Jumat (14.48), 28 Mei 2021
--------------------
Isak pelan itu menembus pendengaran Kingsley yang tajam. Dalam satu kedipan mata, dia yang sebelumnya masih berbaring di ranjang Queenza sudah membuka pintu kamar, berdiri di belakang gadis yang tengah menangis pelan sambil bersimpuh di depan pintu kamar.
Ragu, Kingsley berjongkok di samping Queenza. Dia seolah bisa merasakan rasa sakit yang mendera hati gadis itu. Membuatnya tercekat dan sesak.
“Ada apa?” tanya Kingsley pelan.
Bukannya menjawab, Queenza menangis semakin keras. Tubuhnya sampai berguncang pelan.
Lagi-lagi dengan gerakan ragu, Kingsley menarik kepala Queenza lalu ia sandarkan ke dadanya yang keras. Beruntung gadis itu tidak menolak. Kingsley pasti akan salah tingkah jika Queenza mendorongnya menjauh. Dia tidak pernah menghibur seseorang. Biasanya, Queenza lah yang selalu menghiburnya.
Seperti saat Kingsley berduka akibat kehilangan ibunya dengan cara keji.
Tidak ada salahnya berbagi cerita. Itu akan mengurangi rasa sakit di dadamu.
Itu adalah kata-kata yang Queenza ucapkan padanya. Apa boleh dirinya meniru kata itu untuk menghibur Queenza saat ini?
“Hmm, Queenza. Seseorang pernah berkata padaku, ‘Tidak ada salahnya berbagi cerita. Itu akan mengurangi rasa sakit di dadamu.’ Mungkin kau juga bisa mencoba mengurangi rasa sakit di dadamu dengan bercerita padaku. Mungkin aku tidak bisa memberimu jalan keluar. Tapi setidaknya kau tidak akan menanggung beban kesedihan seorang diri.”
Di luar dugaan, Queenza melingkarkan kedua lengannya di tubuh Kingsley, bersandar sepenuhnya pada makhluk menyeramkan yang harusnya dia takuti. “Aku—aku merindukan Ibu dan Ayahku. Rasanya aku masih tidak percaya bahwa mereka sudah pergi jauh dariku.”
Kingsley langsung mengerti. Ternyata tidak jauh beda dengan kondisi Kingsley dulu. Satu-satunya masa di mana dia menunjukkan isi hatinya yang paling rapuh. “Berhenti menangisi mereka. Mereka pasti sedih melihatmu seperti ini. Tetap lanjutkan hidupmu dan buat mereka merasa bangga di surga sana.” Lagi-lagi itu adalah kata-kata Queenza yang ditirunya. Dia bahkan masih ingat jelas saat jemari lembut Queenza membelai kepalanya yang tengah berbaring di pangkuan gadis itu sementara sang gadis melontarkan kata-kata penghibur.
Ya, gadis.
Saat itu Queenza masih berusia dua belas tahun sementara Kingsley berusia empat belas tahun. Usia yang masih sangat muda namun sudah tak terhitung berapa nyawa yang Kingsley habisi dengan tangannya. Dia membantai orang-orang yang telah membakar hidup-hidup sang ibu di hadapannya.
Queenza menekan wajahnya ke d**a Kingsley untuk meredam isak tangisnya yang semakin keras.
Yakin Queenza tidak akan mengatakan apapun atau beranjak dari lantai, Kingsley menarik lembut gadis itu agar berdiri lalu membopongnya menuju sofa yang menghadap tv. Dia duduk di atas sofa itu dan mendudukkan Queenza di atas pangkuannya.
“Jangan mengeluh bokongmu sakit karena duduk di atas pahaku. Aku sudah cukup berbaik hati saat ini.”
Queenza mengabaikan ucapan Kingsley yang mungkin bermaksud menghiburnya. Kedua tangannya masih melingkari tubuh tengkorak Kingsley yang untungnya masih mengenakan kemeja tanpa jaket.
Kingsley menepuk-nepuk lembut punggung Queenza seraya menatap penasaran pada benda berbentuk persegi panjang warna hitam beberapa meter di depan mereka.
Cukup lama mereka duduk dalam posisi itu. Perlahan tangis Queenza mulai reda namun dia masih enggan menjauhkan wajah dari d**a Kingsley. Rasanya nyaman bisa bersandar pada seseorang yang lebih tangguh darinya saat ia berada di titik terbawah dalam hidupnya.
“Sudah merasa lebih baik?” tanya Kingsley pelan. Tangannya membelai punggung Queenza naik turun.
Queenza mengangguk pelan.
“Mungkin mengingat saat bahagia bersama kedua orang tuamu bisa mengurangi kesedihanmu.”
“Tidak bisa,” bantah Queenza pelan. “Yang terus kuingat sekarang adalah saat mereka meninggal. Sampai kini aku masih merasa bahwa itu salahku.”
“Kenapa kau berpikir begitu?”
“Aku—aku juga tidak tahu kenapa. Begitu melewati ulang tahun yang keenam belas, aku seperti bisa merasakan aura seseorang. Sering aku berpikir beberapa orang tidak tampak seperti manusia biasa. Semakin lama, perasaan itu semakin kuat. Bahkan beberapa orang yang kupikir—berbeda, menyapa dan berkata bahwa darahku baunya manis. Aku sama sekali tidak mengerti apa maksudnya.” Isak tangis Queenza kembali terdengar mengingat semua itu. Kejadian-kejadian yang menurutnya berhubungan dengan kematian kedua orang tuanya.
Kingsley hanya diam mendengarkan, membiarkan Queenza menumpahkan isi hatinya sambil mencerna apa yang sebenarnya menimpa gadis itu.
“Lalu—ada seorang lelaki yang juga terasa berbeda. Tiba-tiba dia berkata akan menjemputku setelah pemakaman kedua orang tuaku.”
Gerakan tangan Kingsley mendadak berhenti. “Lalu? Apa yang terjadi dengan orang tuamu?”
Queenza menegakkan tubuh, menatap dalam tengkorak Kingsley yang saat ini sama sekali tidak membuatnya takut. “Kau percaya padaku?” Queenza terisak. “Aku memendam semua ini sendirian karena aku yakin tidak akan ada yang percaya. Aku takut orang-orang meragukanku saat aku sedang sangat sedih.”
“Sekarang kau yang meragukanku. Padahal sesuatu yang mustahil sendiri ada di hadapanmu.”
Queenza tersenyum di sela air matanya yang terus menetes. Ya, mana mungkin Kingsley tidak mempercayainya. Semua yang Queenza ceritakan jadi terdengar tidak terlalu aneh setelah melihat kerangka Kingsley.
“Nah, kau mengerti, kan? Dibanding diriku, apa yang kau ceritakan sama sekali bukan sesuatu yang luar biasa dan sulit dipercaya. Para manusia di sini akan lebih tidak percaya setelah melihatku. Bagaimana mungkin ada makhluk yang ketampanannya menyaingi malaikat yang paling tampan?”
Seketika senyum Queenza menghilang. Rasanya dia ingin memaki-maki makhluk di hadapannya itu. Namun Queenza menahan diri karena sejauh ini dia bersyukur Kingsley ada bersamanya.
“Aku anggap kau tidak pernah mengatakan itu,” gumam Queenza sambil menyandarkan kembali kepalanya di d**a Kingsley.
“Memangnya kenapa?”
“Kau mau dengar ceritaku lagi atau tidak?”
“Ah ya, baiklah. Silakan lanjutkan. Aku juga penasaran apa yang menimpa orang tuamu.”
Diingatkan akan hal itu membuat d**a Queenza kembali sesak. Dia menghela napas sejenak sebelum membiarkan memori hari itu memenuhi benaknya.
