Jumat (15.00), 28 Mei 2021
---------------------
Queenza menggoreng empat butir telur untuk sarapannya pagi ini dengan hati dongkol. Kemarahannya tampak jelas dari sikap kasarnya saat masak, membuat Kingsley tak berani mengganggu dan hanya duduk diam di salah satu kursi meja makan sambil memperhatikan punggung gadis itu.
Selesai menggoreng telur, Queenza menghidangkannya di satu piring lalu membawanya ke meja makan. Sejenak, dia kembali ke pantri untuk mengambil air dingin dalam kulkas. Desah kesalnya terdengar melihat kulkasnya kosong. Mau tidak mau dia harus berbelanja hari ini.
Dengan telur goreng dan segelas air dingin di hadapan, Queenza makan dengan lahap. Mengabaikan sosok di seberangnya yang menatap dalam diam. Dia bahkan tidak tertarik sekedar basa-basi menawarkan Kingsley sarapan. Toh tengkorak jelek itu sepertinya tidak makan apapun selain darahnya.
“Seharusnya aku yang marah karena kau membuat kepalaku tersangkut dalam kotak hitam itu. Tapi kenapa sekarang kau yang marah?” tanya Kingsley akhirnya, memecah keheningan di antara mereka.
Kesal, Queenza menatap tajam ke arah kepala tengkorak Kingsley. “Kau merusak tv-ku! Itu peninggalan kedua orang tuaku dan aku tidak punya cukup uang untuk membeli tv baru. Aku juga tidak tahu apa yang akan menimpaku di masa depan, jadi aku harus punya simpanan uang sebagai pegangan. Bisa saja, salah satu makhluk aneh itu menculikku lagi.”
“Lagi?” tanya Kingsley penasaran. “Aku baru ingat kau belum menceritakan bagaimana kau bisa terdampar di Immorland.”
“Memang belum.”
“Jadi, bagaimana?” desak Kingsley.
Sebenarnya Queenza masih marah karena tv-nya yang rusak sementara Kingsley sama sekali tak tampak bersalah. Tapi dia juga senang jika ada yang bersedia mendengarkan ceritanya yang aneh tanpa menganggap dirinya gila.
“Makhluk yang berkata akan menjemputku setelah kematian orang tuaku benar-benar datang.” Queenza menghela napas untuk meredam gumpalan tangis yang terasa mencekat kerongkongannya. Selalu seperti itu saat mengingat bahwa orang tuanya telah tiada. “Dia datang hampir setengah tahun lamanya. Entah bagaimana sudah menungguku di rumah. Sepertinya kejadian itu sekitar tiga hari lalu. Tapi aku juga tidak yakin.
“Dia membuatku pingsan. Saat aku sadar, aku berada di rumah yang menyerupai gubuk. Aku tidak tahu sudah berada lama aku di sana. Lenganku terluka,” Queenza menunjuk bekas luka di lengannya yang tidak tampak terlalu mengerikan karena daun obat yang dicarikan Mochi di hutan. “sepertinya dia sudah meminum darahku. Lalu saat dia hendak melukai lenganku yang lain, dua makhluk itu datang dan mereka bertiga berkelahi. Saat itulah aku segera melarikan diri.”
“Apa dua makhluk itu yang mengejarmu hingga kau jatuh ke kuburanku?”
“Ya, mereka.” Queenza bergidik, belum bisa sepenuhnya lepas dari kengerian hari itu meski dia sudah berpura-pura bahwa semuanya normal. “Sepertinya mereka berhasil mengalahkan lelaki yang menculikku lalu beralih mengejarku. Sisanya kau sudah tahu.” Queenza mengiris-iris telur di piringnya dengan tak berselera. Nafsu makannya mendadak hilang mengingat semua itu.
“Lanjutkan makanmu, Queenza.” Ada nada tegas dalam suara Kingsley. “Jangan khawatir mengenai makhluk-makhluk itu lagi. Selama kau disampingku, kau berada di bawah perlindunganku.”
Bibir Queenza mengerucut. “Saat kau disampingku, aku aman dari makhluk-makhluk itu. Tapi barang-barangku tidak aman darimu.”
“Aku kan sudah minta maaf. Salahmu juga tidak menjelaskan dengan baik padaku bahwa manusia sekarang bisa berubah menjadi kecil seperti peri bunga lalu masuk ke dalam kotak hitam itu untuk menghibur manusia lainnya.”
