Alissa tadi yang menurutnya cukup lucu.
"Kenapa saat menatap wajah merah wanita itu dan melihatnya salah tingkah seperti tadi aku bisa tersenyum begini ya?" batin Rafka, lalu sekilas mengelus dadanya untuk menghilangkan debaran yang sungguh mengganggu pikirannya saat ini.
Setelah debaran jantungnya kembali normal, barulah Rafka melangkahkan kedua kakinya, menyusul Alissa yang sudah jauh di depan sana.
Setibanya di depan petugas administrasi, Rafka segera menanyakan biaya transplantasi ginjal ibu Alissa, bahkan ia menaruh deposit sebesar 100 juta untuk biaya perawatan dan lain-lain, meminta pihak rumah sakit memberikan fasilitas dan perawatan terbaik untuk calon ibu mertuanya.
Alissa yang tercengang mendengar perkataan Rafka, ia segera membulatkan kedua bola matanya saat menatap wajah datar pria itu.
"Tuan, kenapa kamu harus melakukan ini semua? Aku 'kan hanya minta kamu membayar biaya operasi ibuku, bukan yang lainnya."
Sikap Alissa yang seperti itu membuat Rafka mendengus kesal, ia merasa bingung menghadapi wanita yang berada di hadapannya saat ini.
"Dasar wanita aneh, harusnya dia berterima kasih dan bersyukur karena aku menanggung biaya rumah sakit ibunya, bukannya malah protes dan berani melotot seperti ini padaku! Andai saja aku tidak sedang berada di depan petugas rumah sakit ini, pasti aku akan mencengkram wajahnya," umpat Rafka yang hanya mampu membatin dalam hati saat ini.
"Tuan…" ucap Alissa kembali saat tak kunjung mendapatkan jawaban dari Rafka.
"Mbak, sudah selesai belum?" tanya Rafka yang sama sekali tak menggubris perkataan Alissa, ia bertanya pada petugas administrasi yang melayani kini.
"Sudah, Pak. Ini kartu kredit dan bukti p********n beserta deposit yang sudah Bapak bayarkan." Wanita itu menyerahkan kartu beserta selembar kertas ke hadapan Rafka yang langsung diterima.
"Oke, terima kasih ya." Tidak lupa Rafka tersenyum singkat sebagai ucapan terima kasih. Lalu ia segera meraih pergelangan tangan Alissa dan membawanya pergi dari sana ke tempat yang sepi.
"Tuan, kita mau ke mana? Kenapa kamu harus menarikku seperti ini? Apa kamu tidak bisa bersikap lembut sedikit saja pada seorang wanita?" Alissa melontarkan beberapa pertanyaan dengan napas yang terengah-engah.
Setelah tiba di tempat yang hendak ditujunya, kini Rafka melepaskan cengkeramannya dari lengan Alissa.
"Heh, harusnya kamu itu bersyukur dan bilang makasih karena saya sudah memberikan semua yang terbaik untuk ibumu, bukannya malah berani membulatkan matamu di hadapan saya! Jelas-jelas tadi kamu bilang, bahwa kamu tidak punya uang untuk membiayai ibumu yang dirawat di rumah sakit ini, sekarang pakai protes segala!" bentak Rafka meluapkan rasa kesalnya yang sejak tadi menggebu-gebu.
Seketika Alissa menggigit bibirnya kuat-kuat, ia menyadari kesalahannya dan belum mengucapkan rasa terima kasihnya pada pria yang sudah menolongnya keluar dari masalah tentang keuangan.
"Tuan, tolong maafkan aku. Tadi itu aku hanya refleks karena merasa apa yang kamu berikan untuk membantu ibuku sudah sangat berlebihan. Apalagi kamu sampai meminta pihak rumah sakit untuk memindahkan ibuku ke ruang rawat VVIP setelah selesai menjalani operasi. Biaya perhari menginap di ruang rawat VVIP pastinya tidak sedikit, Tuan."