“Tepat di ulang tahunku yang ketujuh belas, mereka sengaja menungguku sepulang sekolah. Lalu tiba-tiba, sebuah bus tanpa penumpang hilang kendali dan menabrak mereka.” Queenza mencengkeram pakaian Kingsley untuk menahan isak tangisnya namun tetap tak kuasa mencegah air mata. “Ayah dan Ibuku serta pengemudi bus tewas di tempat. Aku kehilangan mereka dalam sekejap. Polisi yang menangani kasus itu menyatakan bahwa kejadian itu hanya kecelakaan biasa karena supir bus mengantuk. Tapi aku merasa ada yang aneh dengan semua itu.”
“Aku juga,” celetuk Kingsley.
Kembali Queenza menegakkan tubuh untuk memandang wajah tengkorak Kingsley. “Nah kan, kau juga merasakan hal yang sama.”
“Ya, banyak yang aneh dengan ceritamu. Seperti sekolah, bus, dan apa satu lagi? Po—po…”
“Kau sungguh menyebalkan, Yang Mulia Tengkorak Kingsley!”
“Jangan—”
“Aku sedang berduka tapi kau terus saja membuat lelucon yang sama sekali tidak lucu.”
“Aku benar-benar tidak mengerti maksud kata-katamu tadi.”
“Sudahlah.” Queenza turun dari pangkuan Kingsley, berdiri seraya membenahi rambutnya yang acak-acakan. “Mendadak aku merasa lapar.” Dia hendak berbalik namun Kingsley memegang tangannya. “Apa?” tanya Queenza kesal.
“Apa kau tidak merasakan sesuatu saat kita pingsan tadi? Misalnya melihat gambaran-gambaran tentang dunia ini?”
Kening Queenza berkerut. “Tidak. Memangnya kenapa?”
“Sepertinya kekuatanmu belum cukup besar untuk melihat apa yang kulihat.”
“Aku tidak mengerti.”
“Apa yang kau alami sejak melewati usia enam belas tahun baru awalnya saja. Kekuatanmu akan kembali secara perlahan hingga puncaknya tepat di usia dua puluh satu tahun.”
Queenza terdiam sejenak sebelum bertanya dengan nada ragu. “Apa kau benar-benar yakin bahwa aku dan Queenza yang kau kenal dimasa lalu adalah orang yang sama?”
“Tentu saja. Kau pikir kenapa orang tuamu memberimu nama Queenza? Itu karena kau sendiri yang membuat mereka memberikan nama itu.”
Queenza tertegun. Dia memang pernah bertanya-tanya kenapa kedua orang tuanya memberinya nama itu. Nama yang terdengar sedikit aneh dan membuat dirinya kerap kali menjadi bahan olok-olok anak-anak seusianya. Tapi mereka hanya menjawab bahwa mereka menyukai nama itu dan berharap Queenza bisa menjadi ratu. Ratu di hati semua orang. Jawaban yang manis dan masuk akal hingga dia tidak mempertanyakannya lagi.
“Mungkin hanya kebetulan.”
“Terserah kau mau percaya atau tidak. Aku hanya berharap kau mempersiapkan diri untuk tenggelam semakin jauh dalam dunia yang mungkin tidak pernah kau bayangkan sebelumnya selama jadi manusia.”
Ucapan Kingsley membuat bulu kuduk Queenza meremang. Yang dialaminya selama ini sudah cukup membuatnya tidak tenang. Apalagi jika Queenza harus merasakan yang lebih buruk dari ini. Entah dirinya sanggup bertahan atau tidak.
“Kau bukan wanita lemah, Queenza,” ujar Kingsley, seolah bisa membaca pikiran Queenza. “Kau pasti bisa melewati semua. Dan aku membutuhkanmu untuk terus di sampingku.” Ada nada lembut saat Kingsley mengucapkan kalimat terakhirnya.
“Ya, ya. Membutuhkan darahku, kan? Tidak perlu terus mengingatkanku bahwa aku hanya sapi perah bagimu,” ketus Queenza.
Kali ini Kingsley tidak menanggapi. Ia melepaskan tangan Queenza lalu menyandarkan punggung dengan sikap seorang bangsawan.
