Pembunuhan

2057 Kata
Sabtu (17.23), 15 Mei 2021 ------------------- Queenza tidak tahu kenapa tapi dia merasa dunia di sekelilingnya agak—yah, berbeda. Seolah tumbuh-tumbuhan itu memiliki jantung yang berdenyut. Seolah Alam sekitarnya bernapas, tanda kehidupan. Seolah banyak mata yang mengawasi gerak-geriknya. “Kingsley.” Queenza bergumam pelan seraya mendekat ke arah si tengkorak yang berjalan di depannya. Meski Kingsley juga makhluk aneh, tapi Queenza merasa lebih aman bersamanya. “Kenapa?” tanya Kingsley menyadari perasaan gelisah Queenza. Beberapa waktu lalu saat baru keluar dari jurang, gadis itu tampak biasa saja. Tapi semakin lama, aroma ketakutan kian menguar dari tubuhnya. “Kita berjalan ke arah yang benar, kan?” kali ini Queenza benar-benar melupakan betapa mengerikannya sosok Kingsley. Dia menggamit lengan Kingsley lalu memeluknya erat. Sekilas Kingsley melirik lengan Queenza yang memeluk lengan tengkoraknya. “Kau mau jawaban jujur?” “Kenapa kau bertele-tele. Tinggal jawab saja.” “Aku tidak tahu kita berjalan ke arah mana.” Kingsley meringis. Queenza berhenti mendadak membuat Kingsley juga berhenti lalu menoleh. “Jadi kita tersesat?!” “Tidak karena aku sama sekali tidak tahu kita harus berjalan ke arah mana,” sahutnya tanpa dosa. “Itu artinya tersesat!” “Kalau tersesat, kita tahu tujuan tapi salah jalan. Masalahnya aku tidak tahu tujuan kita, apalagi jalannya.” Queenza ternganga. “Kalau tidak tahu kenapa kau terus jalan? Kenapa tidak bilang padaku?” “Kau tidak tanya,” sahut Kingsley enteng sambil mengangkat bahu lalu hendak melanjutkan langkah. “Kau masih mau jalan padahal tidak punya tujuan?!” “Daripada kita berdiam diri saja di sini dan menunggu para Troll memakan kita. Ah, bukan kita, tapi kau. Troll tidak suka makan tulang.” Queenza melotot lalu refleks mencubit lengan Kingsley. Tapi kemudian dia meringis sakit. “Akhirnya kau sadar juga bahwa kau hanya kerangka.” “Yah, kerangka yang tampan.” Rasanya Queenza ingin menyumpal mulut tengkorak Kingsley dengan daun kering di sekitar mereka. Tapi dia menahan diri. “Aku yakin datang dari arah sana.” Queenza menunjuk belakang mereka. Kingsley menoleh ke arah yang ditunjuk Queenza. “Bukan, itu rumahmu.” “Rumah? Berarti benar, kan?” “Kerajaan bangsa dryad. Kau mau pulang ke sana dengan tubuh manusiamu?” Kening Queenza berkerut tidak mengerti. “Kau pasti sudah tertidur ratusan atau ribuan tahun. Tidak ada lagi kerajaan di zaman sekarang.” Queenza terdiam sejenak. “Yah, masih ada beberapa negara yang memiliki kerajaan. Tapi pasti bukan kerajaan seperti yang kau maksud.” Kingsley tidak menyahut dan terus melangkah, membuat Queenza terpaksa membuntutinya. “Baiklah, anggap saja kau benar tentang kerajaan druid atau apalah itu. Lalu kenapa kita tidak mampir ke sana saja? Mungkin ada seseorang yang bisa memberi kita petunjuk untuk keluar dari hutan ini.” “Tidak bisa. Aku tidak tahu siapa kawan dan siapa lawan saat ini.” “Tadi kau bilang kerajaan druid—” “Dryad.” “Ya, terserahlah. Tadi kau bilang kerajaan itu adalah rumahku—meski aku tidak mengerti bagaimana bisa. Bukankah itu artinya orang-orang di sana adalah keluargaku? Tentu mereka akan membantu.” Kingsley berhenti lalu berbalik sepenuhnya menghadap Queenza. “Dulu itu rumahmu. Sebelum kau lahir kembali sebagai manusia. Sekarang kita