"Terus kenapa kamu yang pusing? Dengar ya, semua biaya hidupmu dan keluargamu akan menjadi tanggung jawab saya karena sebentar lagi kamu akan menikah dengan saya! Jadi mulai sekarang jangan berani membantah keputusan yang saya buat, apalagi sampai bersikap keras kepala seperti tadi. Mengerti?" Rafka bertanya dengan penuh penekanan di setiap kalimatnya.
"I-ini serius, Tuan?" tanya Alissa yang masih tidak percaya atas penjelasan pria tampan itu.
Sementara Rafka hanya menganggukkan kepala sembari bersedekap.
"Tapi kita hanya menikah demi Bintang 'kan? Dan kita akan berpisah setelah Bintang bisa melihat kembali?" tanya Alissa kembali yang butuh kepastian sebelum menjalani kehidupannya yang baru bersama pria asing.
"Ya!" jawab Rafka dengan singkat.
Alissa tersenyum lebar setelah mendengar jawaban Rafka. Ini masih seperti mimpi baginya, sebelumnya Alissa tak pernah menyangka akan mengalami kehidupan penuh keberuntungan seperti ini.
"Ya Allah, terima kasih atas kebaikan ini. Takdirmu begitu indah karena Kau menolongku di saat yang tepat, walau di hari yang sama hatiku dibuat hancur berkeping-keping karena Rio," batin wanita itu dengan begitu lirihnya.
Kedua mata Alissa seketika mulai berkaca-kaca saat teringat tentang Rio, pria yang telah menjalin kasih selama dua tahun ini bersamanya. Namun, Alissa tak pernah menyangka bahwa Rio tega mengkhianatinya sedalam ini.
Melihat Alissa yang seperti sedang menahan tangisan di hadapannya, Rafka pun segera membuyarkan lamunan wanita itu. Rafka mengeluarkan ponselnya dari dalam saku celana dan membuka aplikasi m-banking, lalu menuliskan nominal sebesar 5.000.000.000.
"Ketik nomor rekeningmu!" Begitulah cara Rafka membuyarkan lamunan wanita itu. Ia menyodorkan ponselnya ke hadapan Alissa dan memintanya untuk mengetikkan nomor rekening milik wanita itu.
Alissa mengernyitkan dahinya, ia tak mengerti dengan perintah pria itu.
"Ini maksudnya apa, Tuan? Kenapa aku harus menuliskan nomor rekeningku?" tanya wanita itu yang terlihat bingung.
"Saya akan menghargai usahamu yang telah bersedia membantu saya untuk menjaga perasaan Bintang, agar dia tidak mengetahui bahwa bundanya telah meninggal karena insiden kecelakaan beberapa hari yang lalu. Anggap saja uang 5 milyar itu adalah rasa terima kasih saya pada kamu."
Alissa tertawa kecil setelah mendengar penjelasan Rafka yang telah membuat jiwanya meronta seperti keruntuhan durian monthong.
"Tidak perlu, Tuan. Kamu sudah membayarkan biaya operasi ibuku dan memberikan perawatan yang terbaik untuk dia, itu sudah lebih dari cukup untukku. Anggap saja itu semua sebagai bentuk ucapan terima kasihmu padaku."
Rafka tersenyum simpul, lalu ia kembali memasukkan ponselnya ke dalam saku celana.
"Aku seperti sedang bermimpi bertemu dengan seorang wanita yang menolak pemberian uang dariku di zaman ini." Rafka berdecak kagum dalam hati, akan tetapi wajahnya terlihat datar saat menatap sosok Alissa di depannya.
"Baiklah, saya tidak akan memaksamu. Sekarang tunggu ibumu selesai operasi, setelah semuanya membaik utarakan niatmu yang akan menikah dengan saya. Besok pagi, datang ke ruangan Bintang dan mulailah menemaninya setiap hari sampai saya berhasil menemui pendonor mata yang cocok untuknya."
Setelah Rafka menyelesaikan perkataannya, ponsel Alissa berdering singkat, tanda ada sebuah pesan masuk di ponselnya. Alissa pun segera membuka pesan tersebut yang berasal dari nomor yang tak dikenal. Pesan itu menunjukkan sebuah foto Rio bersama seorang wanita yang wajahnya tidak asing karena Alissa sering melihat wajah itu di beberapa cover majalah.
