Rabu (18.11), 26 Mei 2021
--------------------
Kematian Yang Mulia Kaisar Kingsley membuat seluruh makhluk di Immorland berlomba untuk merebut Kerajaan Ackerley—kerajaan terbesar di dunia mereka. Seluruh kerajaan yang sebelumnya damai dan tidak berani memberontak di bawah Kekaisaran Ackerley, saling menyerang untuk menjadi yang terkuat.
Perang besar pun tak bisa dihindari. Dunia seakan berguncang hebat yang imbasnya juga dirasakan hingga dimensi manusia. Bencana alam silih berganti. Namun para manusia tidak tahu bahwa itu adalah efek perang di Immorland. Dimensi yang lebih besar dari dimensi mereka.
Berbulan-bulan berlalu dengan banyak korban berjatuhan. Saat itulah kaum Nephilim yang sebelumnya merupakan kaum buangan menampakkan diri. Dengan kekuatan mereka yang besar, mereka menyebut diri sendiri sebagai kaum Guardian dan menguasai Kerajaan Ackerley.
Kaum lain yang sudah banyak kehilangan para petarung tangguh bukan lagi tandingan kaum Guardian. Dengan mudah mereka yang masih memberontak dilumpuhkan dan dalam waktu singkat, kaum Guardian membuat aturan-aturan yang harus disepakati demi kedamaian bersama.
Lambat laun, seluruh makhluk pun tunduk di bawah kekuasaan kaum Guardian. Mereka tak lagi melawan. Tapi tetap saja, masih ada beberapa yang terkadang melanggar aturan. Terutama aturan utama yang dibuat kaum Guardian.
Dilarang menjalin hubungan asmara dengan manusia!
Tidak ada ampun untuk itu. Petarung kaum Guardian yang memang bertugas menjaga keamanan dan kedamaian seluruh makhluk diizinkan memberi hukuman paling mengerikan langsung di tempat.
Tapi ternyata hal itu belum cukup untuk memberi efek jera. Akhirnya dibuat aturan baru. Manusia tidak boleh sampai mengetahui keberadaan mereka. Siapapun yang melanggar—bahkan meski tak sengaja—hukumannya adalah kematian.
Itu sebabnya kian lama manusia mulai tak mempercayai keberadaan mereka padahal dahulu para manusia dan makhluk dari Immorland bisa berteman tanpa halangan. Makhluk lain yang awalnya mempertanyakan alasan kebijakan tersebut akhirnya menerima setelah melihat sendiri kedamaian benar-benar terjalin sejak kaum Guardian mengambil alih dan memimpin Kekaisaran Ackerley.
***
Kingsley tetap tak beranjak dari tempatnya berbaring meski kesadaran telah menguasai dirinya. Benaknya masih terus memutar ulang kilas-kilas kejadian dari energi yang diserapnya di batas antara dunia manusia dan dunianya.
Banyak yang telah terjadi sejak Queenza menikamnya hari itu. Beberapa sudah ia ketahui akibat proses penyerapan energi yang ia lakukan dengan bantuan darah Queenza. Namun pengetahuan itu malah menimbulkan banyak pertanyaan yang tak menemukan jawaban.
Ke mana Queenza setelah menikamnya? Seharusnya dia yang menjadi pemimpin Kekaisaran Ackerley begitu Kingsley tertidur. Dan mengingat sifat lembut Queenza yang tidak menyukai peperangan, dia pasti akan berjuang keras untuk menghindarkan peperangan besar itu. Kecuali—yah, kecuali Queenza sudah lebih dulu mengkristal sebelum perang terjadi.
Tapi, bagaimana bisa?
Queenza bukanlah makhluk lemah. Dia memiliki kekuatan alami dan dia juga menyerap kekuatan Kingsley selama mereka b******a dan Kingsley meminum darahnya. Jadi sangat aneh jika dia mengkristal dengan mudah.