“Sebaiknya aku segera membuat sarapan sebelum perutku berbunyi lagi. Entah kapan terakhir kali aku makan dengan benar.” Queenza berhenti sejenak untuk menyalakan tv, mencari-cari channel yang mungkin bisa menghibur Kingsley. “Kau bisa menonton tv selama menungguku. Jika butuh sesuatu, panggil aku di dapur.”
Setelahnya dia keluar dari ruang tengah tanpa memperhatikan bagaimana tubuh Kingsley menegang dengan pandangan fokus ke arah tv yang tengah menayangkan film drama kerajaan.
***
“QUEENZA!!”
PRANG!
Queenza menjatuhkan spatula ke atas wajan hingga menimbulkan bunyi keras karena kaget mendengar panggilan Kingsley. Sepertinya belum lima menit dia meninggalkan tengkorak itu. Tapi sekarang Kingsley sudah berteriak-teriak dengan nada panik.
Baru saja Queenza hendak kembali ke ruang tengah, mendadak Kingsley sudah berdiri di hadapannya dan nyaris membuat Queenza terkena serangan jantung.
“Bisakah kau berjalan biasa saja?” tanya Queenza kesal seraya memegang d**a.
Bukannya menjawab, Kingsley malah menggeram marah. “Kenapa kau lakukan itu?”
“Melakukan apa?”
“Jangan pura-pura tidak tahu, Queenza. Aku tidak menyangka para manusia bisa serendah ini.”
“Kau bicara apa sih?”
“Kau mengurung peri bunga dalam kotak itu lalu membiarkan mereka saling membunuh. Dan kau menjadikan itu sebagai tontonan!” nada suara Kingsley semakin meninggi di akhir kalimat.
“Peri bunga apa?”
Geram. Kingsley memegang kedua lengan atas Queenza, sedikit meremasnya. “Apa yang sudah kau lakukan pada mereka? Di mana sayap mereka?”
Queenza meringis karena cengkeraman Kingsley. “Sayap apa?”
Tidak tahan mendengar Queenza yang terus menyangkal, Kingsley menyeret gadis itu ke ruang tengah lalu berhenti di depan tv yang kini tengah menayangkan adegan pertarungan dengan pedang.
“Lihat! Mereka saling membunuh di dalam sana dan kau masih menyangkal? Cepat keluarkan mereka sebelum kesabaranku habis, Queenza.”
Queenza melongo menatap ke arah tv lalu beberapa detik kemudian tertawa keras. “Mereka itu manusia. Dan yang mereka lakukan hanya akting untuk menghibur penonton.”
“Kau pikir aku bodoh?” geram Kingsley.
“Kau memang bodoh!” seru Queenza kesal.
Kingsley mencengkeram rahang Queenza. “Tidak ada manusia yang berukuran sekecil itu. Hanya peri bunga. Dan kau tahu, Queenza? Peri bunga satu-satunya makhluk yang tak akan kusakiti tanpa alasan, di saat aku sanggup menghabisi makhluk lain hanya untuk bersenang-senang.”
Queenza berdecak malas, tidak berusaha melepaskan diri. “Terserah kau mau bilang apa? Mereka manusia dan tidak punya sayap.”
“Baiklah kalau kau tidak mau mengaku. Biar aku sendiri yang akan membebaskan mereka.”
“Hei, kau—”
Belum sempat Queenza menyelesaikan kalimatnya, Kingsley sudah berdiri di depan tv dan salah satu tinjunya menghantam layar tv hingga pecah. Seketika layar tv 42in itu hancur, menimbulkan percikan api kecil dan asap tipis yang mengepul.
“Jangan khawatir, Peri Bunga. Aku akan menyelamatkan kalian,” ujar Kingsley seraya melongok ke dalam layar tv yang sudah pecah.
Queenza ternganga melihat keadaan tv-nya. Selama beberapa saat dia hanya membeku di tempat, lalu perlahan kemarahan menguasai dirinya. Dengan geram, Queenza menendang kuat-kuat b****g Kingsley yang tengah membungkuk di depan tv, membuat kepala tengkorak sang Kaisar masuk menerobos layar tv.
-----------------
♥ Aya Emily ♥