Bukan wanita itu yang menjadi masalah bagi Alissa, tapi karena pose mereka berdua di atas ranjang membuat darah Alissa seketika mendidih, hingga ia tak mampu menahan amarahnya lagi yang minta diluapkan.
"Tuan, maaf aku harus pergi sekarang. Sekali lagi terima kasih atas kebaikanmu. Aku akan datang sepagi mungkin untuk menemui Bintang mulai besok." Tanpa menunggu jawaban yang terlontar dari mulut Rafka, Alissa pun berlalu pergi begitu saja dengan langkah yang tergesa-gesa.
Melihat tingkah Alissa yang pergi setelah menerima sebuah pesan pada ponselnya yang terlihat rusak cukup parah, membuat Rafka penasaran ke mana wanita itu perginya. Niat untuk tahu mengetahui sedikit tentang informasi tentang Alissa membuat pria itu berinisiatif untuk mengikuti.
Setibanya di lobi rumah sakit, Alissa menaiki sebuah taksi yang baru saja menurunkan penumpang sebelumnya. Sementara Rafka menaiki mobil mewahnya dan mengekor di belakang taksi tersebut agar tahu ke mana tujuan Alissa saat ini.
"Ke mana sebenarnya wanita itu akan pergi? Kenapa dia bukannya tetap berada di rumah sakit untuk menemani ibunya yang menjalani operasi?" gumam Rafka sembari mengusap dagu runcingnya dengan pandangan yang fokus menatap jalanan.
Hingga taksi yang Alissa tumpangi masuk ke pelataran lobi Hotel Kartika. Rafka dapat melihat wanita itu keluar dari taksi dengan wajah yang kacau, beberapa kali ia menyeka air mata yang membasahi wajahnya.
"Untuk apa wanita itu mendatangi hotel? Kenapa juga dia terus menangis, padahal aku sudah melunasi biaya rumah sakit ibunya."
Rafka yang merasa penasaran bergegas memarkirkan kendaraannya. Namun, karena merasa takut kehilangan jejak Alissa, pria itu turun dari mobil dan langsung memberikan kunci mobilnya pada petugas valet parking.
Pria itu membuntuti langkah Alissa dari jarak yang cukup jauh. Beruntungnya pria itu sempat mengambil masker, kacamata hitam dan topinya dari dalam mobil untuk menutupi wajahnya agar tak dikenali oleh Alissa.
Saat berada di dalam lift yang sama, Rafka dapat melihat jelas bagaimana hancurnya Alissa, walau wanita itu berusaha menutupi kesedihannya dengan menahan agar suara tangisannya tak terdengar oleh beberapa pengunjung hotel yang berada di dalam lift.
"Alissa, apa tujuanmu datang ke hotel ini dalam keadaan hancur begitu? Sebenarnya apa yang membuatmu menangis?" Rafka begitu gemas karena tak mengetahui apa yang dilakukan Alissa di tempat tersebut. Perasaannya merasa gelisah melihat bulir-bulir bening yang menetes dari kedua sudut matanya dan langsung diusap oleh Alissa.
Di dalam lift itu terdapat sepasang kekasih yang berbisik-bisik membicarakan tentang Alissa yang menangis. Sedangkan yang lainnya terlihat acuh dan asik bermesraan.
Sementara Rafka dapat mendengar apa yang sepasang kekasih itu bisikkan tentang Alissa. Hanya mampu mendengar tanpa dapat berkata-kata.
"Al … sebenarnya apa yang kamu tangisi? Kenapa rasanya aku sakit melihat kamu menangis seperti itu? Tangisan itu terakhir kali aku lihat di wajah Aura saat dia kehilangan kedua orang tuanya." Sementara ingatan masa lalu kembali menari-nari dalam benak Rafka yang selalu teringat tentang Aura, wanita satu-satunya yang begitu ia cintai.
Rafka memejamkan matanya sejenak, menekan dadanya kuat-kuat dan menarik napas dalam-dalam, berusaha tenang agar emosional atas kematian istrinya tidak kembali meluap saat tengah dalam keadaan seperti ini.