“Sudah kubilang, tidak ada yang masuk ke dalam kotak hitam itu dan tidak ada yang berubah menjadi kecil seperti peri bunga atau apalah,” Queenza berkata kesal. “Mereka ada di tempat lain. Yang kau lihat di layar tv hanya rekaman mereka saja. Gambar.”
Kingsley tidak menanggapi. Dia diam, berusaha mencerna penjelasan Queenza yang malah menimbulkan banyak tanda tanya namun tidak berani ia utarakan karena khawatir Queenza semakin kesal.
Queenza mengerti bahwa Kingsley sedang bingung. Dia berpikir sejenak, apa yang bisa dia lakukan untuk membuat Kingsley mengerti garis besar kehidupan manusia modern. Sepertinya sangat sulit dan akan memakan waktu lama jika harus menjelaskan satu per satu segala hal di sekeliling mereka.
Lalu wajah Queenza berbinar saat ia mengingat laptopnya di kamar. Sepertinya dia masih punya banyak sisa kuota paket internet di modemnya. “Setelah aku menghabiskan sarapanku, ikut aku ke kamar. Aku akan mengajarimu sesuatu.”
“Apa?”
“Nanti kau akan tahu.” Queenza memaksakan diri melahap habis sarapannya. Kurang dari sepuluh menit, dia sudah beranjak menuju kamarnya yang segera diikuti Kingsley.
Tiba di kamar, perhatian Kingsley langsung tertuju pada benda yang masih berputar di langit-langit kamar. “Sebenarnya itu apa?” tanya Kingsley seraya menunjuk.
“Kau bisa mencari tahunya sendiri dari sini.” Dengan wajah berbinar, Queenza menunjuk laptopnya di atas meja belajar lalu membawanya ke ranjang.
Kingsley hanya diam di tengah ruangan, memperhatikan Queenza dengan penasaran.
“Kemarilah.” Queenza menepuk ranjang di sebelahnya.
Kingsley segera menghampiri Queenza lalu duduk bersila di sebelah gadis itu.
“Aku akan mengajarimu cara menggunakan internet. Di internet, kau bisa mencari apapun yang kau inginkan.” Queenza menjelaskan seraya menyalakan laptop.
“Benarkah?”
“Tentu saja.”
“Apa aku bisa mencari Mochi di situ?”
Kening Queenza berkerut. “Mochi?”
“Iya. Aku menyuruhnya mengawasi Kerajaan Ackerley.”
Queenza meringis. “Tidak bisa sedetail itu. Lagipula yang bisa kau cari hanya berhubungan dengan dunia manusia.” Queenza membuka salah satu browser yang biasa dia gunakan lalu mengarahkan ke Google Gambar. “Misalnya, tadi kau bertanya tentang benda yang berputar di atas itu, kan?” Queenza menunjuk kipas di langit-langit kamarnya. “Coba saja cari, ‘benda yang berputar di langit-langit kamar.’ Nah, yang mana yang mirip?”
Kingsley mendongak memperhatikan kipas lalu menunjuk salah satu gambar. Queenza menahan senyum geli melihat Kingsley seperti anak kecil yang penasaran sekaligus takjub.
“Kau bisa langsung klik gambarnya seperti ini.” Queenza menunjukkan cara menggunakan keyboard dan touchpad laptop. “Kau bisa baca, kan? Nama benda ini kipas.”
“Jangan meremehkanku. Tentu saja aku bisa baca,” nada suara Kingsley terdengar tersinggung.
“Aku hanya bertanya.” Queenza melotot.
Kingsley mengabaikan Queenza lalu kembali memperhatikan layar laptop. “Aku tahu apa itu kipas. Tapi tidak seperti ini bentuknya. Kipas di kerajaanku terbuat dari jalinan bulu merak dan tidak berputar, tapi digerakkan dengan tangan.”
“Ya, itu kipas lama. Kipas zaman sekarang hanya perlu satu tombol dan kau hanya berbaring nyaman menikmati angin segar. Seperti itu,” Queenza menunjuk kipas di kamarnya.
Sejenak Kingsley terdiam tapi kemudian mengangguk. Sepertinya dia mulai mengerti.