Lalu pertanyaan lainnya, di mana kaum Malaikat selama perang itu? Kaum Malaikat adalah penguasa kerajaan langit. Mereka memang jarang turun tangan untuk mengurusi masalah makhluk lainnya. Tapi jelas tidak mungkin menutup mata terhadap perang besar yang terjadi karena jika Immorland hancur, maka kerajaan mereka pun akan turut hancur. Apalagi mereka tetap tak menampakkan diri saat kaum nephilim ikut campur, mengingat kaum nephilim adalah keturunan campuran antara malaikat dan manusia.
Di antara seluruh makhluk di Immorland, memang kaum malaikat yang paling menentang hubungan asmara antara manusia dan makhluk dari dimensi mereka. Bahkan mereka tidak suka jika terlalu dekat dengan manusia yang mereka anggap merupakan k***********n. Anak dari hasil hubungan antara manusia dan malaikat akan dibuang dan dilarang menginjakkan kaki di kerajaan mereka. Bahkan tak segan kaum malaikat membunuhi nephilim dan orang tuanya.
Karena itu sangat aneh jika kaum malaikat tidak turut campur untuk menghentikan perang besar itu. Kecuali—sekali lagi ini hanya dugaan—kaum malaikat sudah lebih dulu dihabisi.
Kaum malaikat juga termasuk kaum abadi. Satu-satunya kaum abadi yang masih tersisa karena jauh sebelumnya, kaum abadi dianggap sebagai musuh besar makhluk non-abadi dan sudah sewajarnya diburu dan dibunuh.
Tidak seperti Kingsley dan Queenza yang benar-benar tidak bisa mati. Makhluk abadi seperti malaikat tetap bisa dibunuh. Hanya saja mereka memiliki usia panjang dan tak pernah menua. Hal itu yang dirasa sebagai ancaman bagi makhluk non-abadi, membuat mereka bersekutu untuk menghabisi makhluk abadi, kecuali malaikat yang kala itu dianggap makhluk suci.
Sial! Ada banyak hal yang sudah terjadi dan energi yang diserapnya tidak bisa memberikan gambaran yang lebih detail. Tidak ada pilihan selain mencari tahu sendiri. Tapi sebelum itu, Kingsley harus lebih dulu menyempurnakan fisiknya agar bisa b******a dengan Queenza. Dia butuh ingatan Queenza agar bisa—hhh! Mengerti benda-benda aneh di sekelilingnya tanpa terlihat bodoh.
Kingsley melirik Queenza yang masih tidur nyenyak di sampingnya. Gadis itu pasti girang sekali begitu tahu sekarang mereka ada di mana. Ya, mereka kini berada di kediaman Queenza karena saat proses penyerapan energi di batas antar dimensi, darah yang digunakan adalah darah Queenza dan gadis itu ingin berada di rumahnya. Jika yang digunakan adalah darah Kingsley, maka begitu sadar mereka akan berada di tempat yang Kingsley inginkan.
“Queenza. Bangunlah!” Kingsley sedikit mengguncang pundak Queenza.
Gadis itu mengerang, menggeliat, lalu kembali tidur dengan nyaman.
“Hei, bangun. Kau harus makan agar aku bisa meminum darahmu.”
Lagi-lagi Queenza mengerang. “Jangan ganggu aku, Yang Mulia Tengkorak Jelek. Aku mengantuk sekali.” Gadis itu menguap lalu berbalik memunggungi Kingsley.
Hmm, tanah yang ditidurinya empuk, nyaman, dan familiar. Persis seperti ranjangnya di rumah. Rasanya sudah lama sekali sejak terakhir Queenza tidur senyaman ini.
Sebenarnya Kingsley tidak tega membangunkan Queenza yang tampaknya sangat menikmati tidurnya. Tapi dia harus. Kingsley sungguh tidak mengerti harus melakukan apa di tempat asing yang penuh benda-benda aneh ini. Seperti benda yang berputar di langit-langit kamar atau benda kecil yang sejak tadi berbunyi dan bergetar di atas meja samping ranjang.
Perlahan Kingsley membungkuk hingga bibirnya berada tepat di atas telinga Queenza. “Kau tidak mau pulang?”
“Hmm.”
“Kalau tidak mau, baiklah. Aku tidak keberatan kita terjebak di sini selamanya.”