Sesampainya di lantai 7, pintu lift pun terbuka. Beberapa pengunjung hotel itu keluar dari lift bersamaan dengan Alissa dan juga Rafka. Hal itulah yang membuat Alissa sampai detik ini tidak menyadari bahwa ada yang mengikuti sejak kepergiannya dari rumah sakit, sebab ia begitu hancur hingga tak sadar dengan keadaan yang terjadi di sekitar.
Rafka mulai menjaga jarak setelah keluar dari lift, ia tak ingin penyamarannya diketahui dan memilih berjalan di belakang Alissa yang berada di depannya memberi jarak 3 meter.
Alissa tampak berjalan dengan tergesa, beberapa kali ia menyeka air mata yang membuat pandangannya terhalangi hingga tanpa sengaja menabrak orang yang berjalan dari arah berlawanan.
"Kenapa dia bisa seceroboh itu sih? Ingin sekali rasanya aku menyingkirkan orang-orang itu agar tidak berjalan selama wanita itu sedang melangkah menuju suatu tempat. Tapi ke mana tujuannya? Apa dia akan menuju salah satu kamar untuk bertemu seseorang?" batin Rafka yang kembali dirundung rasa penasaran tentang kedatangan Alissa ke hotel tersebut.
Rasa penasaran Rafka pun terjawab sudah, tatkala Alissa mengetuk salah satu pintu kamar. Dalam seketika Rafka menghentikan langkahnya saat wanita itu menoleh sekilas ke arahnya, berdiri di salah satu pintu kamar dan pura-pura mencari acces card untuk masuk.
Setelah menunggu beberapa detik, pintu kamar yang Alissa ketuk pun terbuka. Wanita itu disuguhkan pemandangan yang begitu menyakitkan, saat melihat pria yang membukakan pintu untuknya tidak mengenakan baju, bahkan celana pun tidak. Pria itu hanya melilitkan handuk kecil berwarna putih di pinggangnya.
Hati Alissa bertambah sakit saat melihat keberadaan seorang wanita di atas ranjang dan menutupi tubuh polosnya dengan selimut tebal berwarna coklat.
Mereka adalah Rio dan Elvia. Rio adalah pria yang telah menghabiskan waktu selama dua tahun bersama Alissa, menjalin kasih dan telah menjanjikan sebuah pernikahan yang rencananya akan digelar akhir tahun ini. Namun sayang, impian Alissa untuk duduk bersanding di atas pelaminan bersama Rio hancur seketika karena pria itu telah berkhianat. Bahkan hubungan Rio dan Elvia sudah sangat terlampau jauh, hingga berakhir di atas ranjang.
Rio sama sekali tak menyangka bahwa wanita yang merupakan kekasihnya itu datang ke hotel, tempat ia menghabiskan waktu bersama selingkuhannya di atas ranjang. Refleks, pria itu langsung meraih tangan sang kekasih, tapi Alissa langsung menepisnya.
"Jadi ini kesibukan kamu, Rio? Kamu larang aku telepon selama kamu sibuk kerja di kantor dengan alasan kamu ingin fokus agar secepatnya bisa menikahi aku? Iya?!" tanya Alissa dengan napas yang tercekat, dadanya naik turun tak beraturan dengan bulir-bulir bening yang terus jatuh seolah tak dapat berhenti.
Tangisan Alissa pecah seketika, ia tak dapat membendung lagi rasa sakit yang begitu menyesakkan d**a. Lututnya terasa lemas seperti tak bertulang, bahkan ia tak memiliki tenaga untuk menopang berat tubuhnya sendiri hingga ia jatuh terduduk di permukaan lantai.
"Kenapa aku harus mengalami ini semua, ya Allah? Apa salahku? Kenapa Rio tega mengkhianati aku setelah dia berjanji akan menikahiku? Apa aku pantas mendapatkan semua ini? Apa aku tidak pantas meraih kebahagiaan yang menjadi impian terindah dalam hidupku?" lirih Alissa yang membatin di dalam hati, ketika otak dan mulutnya tak dapat melakukan sesuatu untuk menghadapi semua ini.
Bersambung...