tidak tahu apa masih ada yang setia padamu.” Penjelasan Kingsley semakin membuat Queenza pusing tapi dia berusaha mencerna meski logikanya menolak. “Oke, semua itu masih—membingungkan. Kalau begitu aku tanya yang lain saja. Kenapa aku merasa seolah hutan ini hidup, dan terus mendorongku agar berjalan ke arah sana?” Queenza menunjuk belakangnya dengan ibu jari. “Karena kau berpikir untuk pulang. Meski kau memiliki tubuh manusia, ada kekuatan dan jiwa seorang dryad dalam dirimu. Dryad itu peri hutan. Kalian bisa berkomunikasi dengan alam, terutama tumbuh-tumbuhan.” “Jadi, karena aku ingin pulang, hmm—hutan ini seolah menuntunku agar berjalan ke arah kerajaan dryad. Begitu?” Kingsley mengangguk. “Apa dulunya aku adalah makhluk jenis itu? Peri hutan maksudnya.” “Bukan. Kau keturunan campuran. Dryad tidak bisa hidup abadi. Tapi kau bisa.” Kening Queenza berkerut dalam. “Lalu bagaimana caranya aku dilahirkan kembali? Apa aku pernah terkubur juga di suatu tempat lalu berubah jadi tengkorak jelek sepertimu?” Kingsley menggeram. “Untung aku membutuhkanmu. Kalau tidak aku akan menyiksamu hingga kau memohon untuk dibunuh.” Queenza nyengir lalu memukul punggung Kingsley dengan keras. Nyaris saja Kingsley terjungkal karena dia tidak mengantisipasi gerakan Queenza. “Kau tidak mungkin membunuhku. Kau bilang aku permaisurimu, kan? Pasti dulu kau sangat mencintaiku.” “Dulu pun aku hanya memanfaatkanmu. Kau yang mencintaiku seperti orang gila.” Kesal, Queenza melepas lengan Kingsley yang semula dirangkulnya lalu berjalan mendahului. “Dasar tengkorak menyebalkan.” Dia menggerutu. “Sombongnya minta ampun. Aku menyumpahimu jatuh cinta setengah mati padaku di kehidupan ini. Dan aku hanya akan melirikmu sinis.” “Hei, aku dengar!” Dalam hati Kingsley tersenyum melihat gadis itu terus berjalan sambil mengentak-entakkan kaki. Wajah kesalnya tampak sangat lucu dan menggemaskan. Tapi kemudian, langkah Kingsley terhenti saat pendengarannya yang tajam mendengar suara dari kejauhan. Ada rombongan yang berjalan dengan terburu-buru. Jaraknya terlalu jauh membuat Kingsley tidak bisa menebak itu bangsa apa. Tapi dia yakin mereka tidak akan melewati tempatnya berada sekarang. “KYAAAAA!” Kingsley menoleh ke arah Queenza lalu dalam hitungan dua detik, dia sudah berdiri di belakang gadis itu. Jemari tengkoraknya langsung menutup mulut Queenza sementara tangannya yang lain memeluk wanita itu dari belakang. Lalu mendadak asap putih tak berbau menyelubungi mereka berdua. Queenza menahan perasaan ngeri saat sesosok makhluk menghampiri mereka. Pasti makhluk itu mendengar teriakan Queenza tadi. Sebenarnya tidak ada yang aneh dengan wujud makhluk itu. Tubuhnya menyerupai manusia yang sangat tampan. Yang membuat Queenza berteriak takut adalah pemandangan ketika teman makhluk itu mencongkel mata seorang lelaki yang bersujud di depannya dengan tiga jari. Queenza semakin menempelkan punggungnya ke tubuh Kingsley saat makhluk itu hanya berjarak setengah meter di depannya sambil mengendus udara. Rasanya dia ingin berteriak lagi tapi berusaha keras menahan diri. Anehnya, makhluk itu seolah tidak melihat keberadaan Queenza dan Kingsley di sana. Kemudian dia berbalik dan kembali menghampiri teman-temannya. Ada lima orang di sana, sekitar lima meter dari tempat Kingsley dan Queenza