“Ada lagi yang lebih keren dari kipas. Namanya AC. Tapi nanti saja kujelaskan karena tidak ada bendanya di sini. Sekarang kita coba cari dengan kata kunci yang lain. Kau ingin cari apa?”
“Mochi?”
Queenza mendesah. “Tidak bisa mencari Mochi di sini.” Lalu perhatiannya tertuju pada pakaian Kingsley yang tampak terlalu besar di tubuh tengkoraknya. Dalam hati Queenza berpikir untuk membelikan Kingsley pakaian saat berbelanja nanti. “Misalnya coba cari ‘pakaian’. Nah, lihat! Ada banyak model pakaian di zaman sekarang.”
Kingsley terdiam, memperhatikan dengan seksama layar laptop. Lalu dia mencoba mengklik beberapa gambar dengan arahan Queenza.
“Bisakah aku mencari makanan di dalam sini?” tanya Kingsley kemudian.
“Tentu saja.” Queenza berkata semangat. Sepertinya Kingsley mulai mengerti cara kerja internet. “Coba kau yang mengetik.”
Dengan dua jari telunjuk, Kingsley menekan satu per satu huruf hingga terbentuk kata ‘makanan’, lalu menekan tombol enter. Beberapa saat kemudian, banyak gambar makanan yang muncul. Dengan antusias, Kingsley mengklik gambar yang paling menarik perhatiannya.
“Dengar. Ini semua hanya gambar atau semacam lukisan,” Queenza memperingatkan. “Jadi tidak ada makanan di dalam laptop. Kalau kau ingin makanan itu, kita bisa membuat sendiri atau membelinya.”
Kingsley manggut-manggut dengan perhatian tidak lepas dari layar laptop.
Apa aman meninggalkan Kingsley sendirian dalam rumah? Pikir Queenza. Dirinya harus membeli bahan makanan dan mustahil dia membawa Kingsley keluar rumah tanpa menimbulkan kepanikan massal mengingat sosoknya yang mengerikan.
“Kingsley, aku harus keluar sebentar untuk membeli sesuatu. Bisakah kau tetap di sini—di ranjang ini—sampai aku datang?”
Lagi-lagi Kingsley hanya manggut-manggut. Huh, dasar bocah dan mainan barunya!
“Bagus. Aku akan segera kembali.” Queenza buru-buru ke lemari mengambil pakaian bersih lalu keluar kamar menuju kamar mandi. Tadi pagi dia terlalu senang sudah kembali ke rumah hingga tidak memperhatikan bahwa dirinya masih mengenakan pakaian yang sama seperti saat dirinya diculik.
Selesai mandi kilat dan mengenakan pakaian, Queenza buru-buru keluar rumah menuju minimarket sekitar dua ratus meter dari rumahnya. Kasir minimarket yang cukup mengenal Queenza sempat bertanya ke mana dirinya beberapa hari ini. Queenza membuat alasan bahwa dia menginap di rumah salah satu bibinya.
Queenza membeli banyak bahan makanan dan beberapa pakaian lelaki yang menurut perkiraannya pas untuk tubuh kerangka Kingsley. Dia juga membeli beberapa obat luka dan obat penambah darah, mengingat dia memiliki peliharaan di rumahnya yang hanya minum darahnya.
Tak sadar, yang dibeli Queenza banyak menguras kantongnya. Beruntung dia membawa cukup uang untuk membayar.
Walau Queenza kini harus hidup seorang diri, dia beruntung tidak perlu bekerja dan tetap bisa melanjutkan sekolah. Ayahnya meninggalkan Queenza dana pensiunan yang akan diberikan padanya tiap awal bulan hingga dia bisa menghasilkan uang sendiri kelak.
Selesai berbelanja, Queenza bergegas pulang. Dia belum sepenuhnya yakin bisa meninggalkan Kingsley di rumahnya sendirian. Bisa saja sekarang makhluk itu sudah menghancurkan laptopnya dan mungkin barang-barangnya yang lain juga.
“Queenza!”
Langkah Queenza terhenti mendengar seruan itu. Dia berbalik dan mendapati Rory—salah satu teman sekelasnya—yang setengah berlari menghampiri.
“Hai,” sapa Queenza ramah begitu Rory berdiri di hadapannya.
“Astaga, ternyata aku tidak salah lihat. Ini memang kau.”
“Memangnya kenapa?”
Rory melotot. “Kenapa kau santai sekali seperti itu? Semua orang panik mencarimu. Kau kemana saja?”
Queenza meringis namun dalam hati dia bersyukur memiliki teman-teman dan saudara yang sangat memperhatikannya. “Aku menginap di rumah salah satu bibiku.”
“Jangan bohong, Queenza. Kemarin wali kelas kita sudah menghubungi Bibi Marlene yang langsung bertanya pada saudara-saudara orang tuamu yang lain. Semuanya tidak tahu. Mereka sudah berencana melaporkan bahwa kau menghilang ke polisi hari ini.”
Queenza mulai panik. “Sepertinya aku harus segera menghubungi Bibi Marlene. Tapi aku lupa meninggalkan ponselku di mana.” Apa dirinya tanpa sengaja membawa ponsel saat diculik lalu menghilangkannya di sana? Dunia para makhluk aneh itu?
“Kau meninggalkan ponselmu di rumah. Bibi Marlene yang mengatakannya sendiri setelah masuk ke rumahmu dengan kunci cadangan.”
Astaga, dirinya telah membuat susah banyak orang. Terutama Bibi Marlene yang merupakan adik kandung sang Ayah dan cukup dekat dengan dirinya.
“Kalau begitu sebaiknya aku segera pulang dan menghubungi Bibi Marlene. Terima kasih informasinya, Rory. Tapi ngomong-ngomong, kenapa kau tidak sekolah?”
“Aku izin tidak masuk hari ini.”
“Oh. Baiklah kalau begitu, aku pulang sekarang. Dah.” Queenza hendak berbalik namun berhenti karena ucapan Rory.
“Queenza, apa kau punya masalah tertentu? Mungkin aku bisa membantu jika kau mau menceritakannya.”
Queenza mengulas senyum. Beruntung dia ingat untuk memakai baju berlengan panjang. Jika tidak, Rory akan semakin cemas melihat luka-luka di lengannya. “Terima kasih sudah mengkhawatirkanku. Tapi aku baik-baik saja.”
“Kau yakin?”
“Tentu saja.” Queenza mengangguk mantap.
“Baiklah. Jaga dirimu dan segera hubungi Bibi Marlene.”
“Oke, bos!”
Rory menyeringai sebelum melambai seraya berbalik. Queenza bergegas pulang. Tiba di rumah dia meletakkan barang belanjaan di pantri lalu menuju kamar untuk memastikan Kingsley tidak membuat ulah dan mencari ponselnya.
Klek.
Pintu kamar terbuka, menampakkan seisi kamar yang masih sama seperti sebelum Queenza keluar rumah tadi. Dia menghela napas lega seraya masuk mendekati Kingsley yang saat ini tengah telungkup di ranjang sementara perhatiannya masih tertuju penuh ke layar laptop.
“Kingsley, kau tidak beranjak dari sini, kan?” tanya Queenza memastikan.
Kingsley hanya mengangguk sebagai tanggapan tanpa menoleh ke arah Queenza.
Queenza menahan senyum. Sepertinya mengenalkan internet pada Kingsley merupakan keputusan yang tepat. Makhluk itu jadi sangat tenang. Semoga dia bisa mempelajari banyak hal dan tidak membuat Queenza pusing lagi dengan pengetahuannya yang minim terhadap dunia modern.
“Bagus sekali,” gumam Queenza seraya menatap sekeliling. Sekarang waktunya mencari ponsel. “Kingsley, apa kau melihat ponselku? Benda berbentuk seperti layar laptop tapi ukurannya jauh lebih kecil. Bisa menyala sendiri dan bergetar.” Itu jika baterainya masih terisi karena sudah kutinggalkan beberapa hari, lanjut Queenza dalam hati.
“Seperti yang di sana itu?” tanya Kingsley seraya menunjuk meja nakas, masih dengan perhatian terarah ke layar laptop.
Queenza menoleh ke arah yang ditunjuk Kingsley. Senyumnya mengembang melihat ponselnya di sana. “Wah, kau semakin pintar,” puji Queenza seraya mengambil ponselnya lalu segera menghubungi Bibi Marlene saat dilihatnya daya baterai masih tersisa beberapa persen.
“Halo, Bibi,” sapa Queenza seraya keluar kamar.
“Kau di mana?!”
Queenza meringis mendengar nada tinggi sang Bibi. “Aku sudah di rumah. Siang ini aku akan mengunjungi Bibi.”