“Tidak!” Queenza tersentak bangun lalu buru-buru duduk. Jemarinya langsung menyisiri rambut. “Apa kau sudah tahu cara keluar dari hutan ini? Kalau iya, sebaiknya kita pergi sekarang.” Pandangan Queenza fokus pada Kingsley hingga tidak memperhatikan sekeliling.
“Hutan apa? Tempat ini lebih seperti tempat pembuangan benda aneh.”
“Kau bicara apa? Kita harus segera—” refleks Queenza memekik senang dengan kedua tangan membekap mulut. Matanya sampai berkaca-kaca saat pandangannya menyapu seluruh ruangan. “Ini bukan halusinasi, kan? Aku benar-benar sudah pulang, kan?”
“Ya, tentu saja.”
“Oh, bagaimana bisa? Apa kau menggendongku sepanjang perjalanan?”
“Kau pikir aku mau melakukan itu?”
“Ah, aku baru ingat bahwa kau hanya tulang belulang yang pasti akan remuk saat berusaha menggendongku.”
Kingsley menggeram. “Berhenti mengejekku, Queenza.”
Queenza hanya mengibaskan tangan tanda tak peduli. “Aku mau membuat sarapan. Kau mau sesuatu?”
“Darahmu.”
“Kau benar-benar hendak menjadikanku sapi perah?” Queenza melotot.
“Iya, agar kau berhenti mengejekku dan berbalik jatuh cinta setengah mati padaku.”
Queenza terbahak. “Mimpi saja sepuasmu.”
Queenza turun dari ranjang lalu keluar kamar. Sejenak dia berhenti di depan pintu kamarnya yang tertutup, memperhatikan seluruh bagian rumahnya yang sederhana. Rumah yang dulu terasa hangat karena kedua orang tua Queenza tak bosan melimpahinya kasih sayang. Rumah yang terasa mati sejak mereka meninggalkannya seorang diri.
Tak terasa, air mata Queenza menetes. Hatinya sakit mengingat hari itu. Hari kematian mereka. Saat yang tak bisa dilupakannya. Memori yang ingin dihapusnya namun terus muncul menghantui dirinya.
***
Entah mengapa, sejak melewati ulang tahunnya yang keenam belas, Queenza sering merasakan keanehan. Saat dia duduk santai di café sepulang sekolah misalnya. Kadang dia merasa beberapa pengunjung café tampak—berbeda. Seperti mereka berasal dari dunia lain.
“Yuri, menurutmu apa yang salah dengan orang itu?” tanya Queenza suatu ketika pada salah satu temannya saat mereka sedang menikmati cokelat dingin.
Gadis yang dipanggil Yuri menoleh ke arah yang ditunjuk Queenza. “Tidak ada yang aneh. Memangnya kenapa?”
“Entahlah. Dia terasa—hmm, apa ya? Berbeda? Auranya tampak pekat dan membuat tidak nyaman.”
Yuri memukul lengan Queenza gemas. “Kau mau jadi peramal, ya? Sejak kapan kau bisa baca aura-aura seperti itu?”
Pertanyaan Yuri menarik perhatian teman mereka yang lain. Dan akhirnya obrolan merambat jauh mengenai dunia peramal dan dukun yang sesekali diiringi lelucon.
Kejadian itu membuat Queenza belajar memendam sendiri keanehan yang dia rasakan. Namun semua keanehan itu semakin terasa kuat seiring waktu. Bahkan tidak jarang Queenza bertemu orang-orang dengan aura misterius yang menyapanya lalu berkata bahwa bau darahnya terasa manis. Setelahnya orang itu pergi begitu saja dengan seringai menyeramkan di bibir.
Di antara semua itu, ada satu kejadian yang selalu melekat dalam benak Queenza. Saat dirinya harus pulang terlambat karena salah satu ekstrakurikuler yang diikutinya.
Awalnya dia tidak merasakan apapun. Hanya duduk menunggu bis di halte tak jauh dari sekolahnya. Dia bahkan tidak sendirian. Ada banyak teman bersamanya dan beberapa orang yang tampaknya pulang kerja.
Lama menunggu, rintik hujan turun perlahan tapi kian lama kian deras, membuat mereka yang berada di bawah naungan atap halte semakin berdesakan untuk menghindari cipratan air hujan.
“Hmm, aku sudah mengawasimu cukup lama. Kau semakin beraroma manis.”
Queenza tersentak lalu menoleh, menatap lelaki kekar dengan tubuh tinggi tegap hingga Queenza hanya mencapai bahunya. Saat itu baru Queenza menyadari aura tak nyaman yang menguar dari orang itu. Begitu gelap, pekat.
Berbulan-bulan bisa merasakan aura orang-orang di sekelilingnya, dan sering kali juga merasakan seseorang terasa bukan manusia, membuat Queenza berlatih mengabaikan semua itu. Dia berusaha agar benaknya selalu penuh hingga tidak ada waktu memperhatikan sekeliling. Dan ternyata berhasil.
“Jangan memandangku seperti itu, manis. Bisa-bisa aku tidak sanggup menahan diri lagi dan segera membawamu ke rumahku saat ini juga.”
Lagi-lagi Queenza tersentak kaget lalu segera memalingkan wajah dari lelaki itu, memilih menikmati tetes hujan yang mengguyur bumi.
Entah apa yang lucu, lelaki yang bisa dibilang cukup tampan itu tertawa kecil. “Kau sangat menggemaskan. Aku janji akan menjemputmu setelah pemakaman kedua orang tuamu.”
Tubuh Queenza menegang sekaligus merinding. Hatinya sakit dan dia sudah siap mengamuk namun lelaki itu keburu pergi, dengan santai menembus tirai hujan seolah mengerti apa yang akan Queenza lakukan selanjutnya dan memilih menghindar.
Sepanjang jalan pulang, Queenza berusaha mengabaikan ocehan orang gila itu. Namun tiba di rumah dan melihat ibunya tergopoh-gopoh membawakan handuk karena ia sempat terguyur air hujan, pertahanan Queenza langsung runtuh. Dia menangis keras dalam dekapan ibunya yang terlihat bingung.
Sejak hari itu, Queenza semakin manja pada orang tuanya. Dia selalu berusaha berada di dekat mereka seolah untuk memastikan ucapan lelaki gila di halte bis hari itu hanya isapan jempol.
Ulang tahun Queenza yang ketujuh belas merupakan momen terindah dalam hidupnya. Dia yang masih kelas dua SMA mendapat kejutan dari teman-teman sekelasnya. Kebahagiaan Queenza tak bisa dilukiskan. Dia merasa menjadi orang paling beruntung di dunia. Terutama saat dia mendapat pesan dari ayahnya bahwa kedua orang tuanya akan menjemput sepulang sekolah untuk merayakan hari ulang tahun Queenza.
Di depan gerbang sepulang sekolah, Queenza dengan bersemangat melambai pada kedua orang tunya yang tampak menunggu di seberang jalan. Dia sudah hendak menyeberang menghampiri mereka saat tiba-tiba sebuah bis yang tampak hilang kendali menabrak kedua orang tua Queenza yang tengah berdiri. Semua itu terjadi dalam hitungan detik. Namun melekat seumur hidup dalam benak Queenza.
Dia bahkan masih ingat bagaimana dia menjalani hari seperti mayat hidup setelah itu. Sama sekali tidak ada air mata yang Queenza jatuhkan. Namun dia seperti orang linglung yang hanya berjalan sesuai perintah.
Prosesi pemakaman dan lainnya sudah diurus paman dan bibi Queenza yang kebetulan tidak sedikit. Bahkan salah satu dari mereka sempat mengajak Queenza ke rumahnya usai pemakaman. Namun Queenza menolak dan memilih tinggal sendirian di rumah sederhana peninggalan orang tuanya.
Kejadian itu sudah berlalu hampir setengah tahun lamanya. Tapi luka di hati Queenza belum juga sembuh. Bahkan semakin lebar dari hari ke hari seiring bertambah banyaknya makhluk aneh yang ia temui.
Siksaan ini. Semua rasa sakit ini. Entah kapan berakhir. Sebenarnya dirinya sudah lelah. Tapi Queenza tidak mau menyerah. Karena tekad itulah dia tetap bisa berdiri dengan kedua kakinya sendiri hingga kini.
--------------------
♥ Aya Emily ♥