berada. Empat lelaki dan seorang wanita. Keempat lelaki itu mirip sekali dengan manusia. Hanya si wanita yang tampak memiliki telinga panjang dan ekor. Dua lelaki—termasuk yang tadi mendekat ke arah Kingsley dan Queenza—berdiri di samping kanan kiri si wanita seolah menjaga. Sementara seorang lagi masih berdiri tegak di depan lelaki yang sudah kehilangan salah satu bola mata. “Ini peringatan karena kau telah melanggar peraturan.” Lelaki yang masih memegang bola mata berlumur darah itu berkata lantang. “Aku tidak akan melakukannya lagi.” suara wanita itu terdengar sangat lemah. “Jadi kumohon lepaskan dia. Kalian boleh menghukumku.” “Tidak.” Lelaki yang kehilangan bola mata bersuara dengan napas tersengal, menandakan dia menahan sakit yang teramat sangat. “Jangan sakiti, Chenna. Siksa saja aku sepuas kalian.” Lelaki yang berdiri di samping kanan si wanita bersiul pelan. “Sungguh pasangan yang romantis. Aku sampai terharu.” “Please.” Terdengar isak tangis dari si wanita. “Hukum dibuat bukan untuk dilanggar. Karena itu kami ada untuk memastikan kedamaian tetap terjaga dan hukum berjalan sebagaimana mestinya.” Lelaki itu meremas bola mata di tangannya hingga hancur lalu menoleh ke arah si wanita. “Tidak ada ampun untuk para pelanggar. Sesuai aturan, kau akan dilumpuhkan dan dikembalikan ke bangsamu agar menjadi peringatan bagi yang lain. Dan pasanganmu—” lelaki itu kembali menatap  lelaki tanpa bola mata seraya menghunuskan pedang panjangnya. Melihat itu, Queenza sudah bisa menebak apa yang akan terjadi selanjutnya. Dengan air mata yang membasahi wajahnya entah sejak kapan, Queenza membalikkan tubuh lalu membenamkan wajahnya ke d**a Kingsley yang keras sementara jemarinya meremas kuat jaket yang dikenakan Kingsley. CRAAASHH. “TIDAK!!!” Isak kecil lolos dari bibir Queenza. Kingsley menekan lembut sekaligus tegas belakang kepala Queenza agar semakin membenamkan wajah di dadanya. “Jangan bersuara.” Dua kata itu terdengar di telinga Queenza tapi lebih seperti hembusan angin. Tapi dia yakin betul itu adalah suara Kingsley. “Kau dengar itu, kan?” Kingsley memperhatikan lelaki yang berada di samping kiri wanita dari bangsa harpy itu—lelaki yang sama yang tadi memeriksa keberadaan mereka. “Mungkin pohon-pohon itu. Kita berada tidak jauh dari kawasan bangsa dryad.” Lelaki di sebelah kanan berkata lalu menarik kasar lengan si wanita hingga wanita itu terseret-seret mengikutinya. Sepertinya dia sudah tidak memiliki keinginan untuk hidup sejak pasangannya dibantai di depan matanya. “Tapi jeritan itu—aku yakin ada seseorang di sini.” “Lalu kenapa?” lelaki yang baru saja membunuh itu mengelap pedangnya dengan santai. “Bagus kalau ada yang melihat. Jadi dia tahu apa akibatnya jika melanggar aturan.” Kemudian dia memasukkan pedangnya ke dalam sarung pedang yang tergantung di pinggang. Mantel hitam panjangnya berkibar saat dia berjalan. “Kita pergi dari sini. Biar saja mayat manusia itu menjadi makanan troll atau ogre yang lewat.” Dalam hitungan detik. Tiga lelaki itu sudah menghilang dari sana sambil membawa si wanita. Sejenak, Kingsley masih diam, mendengarkan. Setelah yakin tidak ada makhluk apapun di sekitar tempat itu, perlahan dia melepaskan rangkulannya di tubuh Queenza. Tapi sebaliknya, Queenza tidak mau melepaskan diri dan malah semakin erat mencengkeram