“Tidak perlu. Bibi yang akan ke situ.”
Tidak boleh. Bibinya pasti akan terkena serangan jantung begitu melihat Kingsley. “Bibi, aku baru pulang dan ingin istirahat pagi ini. Sendirian. Aku janji siang nanti akan ke rumah Bibi.”
Nada suara Marlene berubah lembut. “Sebenarnya apa yang terjadi padamu? Ke mana saja kau beberapa hari ini? Apa kau terlibat masalah?”
Queenza mencari alasan dengan cepat. “Aku tidak sanggup lagi berpura-pura baik-baik saja. Beberapa minggu ini aku sangat tertekan dan begitu merindukan Ibu dan Ayah. Karena itu kuputuskan untuk pergi sejenak, menenangkan diri.” Itu tidak sepenuhnya kebohongan. Tapi tetap saja—dirinya mengarang cerita.
Terdengar hela napas. “Kenapa kau tidak menghubungi Bibi, sekedar memberitahu bahwa kau akan pergi? Bibi tidak akan mencegah, hanya berusaha memastikan bahwa kau aman.”
Mata Queenza berkaca-kaca karena haru. Maaf aku harus membohongimu, Bibi Marlene.
“Maaf karena tidak melakukannya. Saat itu yang kupikirkan hanya ingin menyendiri.”
“Baiklah, lupakan. Yang penting kau selamat. Asal jangan ulangi lagi.”
“Aku janji.”
“Segera datang. Bibi menunggumu.”
“Tentu.”
Hati Queenza terasa lebih ringan setelah berbincang dengan bibinya. Seolah semua sudah kembali seperti sedia kala. Seolah dia hidup normal lagi seperti sebelum berusia enam belas tahun, meski kenyataannya ada makhluk yang tidak masuk akal di kamarnya.
Queenza kembali ke kamar lalu menghampiri Kingsley yang masih asyik telungkup dengan perhatian mengarah ke layar laptop.
“Apa yang kau pelajari sekarang? Apa ada yang ingin kau tanyakan?” tanya Queenza seraya duduk di sebelah Kingsley lalu turut memperhatikan layar laptop. Seketika, dia memekik kaget lalu buru-buru menutup laptopnya. “Kenapa kau melihat yang seperti itu?!” tanya Queenza dengan nada tinggi dan wajah panas karena malu.
Bagaimana tidak? Yang dilihat Kingsley ternyata gambar-gambar wanita dengan tubuh setengah telanjang dan p******a besar. Beberapa masih mengenakan bra namun jelas payudaranya seolah akan tumpah keluar. Dan lainnya malah tanpa bra, memamerkan payudaranya dengan pose tubuh yang sangat seksi.
Perlahan Kingsley mengubah posisi tubuhnya menjadi duduk bersila di depan Queenza. “Bukan aku yang menyuruh mereka membuka pakaian.”
“Itu aku tahu. Tapi kenapa kau malah mencari gambar mereka? Kupikir kau seorang Kaisar yang terhormat.”
“Jangan salahkan aku. Salahkan saja internetnya. Tadi aku bosan melihat makanan. Jadi aku mencari minuman kesukaanku, s**u. Ternyata yang keluar malah penghasil susu.”
Wajah Queenza merah padam. Dia tidak tahu harus menanggapi bagaimana. Dan lagi, dia tidak bisa menebak apa Kingsley sedang bercanda atau serius karena kepala tengkoraknya tidak bisa menampilkan ekspresi.
Kingsley membelai dagunya dengan ibu jari dan telunjuk. “Hmm, ternyata manusia sekarang bukan hanya minum s**u yang dihasilkan hewan. Tapi juga s**u dari ibu-ibu manusia. Apa di sekitar sini ada peternakannya?”
“Peternakan?” ulang Queenza dengan ekspresi tak mengerti.
“Iya, peternakan ibu-ibu. Aku mau menawarkan diri jadi pemerah susunya.”
Queenza melongo, lalu detik berikutnya dia berseru keras seraya memukul Kingsley dengan bantal. “Dasar Kingsley m***m! Otak kotor! Kau tidak boleh buka internet lagi!”
Puas memukul Kingsley dengan bantal, Queenza segera membawa laptopnya keluar kamar diiringi gelak tawa Kingsley.
----------------------
♥ Aya Emily ♥