jaket Kingsley. “Mereka sudah pergi.” Hati Kingsley menghangat melihat Queenza yang menempel erat padanya. Selalu seperti ini. Queenza tetap tidak mau menjauhkan diri. “Bukankah kau ingin pulang?” Queenza berusaha menyahut di sela tangisnya. “Tapi kau tidak tahu arahnya.” “Aku sudah tahu. Yang kucari di sebelah sana. Batas antara dunia ini dan dunia manusia.” Queenza mendongak tiba-tiba, menatap Kingsley dengan mata basahnya. “Kau serius? Berarti aku ada di—dunia lain?” “Yah, begitulah.” “Kalau begitu tunggu apa lagi?” Queenza menghapus air matanya lalu berbalik. “Kita pergi seka—kyaaa!” Dia kembali menghadap Kingsley lalu memeluk Kingsley erat. Astaga! Itu—itu pasti lelaki yang tadi dibunuh dengan kejam. “Itu hanya mayat. Dia sudah mati.” “Justru karena sudah mati—” Queenza bergidik. “Jalan saja di belakangku kalau kau takut.” “Apa tidak bisa lewat tempat lain?” “Batasnya ada di dekat mayat itu. Mereka baru saja datang dari dunia manusia, makanya aku tidak bisa merasakan kehadiran mereka hingga kau berteriak tadi.” Kingsley memegang erat jemari Queenza lalu berjalan mendahului. “Tutup mata saja.” Queenza menurut sambil memeluk erat salah satu lengan Kingsley. Dia berjalan hanya mengikuti insting dan tarikan tangan Kingsley. Batas itu tampak di sana. Hanya berupa garis tipis yang hanya makhluk tertentu bisa melihatnya. Tadinya Kingsley berniat mencari batas itu bukan untuk mengantar Queenza pulang, melainkan menyerap energi di sana. Kekuatan Kingsley yang besar, ditambah kekuatan Queenza yang didapatnya karena b******a dengan wanita itu, membuat Kingsley bisa menyerap energi antara dunia ini dan dunia manusia. Energi itu akan membantunya mengetahui hal-hal umum yang telah terjadi. Biasanya berupa kilas-kilas samar yang nanti akan tampak seperti ingatan-ingatan. Tapi itu cukup untuk memberi gambaran seperti apa dunia ini sekarang. “Apa kita sudah sampai?” tanya Queenza setelah beberapa lama. “Hampir.” “Mayat itu sudah kita lewati?” “Tepat di sampingmu.” “Arg!” Queenza memekik lalu menempelkan tubuhnya semakin rapat ke samping Kingsley. Tanpa ia sadari, Kingsley tersenyum senang. “Nah, di sini. Sekarang aku butuh darahmu.” Ragu, Queenza membuka mata tapi tidak berani menatap sekeliling, hanya lurus ke arah rongga mata Kingsley. “Apa maksudmu?” “Ulurkan tanganmu. Kau harus meneteskan darahmu di sini. Hanya sedikit.” Queenza melotot. “Tidak mau! Pasti sakit.” Suaranya berubah memelas. “Tubuhmu sudah penuh luka tapi kau tidak mengeluh sebelumnya.” Kingsley menunjuk luka di lengan Queenza yang paling parah, dan kini sudah ditutupi daun obat yang dicarikan Mochi. “Mungkin tidak terlalu sakit kalau dari luka yang sama.” Queenza terbelalak. Apanya yang tidak terlalu sakit kalau lukamu yang belum mengering harus dilukai lagi? “Kau mau pulang atau tidak!” Desah kalah terdengar dari selalu bibir Queenza. “Baiklah, demi bisa pulang. Tapi ujung jariku saja.” Kingsley langsung menyambar tangan Queenza yang terulur ragu lalu menggesekkan ujung telunjuknya di giginya yang tajam. Setetes darah Queenza jatuh tepat di garis tipis yang menjadi penghubung. Lalu kepulan asap tebal berwarna hitam muncul, menyelimuti lalu menelan keduanya yang mulai hilang kesadaran. -------------------- ♥ Aya Emily ♥
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN